Oleh Sri Suyanta Harsa

Ilustrasi
Muhasabah 18 Zulhijah 1440
Saudaraku, selain mensyukurinya, kata yang sering digunakan untuk mengisi kemedekaan yang telah diraih oleh bangsa negeri ini adalah membangun, baik aspek fisik maupun phikhis. Aspek fisik sudah terlihat jelas betapa cepat akselerasinya ditandai dengan dibangunnya berbagai-bagai sarana prasarana, infrastruktur semakin lengkap dan modern. Adapun aspek phikhis adalah membangun jiwa sumber daya manusia (sdm) negeri ini yang akselerasinya mengalami dinamikanya tersendiri.

Bila dalam membangun jiwa sdm negeri ini mengkristal pada karakter bangsa, maka kini terus diuji dan dipertaruhkan untuk mempertahankan eksistensi nilai-nilai yang adiluhung yang telah tercipta. Oleh karenanya pendidikan katakter terus mengemuka.

Apalagi dalam iman Islam bahwa manusia merupakan makhluk yang paling unik, manusia yang belum tentu berkarakter manusiawi, tetapi bisa syaithani karena melekat sifat setan atau sabu'iy karena melekat sufat binatang buas atau hewaniy karena melekat sifat hewan ternak, maka meniscayakan pengarahan, penuntunan, dan pembinaan. Inilah pendidikan sebuah proses memanusiakan manusia. Juga terdapat fenomena sosial seperti meningkatnya ego sektoral, intoleransi, kenakalan remaja, narkoba,  perilaku seks bebas, korupsi merajalela, dan berbagai kasus dekadensi moral lain yang melanda di negeri ini. 

Muara dari berbagai penyimpangan tersebut bersumber pada sisi dalam, ranah esoterik, spiritualitas, dan pembangunan yang timpang. Oleh karenanya banyak tuntutan adanya penguatan pendidikan karakter. Karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Seseorang yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. 

Pendidikan karakter adalah suatu proses transfer nilai dari pendidik kepada peserta didik, sehingga nilai tersebut diketahui, disadari dan dikukuhkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. 

Pendidikan karakter sejatinya memiliki esensi dan tujuan yang sama dengan  pendidikan akhlak, meskipun tetap dapat dibedakan dari sisi lainnya. Misalnya pada landasan filosofi pendidikan akhlak jelas bersifat teosentris-humanisme sedangkan landasan filosofis karakter ada pada humanisme. Bila dengan mudah merujuk dan menyebut figur sentral sebagai idola pendidikan akhak, maka hal yang sama tidak terjadi pada pendidikan karakter. Namun tujuan pendidikan akhlak dan pendidikan karakter sama-sama melahirkan  peserta didik yang memiliki kepribadian yang baik. Orang yang berkepribadian baik adalah orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial tertentu, baik nilai itu dipengaruhi oleh agama maupun budaya (kearifan lokal) bangsanya. Kearifan lokal sebagai nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia pada umumnya bersesuaian dengan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama (Islam). 

Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter di Indonesia adalah proses transfer nilai religiusitas yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadis dan budaya bangsa Indonesia yang adiluhung.

Dalam konteks pewarisan nilai di antara hukum kausalitas berlaku bahwa kebaikan berbalas kebaikan atau penghormatan berbalas penghormatan. Maka sikap menghormati orang lain, sejatinya ia menghormati dirinya sendiri. Karena dengan menghormati orang lain, maka orang lainpun akan menghormati diri kita. Begitu juga sebaliknya,  merendahkan orang lain berarti merendahkan diri sendiri.

Menghargai orang lain, sejatinya tengah menghargai dirinya sendiri. Karena dengan menghargai orang lain, maka orang lain akan menghargai diri kita. Begitu juga sebaliknya,  menjelek-jelekkan orang lain berarti 
menjelekkan diri sendiri. Dan seterusnya. Begitulah kelazimannya. Tetapi dalam etika kesantunan menuntun lebih dari sekedar hukum kausalitas. Perlakuan buruk sekalipun dituntun untuk dibalas dengan perlakuan baik, minimal memaafkannya.

Tetapi menyalahi hukum kausalitas dan jauh dari rumus kesantunan tersebut tentu bermasalah pada karakter pribadinya.

Oleh karenanya, Ali bin Abu Thalib kwj pernah berpesan bahwa "jika kamu ingin menguji karakter seseorang, hormati dia. Jika dia memiliki karakter yang bagus, dia akan lebih menghormatimu, namun jika dia memiliki karakter buruk, dia akan merasa dirinya paling baik dari semuanya".

Dan Allah berfirman yang artinya Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Qs. Al-Syura 40)

Oleh karena itu ketika upaya membangun negeri terutama membangun jiwa sdm bangsa ini telah melahirkan pribadi-pribadi berkarakter yang adiluhung (mulia), maka sudah semestinya kita mensyukurinya, baik dengan hati, lisan maupun tindakan nyata.

Pertama, mensyukuri dengan hati yaitu meyakini bahwa jati diri bangsa ini terletak pada nilai-nilai adiluhung yang dijunjung tinggi oleh antar generasi.

Kedua, mensyukuri dengan lisan seraya melafalkan kalimat syukur alhamdulillahi rabbil'alamin, semoga pembangunan fisik yang kian modern dapat diimbangi dengan sdmnya yang berakhlak mulia.

Ketiga, mensyukuri dengan tindakan konkret, di antaranya bersikap sesuai dengan norma-norma yang berlaku, baik norma adat istiadat, norma hukum, maupun norma agama.

Adapun dzikir pengkodisian hati penyejuk kalbu guna menjemput hidayahNya adslah membasahi lisan dengan ya Allah ya Haliim ya Syakur. Ya Allah, zat yang maha penyantun, zat yang maha mengapresiasi.
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top