Oleh: Nursalmi SAg

Gambar: Ilustrasi
Sebenarnya sejak mahasiswa saya sudah belajar menulis, karena dakwah bukan hanya lewat lisan tetapi juga lewat tulisan. Bahkan ada beberapa mata kuliah yang mengajar dan mengharuskan mahasiswanya menulis, contohnya mata kuliah metode penelitian, etnografi dan public relation. 

Di samping itu, kampus kami, Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry sering diadakan training jurnalistik. Ada beberapa teman peserta yang sekarang sudah menjadi wartawan baik lokal maupun di tingkat nasional. Saya bangga dengan mereka yang konsiten mengabdi sesuai dengan ilmunya. 

Dulu bagi saya menulis adalah merupakan pekerjaan yang menjemukan, walaupun selalu ingin menulis. Penyebabnya setiap memulai menulis selalu macet, satu hari kadang tidak selesai satu alineapun, dan akhirnya timbul sifat malas, apalagi melihat tulisannya tidak sesuai target. 

Suatu hari saya menemukan sebuah foto di face book seorang teman, disana ada tiga orang tokoh yang duduk semeja dalam sebuah seminar di kampus IAIN Ar Raniry dulu, kira kira tahun 1994, yang sekarang sudah menjadi UIN. Saya baru sadar, bahwa saya dulu pernah ingin menjadi seorang penulis seperti mereka. Namun karena faktor malas akhirnya cita cita itu hilang tidak tau kemana. Setelah melihat mereka di foto itu timbul lagi keinginan menulis, walau tidak seperti mereka. Saya berharap semoga pahala dakwah saya lewat tulisan bisa mengalir kepada mereka.

Yang pertama Alm. Prof. H. Ali Hasyimi, beliau adalah seorang ulama sekaligus umara yang sangat ditakuti oleh kafir. Beliau juga seorang budayawan dan sastrawan. Banyak karya tulisnya yang selalu menjadi kenangan dan menjadi ilmu yang ditinggalkan untuk kita dan generasi mendatang. 

Yang kedua, Alm. Prof. DR. Safwan Idris, MA. Beliau adalah Pembantu Rektor I IAIN Ar Raniry pada masa saya kuliah, sebelum beliau menjabat sebagai rektor. Beliau dosen kami untuk mata kuliah etnografi. Biasanya beliau mengajar mata kuliah bahasa inggris dan statistik. Menurut beliau kedua mata kuliah tersebut tidak banyak kesempatan berbicara, maka beliau meminta mengajar mata kuliah etnografi karena ingin berbicara banyak dengan mahasiswa.

Pertama masuk kuliah kami ditugaskan membaca buku “ Aceh di Mata Kolonialis” karangan Snouck Hurgronje, agar mengetahui bagaimana kita membuat penelitian untuk membuat sebuah tulisan, seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dalam membuat penelitian tentang sosio kultural masyarakat Aceh, sehingga dia mampu menarik simpati masyarakat Aceh ketika itu. 

Kemudian kami ditugaskan membuat penelitian, dan setiap minggu diminta laporan dalam bentuk tulisan.

Saat itu, saya meneliti seorang Nyak Wa penjual lontong. Tanpa disadari oleh Nyak Wa, setiap saya membeli lontong selalu saya wawancara beliau, mulai dari motivasi dia jualan, modalnya dari mana, hasilnya dipakai untuk apa, proses persiapan membuat lontong setiap hari, jam berapa dia bangun pagi untuk mulai memasak dan masih banyak pertanyaan lain yang selalu saya ajukan kepada beliau. 

Setiap masuk kuliah laporan itu saya serahkan kepada bapak Safwan Idris selaku dosen pembimbing dan beliau bacakan di depan teman teman. Alhamdulillah setelah ujian final, saya adalah satu satunya mahasiswa yang mendapat nilai A, (maaf bukan untuk sombong, tetapi untuk motifasi). Akhirnya setiap saya jumpa dengan beliau, tidak pernah lagi beliau panggil nama asli saya, tetapi beliau panggil saya dengan panggilan “Nyak Wa”. Ini kenangan yang tidak pernah saya lupakan. 

Yang ketiga, Drs. Nawawi M. Yusuf, SH. Beliau adalah asisten dosen di IAIN Ar Raniry pada masa saya kuliah. Beliau juga Master of Training saya ketika ikut intermedite training yang dilaksanakan oleh HMI Cabang Banda Aceh tahun 1993.

Beliau juga sering menjadi instruktur Training Jurnalistik yang dilaksanakan oleh SMF Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry. Beliau juga sering menulis opini di koran Serambi Indonesia, Kompas dan Waspada.

Saya simpati dengan beliau karena ilmunya dan cara penyampaiannya yang sangat menarik. Tidak ada sedikitpun rasa ingin memiliki beliau. Walaupun akhirnya Allah mengirim beliau untuk melamar saya. Sempat saya menolak lamarannya karena saya pikir tidak mungkin.

Beliau orang hebat di mata saya, sementara saya hanya anak bawang, kuliah saja belum selesai. Namun jodoh di tangan Allah dan akhirnya kami dikumpulkan oleh Allah dalam ikatan pernikahan. Sampai sekarang beliau selalu memberikan motivasi dalam setiap langkah dakwah saya, baik lisan maupun tulisan. 

Di sisi lain, dalam kondisi dunia saat ini, media digital sudah menjadi peranan penting dalam berdakwah. Media dikuasai kafir untuk menghancurkan umat Islam dan generasi. Saya berfikir, berarti kita harus menguasai IT, dengan menggunakan media  canggih ini sebagai sarana dakwah.

Dalam beberapa forum saya berjumpa lagi dengan sahabat sahabat lama suami saya, mereka juga aktif menulis sampai sekarang, mereka selalu mensupport saya untuk menulis, seperti bang Ameer Hamzah, bang Sayed Muhammad Husen, bang Nabhani As walau jarang jumpa.

Kalaupun jumpa mereka selalu minta saya menulis, atau sekedar lewat messenger, beliau bilang “nulis lagi ya”, ini yang membuat saya  termotivasi lagi untuk bisa menulis.

Terimakasih para motivatorku, wa bil khusus untuk motivator yang telah menjadi suamiku, ayah bagi anak anakku, barakallahu fi kum jami’an, wa jazakumullahu khairan katsira.
SHARE :
 
Top