Reported By Abrar

“Atjeh” memang unik dan punya sejarah yang luas hingga ke mancanegara. Mengenal suku Aceh juga unik dengan berbagai Etnis di dalamnya, ada Gayo, Aneuk Jamee, Kluet, Alas, Tamiang, Simeulu dan Singkil. Menurut sejarah yang pernah redaksi baca, suku Aceh juga terbagi dalam beberapa “Kawom” yang dikenal dengan “Sukee”. Ada sukee Lhee Reutoh, Sukee Imuem Pheut, Sukee Tok Batee dan Sukee Ja Sandang. Asal mula orang “Atjeh” pun unik untuk dibicarakan. Mulai dari Lakap “Atjeh”, “Negeri Serambi Mekkah” dan masih banyak lainnya mengenai asal muasal orang Aceh. Bahkan ada sejarah yang menyebutkan suku Asli Aceh yakni suku Mante yang konon katanya masih ada hingga kini di pedalaman hutan rimba di Aceh, seperti keberadaan “Rumoh Dua Blah” di P a n t e e S e u m e u l e u k , l e t a k perkampungan tersebut di kawasan hutan antara Jantho dan Tangse. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan bekas persawahan dan kuburan. Entah benar atau tidaknya cerita itu, berpulang kepada orang yang bercerita dan mengalaminya. 

N a m u n , d i s i n i k i t a t i d a k membicarakan asal muasal orang Aceh. tapi sisi sejarah islamnya lebih kita utamakan. Beberapa waktu lalu Pemimpin Redaksi Buletin Lamuri Abrar, S.Pd dan beberapa rekan berkunjung ke Malasyia dan Thailand. Ternyata di sana banyak para ulama Aceh jaman dulu yang telah lama melanglang buana ke Thailand dan Malasyia untuk mendakwahkan agama yang mulia, yaitu Islam. Dari beberapa referensi sejarah dan bukti berupa kuburan orang Aceh, tahulah kita bahwa di dua negara tersebut orang aceh dikenal sebagai bangsa yang besar dalam sejarah perkembangan islam. 

Menurut sejarah, sejak dibuka oleh Kapten Francis Light pada tahun 1786, pulau yang berada di jalur lintasan laut strategis di pantai barat semenanjung Malaysia ini banyak disinggahi oleh bangsa-bangsa asing hingga akhirnya mereka berusaha dan menetap disana. Kehadiran pelbagai bangsa dan etnis, membentuk sifat kosmopolitan generasi yang mendiami Pulau Pinang. Selain 3 kaum utama yaitu China, India dan Melayu. Negeri ini juga turut menjadi tempat berkumpulnya bangsa-bangsa lain dari Asia Tenggara dan Eropah. Suku bangsa Aceh adalah salah satunya, selain suku Jawa, Bugis dan Minangkabau serta Burma dan Siam. Snouck Hurgronje pernah menulis “Bagi masyarakat Aceh, Penang adalah gerbang menuju dunia dalam banyak hal terutama untuk memasarkan produk mereka langsung menuju Eropa”. Jejak-jejak sejarah yang berkaitan dengan perdagangan, ekonomi, agama dan pendidikan serta nilainilai kehidupan lainnya, antara Aceh dan Pulau Pinang hingga kini masih dapat ditemukan pada beberapa situs serta kawasan yang tersebar di Pulau Pinang dan beruntungnya, sebagian besar masih dirawat dengan sangat baik, seperti yang dilihat langsung oleh Redaksi Lamuri. 

Ada beberapa tempat yang dulunya merupakan tempat bagi orang Aceh di Negeri Malaya tersebut. Selain “Kampung Aceh” yang memang sering dibicatakan orang Aceh yang ke Malasyia. Ada Lebuh atau J a l a n A c h e h terletak pada kawasan inti warisan dunia ( W o r l d Heritage Core Z o n e ) K o t a George Town. P a d a masanya, jalur i n i m e m i l i k i peran penting m e n d u k u n g perkembangan k o t a G e o rg e Town karena pernah menjadi pusat persinggahan Jemaah haji dan pusat perdagangan rempah. 

Pada masanya, Hampir sepanjang tahun Lebuh Acheh menjadi begitu hidup dan semarak oleh kehadiran para Jemaah haji dan keluarga pengantar. Kehadiran dan aktifitas mereka berdampak pada munculnya kawasan perdagangan dengan rumah-rumah kedai sepanjang jalan yang menawarkan beragam kebutuhan. Mulai dari rempah, makanan, buku-buku islam hingga jasa pengurusan haji. Selain itu di sana juga terdapat sebuah mesjid yang diberi nama Mesjid Lebuh Acheh. S e j a r a h “ L e b u h A c h e h ” d a n “Masjid Melayu Lebuh Aceh”, tentu tak bisa dilepaskan dari peran Tengku Syed Hussin Al-Idid, seorang bangsawan sekaligus saudagar asal Aceh keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman. Kawasan “Aceh” di Pulau Pinang ini bermula dengan kedatangan beliau pada tahun 1792. Beliau menetap dan berdagang sehingga menjadi pedagang Aceh yang kaya dan sukses ketika Penang baru dibuka oleh Kapten Sir Francis Light. Dengan kekayaan tersebut, Tengku Syed Hussain Al-Idid akhirnya membuka kawasan di Lebuh Acheh. Membangun masjid, menara, rumah tinggal, rumah kedai, madrasah serta kantor perdagangan. 

Berikutnya perjalanan Redaksi ke Pattani Thailand, yang bisa disebut Acehnya Thailand, karena masih adanya konflik bersenjata seperti di Aceh semasa darurat. Redaksi ke Pattani melalui Penang. Dari Penang ke Pattani, redaksi menumpang bus umum. Memasuki perbatasan Penang- Thailand, redaksi melihat banyak polisi di sepanjang jalan. Mereka sedang razia. Namun suasana konflik di selatan Thailand ini tak separah di Aceh. Sesampai di Hatyai, kami menuju Mesjid Yala. Dua hari sesudahnya, kami menuju Pattani, tempat Yala Islamic berada. Perguruan tinggi Islam ini terdapat di bagian ujung Pattani, perbatasan dengan Provinsi Yala. B e n t a n g a l a m d a n s u a s a n a perkampungan antara Provinsi Yala dan Narathiwat mirip sekali dengan suasana di A c e h . H a m p a r a n sawah dan k e b u n k a r e t terlihat dominan selama perjala n a n . Sekolah atau madrasah di t e p i j a l a n dipenuhi anak-anak berseragam sekola h. Yang paling khas adalah anak-anak perempuan berwajah Melayu atau campuran Melayu-Thailand semuanya berjilbab, sangat mirip dengan suasana di Aceh. 

Berbicara tentang adanya kaitan antara Aceh dan Pattani di kawasan selatan Thailand, rasanya sulit dipercaya kalau di kawasan ini akan ditemui jejak-jejak Aceh karena berbagai alasan. Secara geografis, Aceh dan Thailand dipisahkan oleh Selat Malaka dan berhadapan langsung dengan Provinsi Satun, Trang, Krabi, Phuket, dan Phang Nga, dan tidak berbatasan dengan Narathiwat yang berhadapan dengan Teluk Thailand. Dugaan redaksi ternyata salah besar, menurut sesepuh masyarakat yang ada di Pattani-Thailand bahwa di dunia ini hanya ada tiga negeri Darussalam : Aceh Darussalam, Pattani Darussalam, dan Brunei Darussalam. Sebelum jatuh ke Thailand, Kerajaan Pattani Darussalam menguasai Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat di bagian Thailand dan sebagian kawasan Kelantan dan Perlis di bagian Malaysia. Sekarang redaksi sadari, hubungan antara Aceh dan Narathiwat mungkin dimulai dari Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Pattani Darussalam dalam berbagai bentuk. Redaksi juga sempat berkunjung ke beberapa pesantren di Pattani yang menyimpan kitab kuno dalam jumlah cukup besar yang berasal dari Andalusia, Arab, Thailand, dan Indonesia. Sekitar 30% koleksi naskah kuno tersebut berasal dari Aceh dan sekitar 70% koleksinya berasal dari provinsi lainnya di Indonesia. 

Di antara koleksi kuno tersebut terdapat Alquran tulisan tangan Syech Nuruddin Ar-Raniry yang ditulis selama lima tahun (1636-1641 Masehi). Terdapat juga beberapa Quran tulisan tangan lainnya dari Aceh di beberapa pesantren tersebut. Selain Alquran, terdapat juga kitabkitab fikih karangan ulama Aceh zaman dulu, seperti kitab Fiqih Sirat Al-Musatqim karangan Syech Nuruddin Ar-Raniry. Sang pemimpin pesantren juga memastikan kepada saya bahwa beliau memiliki sejumlah kitab dari Aceh lainnya yang belum dipajang (masih disimpan) di dalam gudang. Di antara koleksi naskah Aceh lainnya terdapat tiga buku pantun karangan Hamzah Fansyuri. Beliau katakan bahwa pada masa kejayaan Islam Pattani dan Aceh banyak sekali Quran dan kitab-kitab yang ditulis tangan oleh ulama-ulama dari kedua negeri, namun dari segi jumlah lebih banyak ditulis ulamaulama dari Aceh. Tak heran kalau koleksi dari Aceh cukup signifikan jumlahnya di pesantren-pesantren ini. Begitulah napak tilas redaksi mengenai keberadaan ulama Aceh dalam mendakwah islam hingga ke Malasyia dan Thailand. “Ureung Aceh meutaloe wareh, sampoe keudeh u Malaya” 

Pattani, July 2014
SHARE :
 
Top