Lamurionline.com—Banda Aceh : Penerapan syari’at Islam diterapkan di Aceh dewasa ini dengan segala qanun-qanunnya merupakan bangunan dari sendi-sendi peradaban Islam. Artinya, ketika Aceh menerapkan syari’at Islam, itu bermakna Aceh sedang membangun peradaban.
Demikian disampaikan Prof. Dr. Misri A. Muchsin, M.Ag, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Uiniversitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry saat mengisi pengajian rutin dengan tema “Peradaban Islam dan Eksistensinya dalam Pembangunan Aceh” yang diselenggarakan Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Banda Aceh, Rabu (20/04/2016).
Pengajian yang dimoderatori oleh Dosi Elfian dari Kompas TV ini dihadiri kalangan jurnalis dari berbagai media online dan cetak, aktivis, mahasiswa, kalangan santri dan unsur birokrat lainnya. Selain itu juga dihadiri sejumlah tokoh seperti direktur Bank Aceh Syari’ah, Haizir Sulaiman, Farid Nyak Umar dari PKS, Akhyar, M.Ag dari Kanwil Kemenag dan sejumlah tokoh lainnya.
Misri A. Muchsin mengatakan, syariat Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan hukum, tapi juga berbagai aspek kehidupan. Ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan, red), politik, muamalah, pergaulan dan sebagainya. Semua itu kata Misri telah tercover dalam syari’ah.
Ia menyebut, ada seorang pemikir/pelancong yang merekam sejarah Aceh dalam buknya. Ia mengatakan bahwa penerapan syari’at di abad 19 adalah sangat real. Dulu, kata Misri, di samping adanya implementasi hukum jinayah, pelaksanaan syari’at Islam juga dibuktikan dengan bukti fisik. Meuligo Raja itu ada sambungan langsung dengan mesjid, dan punya jalan khusus agar memudahkan pemimpin ke mesjid.
Begitu juga, pembangunan mesjid juga harus dekat dengan pasar agar penghuni pasar bisa segera ke mesjid saat azan dikumandangkan. Karena dipahami bahwa shalat berjamaah adalah amalan harian yang terus dilakukan Rasulullah sepanjang hidupnya. Maka mesjid harus dekat dengan pasar. Begitu juga, Seni-seni di Aceh memiliki nilai filosofis yang hulunya adalah Islam. Rumoh Aceh biasanya dibangun dengan menghadap kiblat. Rumah yang ada arah kiblat biasanya sangat adem, sebutnya lagi.
Terkait dengan dinamika politik Aceh, diharapkan juga agar memperhatikan rambu-rambu ajaran Islam agar dinamikanya senantaisa berada dalam garis peradaban Islam.
“Kalau kita melihat siyasah atau politik, bagaimana kelangsungan politik di Aceh, idealnya politik harus bersendikan pada nilai-nilai peradaban. Jangan mencapai kekuasaan lewat kekerasan, tapi berbuat dengan akal sehat, “ kata Misri.
Ia menegaskan, kalau kekerasan yang ditempuh dalam politik, maka hal demikian bermakna bahwa kita belum beradab, atau belum berperadaban. Sebab, kara Misri menambahkan, orang beradab itu suka damai, cinta ilmu, cinta keindahan. Maka kepemimpinan itu mampu mengundang cinta dari rakyat.
Lebih lanjut, dalam pengajian ini, Misri juga mengatakan, kita bersyukur bahwa di Aceh bukan hanya ada polisi, tapi juga ada polisi syari’at. Terlepas polisi syari’at tersebut memiliki kekuarangan, hal demikian dianggap wajar karena sedang berproses. Dan kerja polisi syari’at ini adalah kerja menegakkan peradaban.
Lalu bagaimana konsepsi peradaban dalam konteks pembangunan Aceh? Misri menyebut, pembangunan itu sebenarnya terbagi dua, yaitu pembangunan fisik dan non fisik. Non fisik, kata Misri, adalah pembangunan sumber daya insan (SDI). Dan SDI ini menjadi hal yang sangat penting yang harus dibangun secara terpogram dan sadar.
“Tanpa kesadaran untuk membangunnnya, saya khawatir Aceh akan ompong. Maksudnya, Aceh punya nama besar, tapi isinya tidak bagus. Maka pembangunan insane ini seharusnya mendapatkan tempat yang baik dalam masyarakat dan pemerintahan kita, “ ujar Misri menambahkan.
Di antara sejumlah agenda pembangunan dalam membangun peradaban, menurut Misri, pembangunan pendidikan adalah hal yang mesti diperkuat dan dipoles lagi. Buktinya, sebut Misri, banyak rancangan pendidikan, kurikulum dan lembaga pendidikan yang mengabaikan pertimbangan dan capaian bagaimana agar nilai-nilai insaniah dari alumnusnya bisa terbangun.
“Dalam penyusunan kuriukulum atau silabus misalnya, bagaimana supaya capaian alumnus kita bisa tercover dari kedua arah. Bagaimana agar pembentukan karakter bisa tercipta, “ sebutnya.
Terhadap tuntutan ini, Misri mengatakan, ia telah melakukan ujicoba di Fakultas Adab sejak empat tahun terajkhir. dengan Bahasa yang simple, ia mengatakan, boleh saja ia mengajari Mata Kuliah (MK) filsafat, tapi ia juga mewajibkan mahasiswa yang diasuhnya untuk dekat dengan Al-Qur’an.
“belajar sama saya boleh mata kuliah apa saja, tapi di sepuluh menit awal itu para mahasiswa saya wajibkan setoran hafalan Alqur’an. Pennghafalan Alquran itu dalam filosofi yang saya bangun gunanya adalah untuk mendekatkan mereka dengan Alquran, yang pada akhirnya mendekatkan mereka dengan Allah swt. Sebaliknya kalau tidak mau dekat dengan Alquran, maka secara tidak langsung ia akan jauh dengan Alllah dan dekat dengan setan. Saya pikir ini merupakan cara lain untuk membangun spirtualitas kaum muda yang memang harus kita pikirkan, “ katanya.
Pembangunan yang seperti itu memang tidak nampak sebagaimana halnya pembangunan fisik. Tapi merupakan suatu yang paling penting. Apalagi, dalam bidang fisik pembangunan Aceh sudah sangat drastik semenjak pasca tsunami. Namun sekarang, sebutnya lagi, bagaimana pembangunan non fisik ini harus dipikirkan.
Di akhir pengajian, Misri mengatakan, pemimpin Aceh yang baik harus islamis (memnjalankan nilai-nilai Islam) supaya sesuai dengan agenda penerapan syari’at Islam, supaya tidak jadi momok bagi mayarakat.

”Kalau seorang pemimpin tidak pernah ke mesjid raya, itu patut dicurigai kemana Aceh hendak mereka bawa, “ ujarnya.* kiriman Teuku Zulkhairi (Hidayatullah.com)
SHARE :
 
Top