Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
SELAMA ini diskusi mengenai Islam dan demokrasi umumnya berkisar pada masalah-masalah apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak. Diskusi ini menggiring opini menuju pada penentuan hukum boleh tidaknya demokrasi diamalkan oleh umat Islam. Jika boleh berarti ada kesepadanan atauminimal ada irisan yang bisa diterima antara demokrasi dengan Islam. Jika tidak, berarti dmokrasi dianggap sesuatu yang sama sekali tidak ekuivalen dengan Islam.
Pada diskusi tentang hukum mengenai demokrasi dari sudut pandang Islam setidaknya ada tiga pendapat.
Pertama, pendapat kalangan liberal yang cenderung pada pemikiran sekuler. Pendapat ini cenderung secara gebyah-uyah menyatakan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam mi’ah bil mi’ah.
Kedua, pendapat yang secara tegas menolak demokrasi. Demokrasi tidak sesuai sama sekali dengan Islam. Ajarannya kufur dan bathil karena meletakkan kedaulatan Allah Subhanahu Wata’ala  di bawah kedaulatan manusia yang bisa menentukan apa saja melalui mekanisme demokrasi, termasuk mengoreksi ketentuan dari Allah Subhanahu Wata’ala    .
Ketiga, pendapat yang menganggap demokrasi tidak sepenuhnya sesuai dengan Islam dan tidak pula sepenuhnya bertentangan. Ada aspek-aspek tertentu dalam demokrasi yang memang tidak bisa diterima dalam Islam.
Misalnya soal falsafahnya yang menganggap manusia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi sehingga segala persoalan dapat diputus melalui kesepakatan antar-manusia. Pada aspek ini jelas demokrasi bertentangan dengan prinsip aqidah Islam yang menyerahkan sepenuhnya segala kedaulatan pada Allah Subhanahu Wata’ala.
Bila Allah Subhanahu Wata’ala sudah menetapkan sesuatu maka kewajiban hamba-hambanya hanyalah sami’nâ wa atha’nâ (kami mendengar, kami melaksanakan, red).
Akan tetapi, pada teknis pelaksanaannya dalam pengambilan keputusan di luar itu, demokrasi sesungguhnya ada kesesuaiannya dengan Islam. Islam mengajarkan praktik yang hampir mirip, yaitu syûrâ (musyawarah).
Musyarah sekalipun tidak sepenuhnya mirip demokrasi, sama-sama menghormati pendapat manusia banyak dalam menetapkan keputusan. Hanya saja, perkara-perkara yang sudah terang diatur Allah Subhanahu Wata’ala tidak dapat diubah melalui musyawarah.
Oleh sebab itu, pendapat terakhir ini berkesimpulan bahwa demokrasi boleh digunakan sepanjang bukan untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi hak prerogatif Allah Subhanahu Wata’ala.
Wacana di atas tentu saja hanya berkembang di negara-negara Islam yang selalu ingin mencari kebenaran melalui kerangka pikir agamanya.
Sayang walaupun berkembang pemikiran yang kontra sama sekali terhadap demokrasi, namun pada umumnya hampir seluruh negara Islam selepas kolonialisme Eropa menerima demokrasi sebagai mekanisme politik yang mereka jalankan.
Alhasil, walaupun ada yang tidak setuju dengan demokrasi, tetap sistem ini mau tidak mau menjadi alternatif yang paling banyak dipilih. Hanya beberapa negara Islam, terutama di negara-negara pecahan Arab yang tidak menggunakan sistem ini.
Itupun dalam hal-hal tertentu seperti penyelenggaraan parlemen hasil pilihan rakyat tetap dijalankan, sekalipun penguasanya adalah “raja” yang dinobatkan tanpa melalui mekanisme demokrasi.
Kemaslahatan
Sebetulnya, untuk mendiskusikan kembali hubungan Islam dan demokrasi setelah puluhan tahun dijalankan oleh negara-negara Islam tidak cukup hanya berhenti pada analisis hukum yang hanya bicara boleh dan tidaknya demokrasi dijalankan secara normatif.
Analisis harus diarahkan pada persoalan lain, yaitu kemaslahatan umat setelah berbagai model demokrasi di negara-negara Islam dijalankan. Dalam hal ini, bukan hanya persoalan kesejahteraan semata, melainkan mashâlih syar’iyyah ‘âmmah  (kemashlahatan yang syar`I secara umum) yang di dalamnya mempertimbangkan aspek agama (dîn) dan kesejahteraan (keterjagaan nyawa, akal, harta, dan reproduksi).
Apakah selama ini, saat demokrasi menjadi pilihan negara-negara Islam mashâlih syar’iyyah dapat diwujudkan? Apabila persoalan ini menjadi pertimbangan, maka analisis hukum bergeser dari fiqih tekstual yang hanya mempertimbangkan aspek legal-formal ke fikihmashâlih yang mempertimbangkan aspek kemanfaatan hukum untuk kemaslahatan umum seperti yang dikembangkan oleh Imam Asy-Syathibi.
Untuk menemukan data yang lebih akurat dan detail tentang aspek maslahat-madharat setelah demokrasi diterapkan di berbagai negara Islam tentu tidak dapat dijelaskan dalam tulisan singkat ini. Hanya ada dua pemikiran dasar penting yang harus menjadi kerangka untuk menghimpun berbagai data di atas.
Pertama, analisis harus diarahkan pertama pada persoalan “agama” (dîn) Islam. Masalah ini penting karena kemaslahatan pertamadalam syari’at adalah terjaganya agama dari kehancuran (hifzh al-dîn).
Oleh sebab itu, dalam Islam salah satu tujuan utama penyelenggaraan kekuasaan adalahhirâsah al-dîn (memelihara agama) agar tetap bisa diamalkan seutuhnya. Bagian ini harus selalu disertakan dalam analisis mengenai demokrasi karena dalam pengamatan sementara hal yang paling banyak dirugikan setelah demokrasi dipraktikkan adalah agama.
Memang ada kebebasan beragama dalam demokrasi, namun saat agama memenangkan pertarungan kekuasaan, maka pada saat itulah agama menjadi musuh demokrasi nomor satu. Agama akan segera disingkirkan dari panging kekuasaan demokrasi oleh tangan-tangan yang tidak kasat mata (invisible hand).
Kedua, yang harus menjadi perhatian berikutnya adalah masalah kesejahteraan yang dalammashâlih syar’iyyah terdiri atas pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sesungguhnya seringkali demokrasi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Banyak negara yang dinilai tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Singapura, dan Libya (semasa Kadafi) dapat menyejahterakan sebagian rakyatnya. Ini menunjukkan korelasi yang negatif antara demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Pada aspek ini dapat saja kita membandingkan satu negara sebelum menggunakan demokrasi dan sesudahnya.
Bisa jadi ada negara yang sebelumnya tidak demokratis seperti Indonesia, kemudian memilih demokrasi dapat relatif berkembang kesejahteraannya dibandingkan dengan masa lalu. Akan tetapi, akan terlalu simplisistik kalau kemudian kesejahteraan itu disebabkan oleh demokrasi.
Melalui dua kacamata itu, sebetulnya secara umum demokrasi tidak selalu memberikan maslahat. Bahkan, dalam hal agama, demokrasi jutsru menghambat pelaksanaan agama secara paripurna oleh para pemeluknya.
Dalam demokrasi lebih berbunyi kalimat “pluralisme” daripada agama. Oleh sebab itu, di negara-negara Islam yang menerapkan demokrasi posisi agama (Islam) menjadi lebih terancam keberadaannya. Belum lagi, demokrasi di negara-negara Islam justru membuka celah masuknya kekuatan-kekuatan asing yang juga sangat bersemangat untuk membendung laju perkembangan Islam, baik sebagai komunitas maupun ajaran.
Jelaslah bila demikian, demokrasi sesungguhnya amat merugikan saat dilaksanakan oleh negara-negara Islam. Kalau memang demokrasi memberikan madharat, maka pertanyaan selanjutnya dalam tulisan ini adalah: “Apa yang harus kita gunakan untuk menggantikan demokrasi?” Pertanyaan ini harus terlebih dahulu diajukan sebelum pertanyaan berikutnya timbul: “Bagaimana caranya demokrasi digantikan dengan sistem alternatif lain?” Pertanyaan-pertanyaan ini nantinya akan membantu kita memutuskan bagaimana sikap kita terhadap sistem ini.*
Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam, Direktur Ma’had Aly Baiturrahman Garut
SHARE :
 
Top