Hidup di Indonesia tak lepas dari aktivitas bencana, baik bencana alam seperti longsor,angin puting beliung,gunung api, terlebih gempa bumi bahkan tsunami. Indonesia yang kaya akan alamnya yang masih utuh juga kaya akan potensi-potensi bencana yang dikandungnya. Hal itulah yang menyebabkan Indonesia kaya akan barang tambang, tanah yang subur, serta potensi alam lainnya yang Allah berikan. 

Namun terkadang bencana non-alam seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit juga menjadi ancaman yang intensitasnya tinggi. Belum lagi bencana sosial yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Jenis jenis bencana tersebut kesemuanya terjadi dan dirasakan oleh masyarakat dan untuk itu perlu sikap-sikap pencegahan ( mitigasi ) untuk meminimalisir kerugian harta, jiwa dan lainnya.

Menurut Undang-undang Tentang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 , didefenisikan bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Barangkali penulis tidak membicarakan asap, namun lebih kepada penghasil asap itu sendiri yaitu kebakaran hutan dan lahan ( Karhutla ). 

Bencana kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan asap di Indonesia bahkan efeknya ke Negara tetangga adalah bencana yang dapat dikatakan intensitasnya lebih disebabkan oleh tangan-tangan jahil manusia. Kebakaran Hutan di Indonesia yang mulai memuncak di tahun 1997 / 1998 seolah menjadi bencana “yang diciptakan” dan terus menerus terjadi. Walaupun kebakaran hutan juga dapat terjadi oleh faktor alam yaitu el nino yang merupakan suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur sekitar pantai Peru ( BMKG ). 

Indonesia sendiri pernah mengalami kekeringan dan intensitas curah hujan kurang yang disebabkan oleh el nino sehingga memperburuk keadaan hutan yang terbakar serta meluasnya area kebakaran. Namun harus diingat bahwa ini adalah fenomena alam yang merubah kondisi musim yang justru jika tidak ada korek maka tidaklah ada api, jika pun disebabkan oleh petir, toh petir tidak akan sering terjadi di musim-musim kering ( kemarau ). Dahulu sangat jarang kita mendengar terjadi kebakaran hutan yang sangat luas, padahal dahulu masyarakat sangat tradisional, bahkan Era masa pra-aksara, manusia purba juga membuka lahan dengan cara membakar hutan untuk ditanami tumbuhan ( era bercocok tanam ). 

Memasuki era modern kebakaran hutan semakin menjadi – jadi dan seolah menjadi rutinitas tahunan yang sengaja diciptakan oleh manusia. Selain berdampak pada bidang ekonomi dan social, bahkan nyawa melayang, banyak flaura dan fauna yang ikut punah .Ini haruslah menjadi pelajaran bagi kementerian, pemerintah , terlebih pemerintah daerah yang harus mengawasi dan memantau praktik-praktik kepada pelaku perkebunan baik kelas teri maupun kakap sehingga izin-izin kepada mereka haruslah dikeluarkan secara bijak tentunya dengan pengawasan yang serius. Ketika kebakaran meluas, maka sibuklah pemerintah dengan mengerahkan berbagai banyak pihak untuk melakukan pemadaman, terlebih pihak TNI yang sangat solid dalam bekerja. Ini membuktikan mitigasi ( pencegahan ) dalam hal kebakaran hutan belum dijalanakan oleh pemerintah secara bijak, barangkali pemerintah lebih suka dengan proses rehab rekon yang justru biayanya lebih besar ketimbang dengan usaha-usaha pencegahan. 

Dengan memberlakukan hukum secara tegas mengingat penanganan kasus kebakaran hutan sekarang masih jalan di tempat. Salah satu Jalan keluarnya juga dengan shalat Istisqa sebagai bentuk dari kelemahan dan ketidakmampuan manusia menandingi kekuasaan Allah. 

November telah datang dan membawa secercah Rahmat dengan turunnya hujan. Ya, memang dalam siklus pergantian musim, di Indonesia terdapat dua musim yaitu musim hujan ( basah ) yang berlangsung Oktober hingga April, dan musim kemarau yang berlangsung April-Oktober. Banyak titik-titik api yang mulai padam karena dipadamkan oleh Rahmat yang diturunkan Allah melalui hujan, sehingga asap yang mengganggu pun menjadi kurang. 

Selepas bencana kebakaran hutan ( asap ) menghiasi headline-headline di media, sekarang media harus bergeser berita dari berita kebakaran hutan menjadi berita erupsi gunung api. Ya, gunung api Rinjani namanya. Gunung yang terletak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat ini mulai menunjukkan reaksinya sejak selasa lalu ( 3/11). Gunung Rinjani yang dahulunya bernama gunung samalas meletus pada sekitar abad ke-13 dan mempunyai kaldera yang sangat luas, lalu tumbuhlah kerucut aktif di tengah kalderanya yang lantas disebut Gunung Barujari. Karena itu, Gunung Barujari tidak akan ada tanpa Gunung Rinjani ( Surono, Kementrian ESDM ). 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Gunung Rinjani memuntahkan material abu yang terbawa angin ke arah barat. Berdasarkan citra Satelit Terra, terpantau sebaran abu vulkanik menutupi Selat Lombok, wilayah Bali, Selat Bali hingga Banyuwangi. 

Hingga saat ini, masih terdapat potensi erupsi lanjutan yang diindikasikan dengan terekamnya gempa tremor Hembusan dengan amplituda maksimum 2-3 mm dengan lama gempa 5-10 detik ( MetroTv News ) Efeknya adalah Bandara Ngurah Rai Bali terpaksa ditutup dan mengakibatkan 692 penerbangan domestik maupun internasional dibatalkan. BNPB juga membagi-bagikan ribuan masker kepada masyarakat terdampak untuk menghindari terhirupnya debu vulkanik.Seolah negeri kita tak bisa terlepas dari cengkraman bencana, habis bencana yang satu, maka bencana yang lain segera menyusul.

Mengutip dari kasus-kasus bencana yang ada di Indonesia, sudah seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman yang pernah terjadi, memberikan berbagai hal pengetahuan seputar kebencanaan kepada masyarakat sebagai upaya untuk mengantisipasi mengurangi korban jiwa dan harta. 

Kita harus ingat, biaya untuk melakukan pemulihan, rehab rekon akan lebih mahal dibandingkan dengan biaya pencegahan ( mitigasi ) yang manfaatnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat, karena pencegahan akan melahirkan kesadaran-kesadaran masyarakat untuk berperilaku kearah yang lebih baik. 

Mitigasi Dalam Alquran 

Banyak sekali ayat-ayat Alquran yang menceritakan mengenai sejarah bencana yang pernah terjadi di dunia ini, mulai dari bencana yang pernah terjadi pada masa nabi Nuh As,Ibrahim As, Luth As, Syu’aib As, Sholeh As, MusaAs dan sebagainya. Itu semua menurut hemat penulis sudah dapat mewakili betapa kita harus mengambil hikmah dari kisah tersebut sebagai upaya mitigasi ( pencegahan ) agar bencana tidak serta merta menyinggahi kita. 

Alquran juga banyak menyebutkan ayat-ayat mengenai pentingnya menjaga kestabilitasan alam dan lingkungan, salah satunya adalah Surat Ar Rum ayat ke 41-42. Secara lengkap, Ayat ayat Alquran menyebutkan bahwa bencana yang terjadi disuatu daerah adalah terjadi akibat ulah manusia, baik disebabkan karena manusia yang melanggar sistim alam baik di darat, udara, dan lautan , maupun manusia itu sendiri yang melanggar sistim Allah yang berkaitan dengan keimanan dan kemungkaran. 

Seluruh bentuk daripada pelanggaran tersebutlah sehingga bencana menjadi sebuah bentuk ouput teguran Allah terhadap manusia. Semakin besar pelanggaran yang dihasilkan maka semakin besar pula bencana yang akan dipetik. Jika pembaca membuka tafsir-tafsir Alquran, sangat banyak peringatan-peringatan yang diberikan kepada manusia sebagai bentuk agar manusia terhindar dari bencana. 

Bencana jangan hanya dipahami sebagai gejala alam saja, namun juga harus dipahami sebagai teguran dari sang Maha pencipta untuk meningkatkan prepadness ( kesiapsiagaan ) manusia. Jadi mitigasi bencana sebenarnya sudah sangat lengkap dalam Alquran sebagai bentuk langsung dari firman Allah. 

Terkadang manusia hanya mempelajari kamus-kamus ataupun pengetahuan tentang bencana dari produk barat saja tanpa memperhatikan bahwa barangkali manusia melanggar sistim Allah misalnya dengan membuat kemungkaran-kemungkaran, berbuat dosa yang imbasnya adalah Allah menegur melalui bencana, dalam bahasa yang baiknya bencana terkadang diartikan sebagai ujian dari Allah, namun menurut hemat penulis, ujian barangkali hanya berlaku bagi orang-orang pilihan-Nya dalam hal ini adalah orang-orang yang shaleh dan bertaqwa, jika seseorang yang mungkar lebih tepat kita sebut teguran. 

Kita dapat melihat betapa baiknya sang maha pencipta menegur kita yang sudah keterlaluan berbuat kemungkaraan, Dia tidak mau kita ummat manusia terjerumus terus-menerus kedalam kemungkaran, namun masih sangat banyak teguran yang tak dihiraukan oleh manusia sehingga bencana akan datang silih berganti. 

Seringkali manusia bertanya, kami telah menjaga alam, namun mengapa bencana masih juga terjadi ? kita harus intropeksi mungkin kita belum menjalankan sistim Allah dengan benar, begitu juga sebaliknya, kita sudah menjalankan sistim Allah namun terkadang belum menjalankan sistim alam dan oleh karena itu bencana akan terus menerus menimpa kita. 

Menurut hemat penulis, menjaga alam bukan berarti mengabaikan keimanan, berbuat kemungkaran, namun menjaga alam adalah perpaduan dari kemampuan manusia menjaga sistim Allah dan juga menjaga sistim alam. ( dihimpun dari berbagai sumber) 

Penulis adalah aktivis Mesjid Sibreh dan mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah
SHARE :
 
Top