Almarhum Mukhlis. Foto : Portalsatu
Mukhlis adalah putra Aceh Besar yang bekerja sebagai karyawan Taman Budaya Aceh. Dia juga salah seorang pelantun tradisi khas yang dimiliki Aceh. Kehadirannya menjadikan Aceh berkarakter, dan itu semua menjadi kenangan terindah dalam melahirkan karya bersama. Itu sebabnya, sampai kini nama Mukhlis masih melekat sebagai sejarah musik Aceh. Kita harapkan terus menjadi “catatan” khusus untuk mendalami musik di Aceh.

TERLALU banyak kenangan yang ditinggalkan almarhum Mukhlis, pelantun lagu Aceh “Nyawoung”. Bagi saya, dia bukan sekadar sahabat, tetapi juga sudah menjadi bagian dari keluarga. Awal mengenalnya pun sangat unik. Pada bulan Juni 1996 di Jakarta, saat itu Mukhlis baru selesai mengisi acara gelar seni Aceh diselenggarakan kawan-kawan mahasiswa di Yogjakarta. 

Dari Yogja, Mukhlis mampir ke Jakarta. Bersama Agam Ilyas—yang waktu itu ikut ke Yogja—Mukhlis dibawa mampir ke kediaman kami di Utan Kayu, Jakarta Timur. Bertemu beberapa saat saja, Mukhlis lantas berlalu dan kembali ke Aceh. Dalam pertemuan kami, Mukhlis banyak bercerita tentang kiprahnya pada kesenian Aceh. Dia juga bercerita bagaimana dirinya menjadi dosen kesenian Aceh di Unsyiah. 

Menurut dia, dalam hal kesenian Aceh—tak perlu sekolah pun—dia sudah layak mendapat gelar doktor. Sebab, dia yakin menjadi seniman bukan pada tinggi rendahnya sekolah, tetapi bagaimana kemampuan seniman mengajari orang untuk mencintai dan memainkan kesenian itu sendiri secara benar. Setelah itu, kami tak pernah lagi bertemu. Namun, tiga tahun kemudian saya kembali ke Aceh untuk sebuah liputan media bersama kawan-kawan dari buletin lokal Hariye. 

Pada satu kesempatan, karena sulitnya menemukan kesenian tradisi di Aceh, oleh rekan-rekan saya diajak ke sebuah acara kesenian di Gedung Sosial Banda Aceh. Saya pun berangkat ke sana, namun di gedung itu bukan sedang berlangsung pergelaran kesenian, melainkan sebuah acara Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang dalam acara itu diisi oleh beberapa kesenian Aceh. Disitulah saya kembali bertemu Mukhlis. 

Namun, tidak dalam suasana yang akrab lantaran saya sadari kalau Mukhlis agak lupa pada saya. Dia sempat menyuguhkan segelas kopi dan beberapa potong kue. Lalu, kami bercerita sejenak. Saat itu sudah tercetus keinginan rekaman untuk lagu-lagu Aceh. Dia menyambutnya dengan senang, tetapi tampak seperti kurang yakin. Saya bisa maklum dengan kurang yakinnya Mukhlis. Sebab kehadiran saya sangat tidak meyakinkan bisa membawanya rekaman. Ketika itu, saya memang sedang mencari materi lagu-lagu Aceh yang baik. 

Di Takengon, saya berhasil menemukan beberapa lagu Aceh dari kaset yang nyaris hancur yang menurut saya luar biasa. Setelah pertemuan itu, saya tidak ada kontak lagi dengan Mukhlis. Bahkan, saya sendiri sudah lupa kalau dia penyanyi yang baik untuk Aceh. Baru pada tahun 1999, ketika semua materi lagu terkumpul, saya mencoba menghubungi Dedy Metazone dan mengajaknya membuat rekaman lagu-lagu Aceh di Jakarta. Dedy menyambutnya dengan senang hati. Sejak itulah saya mulai serius untuk mengeluarkan lagu-lagu Aceh. Dari kaset usang yang saya temui di Takengon tadi, sebagian saya kirimkan kepada Dedy untuk diaransemen. Dan siapa yang akan menjadi mitra kerja Dedy dalam mengaransemen sepenuhnya menjadi tanggung jawab Dedy waktu itu. 

Di tengah perjalanan, kami mulai berpikir kalau aransemen tidak mungkin bisa baik kalau penyanyinya belum ditemukan. Saya pun meminta Dedy untuk mencarinya di Aceh. Sedangkan penyanyi perempuannya sudah ada di Jakarta dan sudah melakukan latihan-latihan. Tidak lama berselang, saya terpikir kalau Mukhlis, syekh yang memainkan beberapa kesenian Aceh di Yogja sangat cocok dengan materi lagu-lagu yang sudah dipersiapkan. Tidak lama kemudian Dedy menghubungi saya dan mengatakan untuk mendapatkan penyanyi di Aceh sangat sulit, kecuali untuk model penyanyi asal-asalan. Tapi, kata Dedy, kalau mau bisa mencoba menghubungi Mukhlis di Taman Budaya Banda Aceh. Dedy tidak mau menghubungi sendiri lantaran dia menganggap semua yang berkaitan dengan pembuatan album adalah keputusan saya. 

Tentu saja, usulan Dedy itu tidak perlu dipertimbangkan lagi, karena dalam pikiran saya juga sudah tergambar Mukhlis lah yang pantas pada waktu itu. Beberapa hari kemudian, setelah saya menghubunginya, bersepakatlah mereka untuk segera berangkat dari Banda Aceh ke Jakarta. Dan semua sisa aransemennya diselesaikan di Jakarta saja. Sejak itulah hubungan kami menjadi dekat, dan Mukhlis pun menyebutnya sebagai satu anugerah bisa berkumpul bersama, dan lantas menjadi saudara. Walaupun pada awalnya Mukhlis sempat kaget melihat saya, karena dia sama sekali sudah lupa pada saya. “Kalau Agam saya kenal, tapi saya lupa si ‘Joe’ yang mana orangnya,” kata Mukhlis dengan logat khasnya. 

Kepada kawan-kawan yang baru tiba dari Aceh, saya kemudian menjelaskan juga visi ‘rekaman’ kali ini. Dan wajib harus mencapai standar dunia, karena untuk mencapai prestasi lagu-lagu Aceh harus berani berbuat demikian. Bukan pada biaya atau gengsi, tetapi saat itu rakyat Aceh perlu disuguhkan sesuatu yang berarti dan harus menjadi tolak ukur untuk lagu-lagu Aceh khususnya. Dan harus menjadi kaset daerah pertama di Indonesia yang memikirkan kualitas serta standar rekamannya. Sebagai seniman, Mukhlis tidak cuma mengiyakan apa yang saya jelaskan. Dia pun memberikan beberapa masukan yang cukup berarti, termasuk menggambarkan beberapa ciri khas Aceh yang musti dipertahankan. 

Misalnya, bunyi-bunyian yang terdapat pada tubuh manusia. Alasannya sangat sederhana, pada satu kesempatan Mukhlis pernah diundang ke Padang, Sumatera Barat. Layaknya kesenian tradisional, peserta yang hadir dari berbagai daerah datang dengan membawa personel yang tidak sedikit, berbeda dengan Mukhlis yang datang sendirian. Beberapa seniman asal daerah lain sempat mempertanyakan Muchlis yang tidak hadir dengan personel lainnya. Kata Mukhlis, Aceh dengan satu orang pun sudah cukup, karena kesenian Aceh bukan kesenian yang rumit. Pernyataannya itu membuat penasaran kontestan lain. Lalu, pada malam acara digelar, Mukhlis pun dipersilakan tampil. Dengan santainya, Mukhlis naik pentas membawa sebuah rapa'i. 

Disitulah dia bernyanyi tanpa iringan apapun kecuali satu rapa'i dan terkadang bunyian dari tubuh. Penonton tercengang, dan kemudian bertepuk tangan lantaran Mukhlis memang berhasil menggiring penonton yang non-Aceh terbawa pada arus dia bermusik dan bernyanyi. Mendengar ceritanya itu, saya semakin percaya pada kualitas Mukhlis dalam meramu tradisi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kalau dia harus bernyanyi dengan iringan musik ‘kotemporer?’ Mukhlis tidak terkejut. Sebab, sebelum terjun pada kesenian tradisi, Mukhlis sudah pernah bergabung dengan musik pop seperti keyboard tunggal di tempat-tempat perkawinan, dan bermain dengan band lengkap untuk lagu-lagu rock dan pop kreatif. Ini artinya, Mukhlis punya kemampuan untuk bit, ritme, tempo dalam musik. Dan yang paling penting, dia bisa masuk studio dengan metronom, karena kesulitan saya sebelumnya adalah mencari penyanyi yang memahami itu. 

Memang banyak penyanyi tradisi, tapi dia total tradisi, sehingga tidak dibutuhkan metronom karena cuma merepotkan saja. Mukhlis menangis Pertama kali Mukhlis tic vocal untuk lagu di album “Nyawoung” pada tahun 1999 di Studio Gin’s Jakarta, dia menangis. Lagu “Prang Sabi” yang dia nyanyikan kurang menyentuh, hingga diulang berkali-kali. Masuk studio pukul 17.00 WIB sampai magrib belum menemukan karakter yang diinginkan. Kami lantas duduk di ruang tamu yang ada di studio itu, dan menyimpulkan lagu tersebut harus diulangi lagi. Hanya kali ini Mukhlis diminta mengisi suara malam hari. “Nasehat” yang diberikan pada Mukhlis kala itu, dia harus menyiram kebanggaan jutaan rakyat Aceh. 

Dalam ruang studio memang sendiri, tapi di sana harus bersama rakyat Aceh hingga akhirnya Mukhlis melalui tic vocal dengan baik. Selepas “melantunkan” backsound hikayat, Muhlis langsung keluar studio menuju kamar mandi. Dia menutup pintu hingga kurang lebih 30 menit. Di situ tangisannya pecah. “Aku tidak kuat, darahku panas,” katanya kala itu. Itulah pertama kali album “Nyawoung” masuk dapur rekaman. Banyak semangat di sana dan besar harapan yang diingini, terutama keinginan membuka komunikasi dengan saudara-saudara satu Aceh yang kala itu dibalut konflik. Mukhlis dan kawan-kawan bernyanyi sungguh-sungguh untuk mendapatkan kualitas karya. 

Betul saja, kerja keras awak “Nyawoung” mendapat sambutan positif di Aceh. Satu hal yang membahagiakan ketika alat musik Aceh kemudian berkembang di mana-mana. Anak-anak muda mulai berani memainkan musik tradisi. Sejak itulah musik Aceh branded. Dua tahun setelah kaset “Nyawoung” beredar, Mukhlis diserang penyakit penyempitan pembuluh darah di belakang telinganya. Sakit itu sungguh membuatnya berhenti beraktivitas. Kami juga jarang bertemu karena tidak mudah dari Jakarta kembali ke Aceh dalam status Opreasi Militer. Baru tahun 2003, Agam Ilyas, yang merupkan pemasaran “Nyawoung”, bertemu dengan Mukhlis. 

Saat itu di acara pernikahan Agam Ilyas di Masjid Baiturrahman, hari ketiga pemberlakuan Aceh Darurat Militer. Hanya berselang sekitar satu bulan, Mukhlis lantas ke Jakarta untuk berobat di Cipto Mangunkusumo. Dia datang bersama istri putra bungsunya. Namun, hasilnya tidak maksimal lantaran istrinya takut apabila harus dioperasi di wilayah indra pendengaran yang menurutnya sangat sensitif lantaran banyak urat syaraf di wilayah itu. 

Catatan khusus buat Mukhlis sebelum meninggal dunia tahun 2003, dia berhasil mengeluarkan album bertajuk “Linto”, sebuah album pop yang satu lagunya khusus lantunan untuk perkawinan. Setelah itu, Muchlis hilang dari gebyarnya dunia seni. Dia sakit dan kemudian wafat di Banda Aceh. 

Ketika Aceh dilanda tsunami, saya bahkan kehilangan keluarganya hingga akhirnya saya mencarinya. Baru sekitar bulan Maret 2005, saya bertemu dengan istri almarhum Mukhlis yang biasa saya sapa “Kakak” di Indra Puri. Di situlah saya diceritakan tentang putra bungsunya—yang pernah datang ke Jakarta saat Muchlis berobat—ikut hanyut bersama tsunami. Dan kini, bagi saya pribadi, keberadaan Mukhlis di blantika musik Aceh cukup memberi warna tersendiri, terutama pengucapan bahasa yang fasih dan suara merdu yang “Aceh”. 

(Portal Satu)
SHARE :
 
Top