SESUNGGUHNYA Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjamin bahwa semua umat beliau pasti masuk surga. Dalam sabdanya, “Setiap umatku pasti masuk surga, kecuali yang tidak mau.” Para Sahabat bertanya, “Siapa yang tidak mau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Siapa yang taat kepadaku pasti masuk surga, dan siapa yang durhaka kepadaku pasti dia tidak mau.” (Riwayat Bukhari dan Ahmad, dari Abu Hurairah).

Hanya saja, dalam kesempatan lain, beliau juga menceritakan bahwa kelak ada orang-orang yang sebenarnya tidak mau masuk surga tetapi dipaksa dengan segala cara, bahkan sampai harus dirantai dan diseret!

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Hurairah mengutip sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Allah merasa takjub kepada orang-orang yang masuk surga dalam (keadaan terbelenggu oleh) rantai-rantai.” Dalam riwayat Abu Dawud dan Ahmad dinyatakan, “Tuhan kita merasa takjub terhadap kaum yang digiring ke surga dalam (keadaan terbelenggu oleh) rantai-rantai.” Menurut riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir yang bersumber dari Abu Umamah, diceritakan bahwa suatu kali Rasulullah tertawa, lalu ditanyakan, “Apa yang membuat Anda tertawa?” Beliau menjawab, “Saya merasa takjub kepada kaum yang digiring (masuk) ke surga dalam (keadaan terbelenggu oleh) rantai-rantai, padahal sebenarnya mereka sangat tidak mau.” Dalam riwayat ath-Thabrani lainnya yang bersumber dari Abu ath-Thufail ditambahkan keterangan: “Mereka adalah orang-orang non-Arab yang ditawan oleh kaum Muhajirin (dalam peperangan), lalu masuk Islam secara terpaksa.”

Sungguh, betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka berjumpa dengan manusia-manusia muslim yang penuh kasih, yang karena sedemikian besar rasa kasihnya sehingga berdaya upaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan mereka. Kaum muslimin generasi awal bahkan bersedia menyabung nyawa untuk memastikan kebaikan, kebenaran, dan jalan surga itu tersebar ke seluruh dunia. Mereka tidak mau menikmatinya sendirian, namun membagikannya kepada sebanyak mungkin manusia. Perjuangan mereka menjadi cermin misi Nabi junjungannya, yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamin (lihat Qs. al-Anbiya’: 107). Bila perlu, sedikit dipaksa pun tidak masalah, yang penting manusia mendapat peluang untuk mengenal kebaikan Islam terlebih dahulu.
Terkadang, akibat propaganda yang menyesatkan, bisikan setan, kerasnya hati, kelamnya kemusyrikan dan maksiat, atau gabungan dari semuanya maka keindahan Islam terlihat menjijikkan, dan terangnya hidayah dinilai sebagai gelapnya kesesatan. Di titik inilah jihad menjadi piranti efektif untuk merobohkan semua penghalang itu. Sebab, di dunia ini selalu ada manusia-manusia angkuh yang tidak bisa memahami bahasa selain kekerasan, pertarungan, dan adu kekuatan. Jika seluruh jalan dialog dan seruan telah buntu bahkan dimusuhi, maka adakalanya paksaan dan kekuatan senjata menjadi alternatif terbaik untuk membuka mata mereka. Di masa lalu, kepongahan Kekaisaran Romawi dan Persia adalah contoh nyata, dua penghalang utama tersebarnya Risalah Islam kepada dunia, sehingga keduanya terpaksa harus ditekuk dengan besi.

Sungguh, betapa indah nasib orang-orang itu. Mereka tidak berjumpa dengan manusia-manusia berhati lemah dan berakal pendek di zaman ini, yang berlindung di balik dalih Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga membiarkan masyarakatnya terjerembab ke neraka. Orang-orang ini tega melegalkan seribu satu macam kemaksiatan, bahkan dengan senang hati memungut cukai dan pajaknya, baik secara resmi maupun melalui pungutan liar yang dikorupsi ke kantongnya sendiri. Apa yang kelak mereka katakan jika ditanya oleh Allah: tentang pembiaran mereka terhadap prostitusi, peredaran Miras, hiburan malam, homoseks, perjudian, dsb? Adakah dalil-dalil HAM buatan kaum kafir itu akan diterima di hadapan-Nya?

Betapa ironis nasib manusia di zaman ini. Mereka dibiarkan masuk neraka secara sukarela, bahkan dengan perjuangan berat, persaingan ketat, biaya besar, dan resiko ganda. Mereka dibiarkan bahkan difasilitasi untuk mengumbar auratnya melalui aneka kontes dan mode-mode pakaian ketat, menyalurkan nafsunya dengan berpacaran di area-area publik, berpesta setiap malam di karaoke dan pub, mengakses materi pornografi lewat internet, dan entah apa lagi. Mengapa masyarakat ini diizinkan terjerumus ke jurang neraka, hanya demi meraih simpati dan kerelaan mereka? Mengapa takut melihat cibiran dan makian mereka, walau pun sejatinya mereka sedang dibawa ke surga?

Di mana nurani dan kasih sayang para pemimpin masyarakat, ketika menyaksikan antrean panjang rakyat dan anak-anaknya menuju Jahanam?

Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya perumpamaanku dengan umat manusia adalah seperti seseorang yang menyalakan api. Ketika api itu telah menerangi sekitarnya, mulailah laron dan hewan-hewan merayap – yang biasa terjatuh ke dalam api – berjatuhan ke dalamnya. Maka, orang itu pun berusaha untuk menahan dan mencegah mereka, namun mereka justru mengalahkannya, sehingga mereka pun mencampakkan dirinya sendiri ke dalam api. Aku memegang erat-erat tali pinggang kalian (agar tidak terjerembab ke dalam api), sedangkan kalian justru berusaha keras untuk menceburkan diri ke dalamnya.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).

Maka, sebagai orangtua, guru, ulama, dan pemimpin kita harus bersikap tegas kepada orang-orang yang berada di bawah kuasa kita. Pilihkanlah untuk mereka jalan-jalan terbaik yang menjamin masa depannya dunia-akhirat, lalu jaga alurnya agar tidak terbelokkan. Jangan gentar oleh ocehan dan cibiran, sepanjang kita yakin bahwa pilihan tersebut bukan kemaksiatan, bahkan justru merupakan kebajikan. Jauh lebih baik bagi mereka untuk masuk surga secara terpaksa, daripada terjungkal ke neraka dengan sukarela. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar
SHARE :
 
Top