Oleh T.A Sakti


Ilustrasi
Qanun Meukuta Alam adalah Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam. Namun, pemahaman orang terhadap  isi naskah ini  berbeda-beda tergantung jenis naskah yang menjadi rujukannya. Semua naskah yang masih tersedia sekarang bukan  karya asli, tetapi naskah yang telah direvisi berkali-kali. Sejauh yang dijumpai, amandemen paling akhir dilakukan oleh Teungku Di Mulek atas anjuran Sultan Ibrahim Mansur Syah tahun 1270 H, yakni 20 tahun sebelum Kerajaan Belanda menyerang Kerajaan Aceh Darussalam; tahun 1290 H. 

Memang, terhadap Qanun Al-Asyi/Qanun Meukuta Alam alias Adat Meukuta Alam telah dilakukan banyak pengkajian oleh para pakar. Namun, sebelum kita dapat membaca sendiri naskah asli Qanun Al-Asyi ( artinya: Qanun Aceh) itu;  belum bebaslah jiwa kita dari beban tanda tanya!. Sebab masih banyak hal yang belum jelas. Soal judul naskah saja tidak sama penyebutannya diantara para pakar. Ada penulis yang menyamakan judul Qanun Al-Asyi dengan Qanun Meukuta Alam serta Adat Meukuta Alam. Tetapi ada pula pakar yang membedakan ketiga judul tersebut.  Lain lagi dengan Prof.Dr. G.J. Drewes yang pernah mengkaji naskah Adat Aceh. Ia menyatakan bahwa naskah itulah yang bernama Adat Meukuta Alam.  Kalau masalah judul saja sudah berbeda, apalagi tentang isinya sudah pasti penjabarannya amat bervariasi pula.

Diantara budayawan/sastrawan/sejarawan  Aceh  yang paling serius menelaah Qanun Meukuta Alam adalah Prof.A.Hasjmy. Tetapi saya mendapati hampir semua isi naskah Qanun  Meukuta Alam  yang dikutip A.Hasjmy  adalah sama isinya dengan naskah Tazkirah Thabaqat yang sudah saya salin ke huruf Latin. Mau disebut bahwa Tazkirah Thabaqat itulah yang disebut Qanun Meukuta Alam tidaklah tepat, sebab di berbagai halaman  dalam naskah itu sering ‘mempertegas’ dirinya adalah berjudul Tazkirah Thabaqat pula. .

Lantaran itu, menghadirkan naskah asli Qanun Al-Asyi  merupakan hal yang mendesak agar kita tidak semrawutan  dalam memahami sejarah perundang-undangan kesultanan Aceh yang sebagian isinya yang relevan hendak dilestarikan.
      
Buku  “Adat meukuta Alam”, yang disusun Tuanku Abdul Jalil ,  pernah diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh(PDIA),Banda Aceh tahun 1991.   Dari kata pengantarnya sudah dijelaskan, bahwa naskah Adat Meukuta Alam ini samasekali tidak lengkap/tidak utuh. Pasalnya naskah ini berasal dari sisa-sisa pertempuran yang dahsyat.  Ketika pasukan  Belanda dapat menduduki Mesjid Indrapuri tahun 1879, diantara naskah-naskah yang berserakan di situ adalah Adat Meukuta Alam yang tidak utuh lagi. Perlu ditambahkan, bahwa setahun sebelumnya yaitu tahun 1878, sultan Muhammad Daud yang merupakan sultan Aceh terakhir dilantik/ditabalkan di Mesjid Indrapuri itu. Jadi, walaupun sudah diterbitkan buku yang berjudul Adat Meukuta Alam, tetapi ia merupakan saduran yang berulang kali dari naskah asli yang tidak lengkap. Saduran pertama ke bahasa Belanda, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dalam hal ini kita tetap belum mendapatkan naskah asli Qanun Meukuta Alam yang utuh-lengkap.

Cara lain bagi mendapatkan naskah Qanun Al-Asyi yang mungkin masih diasimpan di Asia Tenggara adalah  dengan menyebarkan iklan dalam media-massa  yang terbit di negara-negara yang tercakup dalam Dunia Melayu. Bahwa masyarakat Aceh sedang mencari naskah Qanun Meukuta Alam dan akan menebusnya dengan bayaran yang cukup lumayan. Bukan mustahil masyarakat di Dunia Melayu – seperti di Malaysia, Singapore, Brunei Darusslam, Patani(Thailand), Campa(Kamboja), Filipina Selatan dan lain-lain- masih menyimpan naskah tersebut, karena Qanun Meukuta Alam tertulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Jawi/Jawoe.Bahkan dalam sebuah literature disebutkan, bahwa Sultan Hasan dari Brunei pada abad ke 18,  secara terang-terangan menyatakan ia mengambil pedoman pemerintahannya dari naskah Adat Mahkota Alam Aceh.

Dan memang pernah terjadi, bahwa naskah-naskah lama (manuskrip)  bukan dijumpai kembali di wilayah asalnya, tetapi di daerah luarnya bahkan di seberang lautan.  Salah satu contohnya ialah Hikayat Raja-Raja  Pasai – Sejarah Kerajaan Samudera Pasai – yang tidak dijumpai di Aceh, melainkan di Demak, Jawa Tengah. Dari Jawa dibawa orang ke Eropa dan dari sana baru masuk Aceh.

Pada pertengahan tahun 2010 Syiah Kula University Press telah menerbitkan buku “Qanun Meukuta Alam” . Penerbitan ini merupakan salah satu dari versi Qanun Kerajaan Aceh yang masih tersedia. Saya sendiri memiliki dua naskah sejenis yang telah ditransliterasikan ke huruf Latin.  Dengan beredarnya kembali buku ini, masyarakat luas baik di Aceh atau dimana saja akan mengetahui betapa pentingnya naskah Qanun Meukuta Alam bagi menyusun sejarah perundang-undangan di Aceh. Mudah-mudahan masyarakat luas “terpancing” untuk menampilkan naskah lainnya yang mungkin masih mereka simpan!.

Karena itu tidaklah berlebihan, bila  saya pernah menulis artikel dalam sebuah koran lokal dengan judul: “Ayo Memburu Qanun Meukuta Alam ke Segenap Penjuru!!!. 

Penulis merupakan Pakar Budaya dan Sastra Aceh dan Dosen Tetap di FKIP Jurusan Sejarah, Unsyiah, Banda Aceh
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top