Fahril Muzanna, S.Pd
Oleh Sekum PII Aceh Besar

Dalam studi Sosiologi, subtansi Civilization adalah masyarakat yang teramat mapan dan kompleks mencakup segi-segi kehidupan politik, sosial, budaya, agama, hukum dan sebagainya demikian itu Civilization (Peradaban) adalah pabriknya manusia secara umum sejak dahulu hingga sekarang. Selain agama, budaya, sosial, Politik merupakan salah satu bahagian tak terpisahkan dari satu peradaban dunia.

Begitu pun di bumi Tjut Nyak Dhien eksistensi politik disini telah berkembang cepat dan bebas sebagai bukti adanya perkuliahan yang membidangi ilmu politik sekalipun, seminar, kajian-kajian Fiqhus Siyasah dalam islam dan sebagainya. Haluan terbaik pula pembangunan di Aceh nyaris maksimal dengan penerapan politik meskipun pro dan kontra kian melahirkan konflik mewarnai, dan kadang kala menjadi bias ditengah masyarakat

Catatan politik selama ini adalah takaran dan indeks tolak ukur perpolitikan yang menghiasi peradaban Aceh Besar khususnya, seperti cerita awal bahwa politik satu dari elemen yang membentuk peradaban Manusia dimuka bumi, namun baik buruknya masyarakat yang mencermati sebagai tanda muncul begitu banyak persepsi dan peniliaan disana terkait perpolitikan. Lebih jelas ialah terhadap Rezim yang memimpin mulai dari Indonesia, Aceh saat ini dan khususnya Aceh Besar yang menjalankan roda pemerintahannya dengan berbagai kebijakan.

Narasi dan diksi politik tidak cukup di diagnosa dengan sekelompok, parpol, pemimpin ekseskutif, pimpinan legislatif, masyarakat sebagai konsituen namun meliputi seluruhnya perangkat-perangkat pedukung seperti instansi-instansi, lembaga, ormas/okp hingga kajian mengenai kebijakan yang lahir. Begitu ilmiah kita merujuk pada semangat awal pula bahwa politik sebagai salah satu unsur Peradaban, hemat Drs. Samsul Munir Amin, M.A. ialah politik yang membawa pada peradaban kehidupan manusiawi, membentuk peradaban yang ideal lewat dunia Politek, mencerdaskan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan politek melalui kebijakan yang dikeluarkan, senada itu penulis haqqul yaqin tidak cukup namun harus adala langkah yang konkrit lainnya oleh pemimpin menuntun masyarakatnya ke arah pembangunan moral yang ideal dengan politik yang ia pakai sebagai wasilah.

Kembali pada kata Civilization (Peradaban) yang dituangkan Munir Amin dalam tulisannya hampir 500 lembar, yaitu keterpaduan antara, agama, politik. budaya, sosial, hukum dalam suatu tatanan masyarakat selaku pelaku sosial bertujuan mencapai peradaban yang sempurna. Mengenai itu problematika politik dalam membangun peradaban daerah tidak terkendali penulis berani uraikan dilematis nan memprihatin dimana pembunuhan karakter terang-terangan, mencela, propaganda, unsupport, pengiringan publik lewat justifikasi terjadi terhadap pemimpin-pemimpin saat ini hanya karena beda warna Hitam dan Putih contonya. Bagaimana tidak di ruang Publik tidak  lagi ditemukan edukasi-edukasi politik yang santun dan bijak hanya justifikasi, analisa cacat oleh oknum atau kelompok untuk menjatuhkan biasnya. Tersirat, tidak menerima satu kebijakan, tidak menerima kebenaran karena beda warna politik beda golongan hingga berujung pada politik untuk merusak peradaban padahal peradaban dibangun dengan saalah satu tangga yaitu Politik sehat dan santun.

Bulan April 2019 lalu kita melaksanakan Pemilihan Legislatif (Pileg) khususnya Aceh Besar yang sangat penulis banggakan, pesta Demokarsi itu melahirkan 35 lesgislator dari berbagai parpol meliputi Lima Daerah Pemilihan (Dapil) tentunya mereka telah dimandatkan masyarakat Aceh Besar untuk mewakili aspirasinya di Kursi Sakral Jantho, Analogi Penulis demikian. Namun belum sampai satu tahun ke-35 lesgislator ini bekerja telah mendapatkan kritikan, justifikasi, unsupport, propaganda dan pengiringan publik bahkan ketidakpercayaan dari mereka yang memberi mandat pada 17 April lalu. Sederhananya mereka tidak percaya kepada mereka yang diberi mandat lantas dimana letak kepercayaan itu, atau kepada siapa kepercayaan itu dipercayakan?

Mustafa Lutfi Al-Manfaluti (Mesir 1876-1924) seorang sastrawan dan penyair, pada satu kesempatan diminta oleh masyarakat sekitarnya untuk memperbanyak tulisannya mengenai politik namun ia enggan, menurutnya politik dan politisi hanya berorientasi kebohongan, tipu daya, tidak kesetiaan dan propaganda semata. Perspektifnya yang kontroversi menggemparkan dunia Literasi mesir kala itu dan memperkeruh indeks demokrasi mesir. Penulis memahami bahwa sikap kontroversi Manfaluti muncul karena berbeda arah politik, kubu, dengan pemimpin mesir sehingga claimnya bahwa politik hanya sebagai alat untuk membunuh, sikap seorang tokoh Manfaluti berhasil mempengaruhi opini publik dan menimbulkan konflik baru.

Sama halnya dengan sikap tokoh, elit politik di Aceh Besar yang mempengaruhi publik lewat cuitan-cuitannya bahkan menggiring publik kepada kebingungan padahal dibalik cuitan tersebut tersandung kepentingan atau perbedaan arah politik yang seharusnya tidak demikian. Idealnya elit politik dan tokoh publik harus memberikan edukasi-edukasi tentang politik diruang publik untuk tujuan awal yaitu membangun peradaban.

Seribu jalan menuju Roma, dua pilihan surga dan neraka, namun 1001 perspektif terkait justifikasi masyarakat kepada Legislator bahkan Pemerintah Aceh Besar secara umum yang lahir bukan dari golongannya dengan satu ungkapan ''Balancing'', ''Pengawasan'' kami hujani dengan kritik serta masukan untuk kemajuan daerah tercinta. Dalih demikian sering kali penulis dengar dalam diskusi formal atau pun non-formal namun nyatanya kritikan yang Awak nyan peugah untuk Balancing, Pengawasan timbul tidak lebih dari pada unsur perbedaan arah politik semata, beda warna, beda kepentingan, beda partai bahkan lawan politik saat Pilpres, Pilkada, Pilgub hingga Pemilihan Geuchik di gampong-gampong saat itu masih membekas.

Pro dan Kontra sebagai warna dan wadah dalam peradaban kita akui Ikhtilafur Rahmah disebutkan dalam Hadaih Maja namun disaat Pro dan kontra dalam satu kebijakan atau permasalahan digiring oleh kelompok atau individu sebagai kamuflase untuk kepentingannya menyerang lawan politik sikap demikian tidak ideal, sangat tendensius dan telah merabah kepada mengkritik privacy seseorang yang dalam hal ini juga dianggap Balancing dan Pengawasan? Kenapa tidak mengkritik cara berjalan dan cara mengikat tali sepatu jika itu dianggap sebagai langkah Balancing dan Pengawasan pembangunan daerah?

Sikap demikian sudah melucuti perpolitikan sebagai unsur peradaban khususnya di Aceh Besar, menggiring publik dengan tulisan tendensius, ideologi cacat. Padahal sebelumnya seluruh masyarakat menginginkan sebuah peradaban yang sempurna jika ditanya, sepakat, ditambah harapan yang beri guna mewujudkan itu namun ditengah jalan kita terkontaminasi oleh ideologi cacat, bisikan propaganda, unsupport serta sikap ketidakpercayaan segelintir kelompok berhasil menggiring kita kepada kamuflase mereka untuk kepentingan kelompoknya sendiri dengan dalih seperti diatas Balancing dan Pengawasan.

Penulis Haqqul Yakin pembaca pasti merasa demikian dari temuan-temuan setiap hari lewat interaksi sosial, media, sekurang-kurangnya cuitan tetangga, teman, kerabat di Facebook, Instagram, Twitter, Stori Wa atau WAG yang sangat mudah untuk di akses zaman ini. Terlihat konyol namun sejatinya itulah taraf politik dalam peradaban saat ini di Aceh Besar, kita memperlihatkan kekonyolan itu sendiri ditengah Pandemi Covid-19 dan Banjir. Semua ingin jadi mentri, semua ingin jadi Bupati dan semua ingin menjadi Legislator, kembali penulis analogikan semuanya ingin menjadi Striker dalam pertandingan bola sepak tapi lupa siapa yang akan menjadi Center Back dan Keeper?

Kilas balik, Peradaban islam masa Muhammad SAW tidak luput dari pendekatan politik yang Al-Mukarram sebagai aktor dibaliknya, begitu cepat Ia mampu membangun dan meng-islamkan Makkah dan Madinah dalam jangka 23 tahun, tidak hanya pembawa Risalah namun Ia (Muhammad SAW) juga lesgislator ulung, eksekutor terbaik dan Pemimpin Negara. Kemudian disusul era Khulafaur Rasyidin dimulai Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan hingga Ali Bin Abi Thalib telah menoreh tinta emas dalam bidang Politik, ditambah Bani Ummayyah memimpin 83 tahun pada periode pertama di Damaskus dan Bani Abbasyiah setelahnya selama 132 tahun.

Masa keemasan peradaban islam itu tidak luput dari pengaruh politik sebagai unsur peradaban, dan kemunduran bahkan keruntuhannya juga dibayang-bayangi politik propaganda, unsupport, ketidakpercayaan, pengiringan publik yang kemudian menimbulkan konflik hingga kebinasaan. Seharusnya sejarah politik di atas dalam peradaban islam kita angkat sebagai pedoman dengan tujuan awal membentuk Civilization Aceh Besar yang mapan dan kompleks dipenuhi dengan segi-segi agama, sosial, budaya, politik, hukum, bukan berpedoman dengan warna dan golongan.

Penulis berharap Pemimpin-Pemimpin Aceh Besar saat ini hingga Elit Politik berkenan mempraktikkan politik santun dan sopan tentunya sebagai suri tauladan kepada generasimu dengan optimis akan menggantikanmu pada 20 tahun mendatang, jika tidak politik ala Marxis dan Karl Mark yang dimainkan pastinya terwarisi kepada kami sebagai penerusmu.

Penulis bukan kader partai mana pun, hanya Sekretaris Umum (Sekum) Pelajar Islam Indonesia Kabupaten Aceh Besar dalam Taukid ini sebagai Pemuda Aceh Besar yang peka dan prihatin akan keadaan yang cenderung menimbulkan gesekan politik tendensius ditengah masyarakat. Selaku kader Ummat, Penulis mengharapkan pemuda, pelajar, mahasiswa, aktivis, cendikia, mengajak untuk mengambil sikap cerdas dalam mengamati, mengkrtitis dan juga sikap cerdas nan cermat dalam membaca dan mengkaji setiap kritikan yang manusia layangkan kepada manusia lainnya.

Tanah Tjut Nyak Dhien ini mendambakan pemuda terhindar propaganda, pelajar bebas ideologi cacat, mahasiswa dan aktivis bebas kamuflase serta cendikia yang sopan dan kritis dengan demikian Insyaallah lahirnya pemimpin-pemimpin berideologi kuat, kritis, tidak propaganda dan tidak menggunakan kamuflase-kamuflase. Kembali penulis mengajak Pemuda dan Pemudi agar sama-sama membangun peradaban Aceh Besar dengan Politik santun dan sopan tidak menggunakan politik justifikasi, propaganda, pengiringan publik seperti ideologi cacat karena nasib peradaban Aceh Besar 20 tahun mendatang terletak di pundak pemuda-pemudi hari ini.
SHARE :
 
Top