Oleh Dr. Nurkhalis Muchtar, Lc, MA
Ketua STAI Al-Washliyah Banda Aceh


Beliau sering menulis namanya dengan Teungku al Haqir al Faqir Ahmad Dewi. Dari jalur ayahnya Teungku Muhammad Husen mengalir darah perjuangan dari ulama dan pejuang Aceh Teungku Chik Hasballah Meunasah Kumbang yang merupakan murid dari Teungku Chik Pantee Geulima, ulama yang hidup segenerasi dengan Teungku Chik Di Tiro. Sebenarnya nama Teungku Ahmad Dewi adalah Ahmadullah, namun karena kemiripan dengan wajah ibunya masyarakat memanggil beliau dengan panggilan Teungku Ahmad Dewi.

Kehadiran Teungku Ahmad Dewi dalam iklim pemberlakuan syariat Islam di Aceh memiliki arti penting, mengingat beliau yang mengawali pembentukan 'team khusus' yang disebut dengan Barisan Teuntra Merah disingkat BTM, terdiri dari para santrinya yang bertugas melakukan amar makruf nahi mungkar. Teungku Ahmad Dewi juga seorang alim yang mematangkan keilmuannya di berbagai dayah dan belajar dari para ulama kharismatik Aceh. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian beliau tumbuh dan melanjutkan tradisi keilmuan dari kakeknya Abu Meunasah Kumbang yang terkenal dengan keberanian, keahlian ceramah, karena Abu Meunasah Kumbang adalah seorang ulama besar pada masanya. 

Pada tahun 1964 dalam usia 13 tahun, Teungku Ahmad Dewi mulai belajar secara sungguh-sungguh kepada salah seorang ulama Aceh  Abu Muhammad Thaib Matang Geutho Idi Cut, yang merupakan guru dari banyak ulama Aceh. Abu Muhammad Thaib Matang Geutho adalah ulama yang hidup segenerasi dengan Syekh Hanafiyah Abbas Teungku Abi, Abu Meunasah Kumbang, Abu Kruengkalee dan ulama lainnya. Di antara murid-murid Abu Muhammad Thaib Matang Geutho yang menjadi ulama adalah Abu Muhammad Seuriget, Abu Ibrahim Bardan Panton dan Teungku Ahmad Dewi. Ketika belajar di Dayah Darutthaibah Matang Geutho, beliau banyak dididik oleh pamannya yang bernama Teungku Muhammad Shaleh yang juga sebagai guru senior di Dayah Matang Geutho. 

Setelah beberapa tahun di Dayah Matang Geutho Teungku Ahmad Dewi kemudian melanjutkan pengajiannya ke Dayah Teungku Sofyan Matang Kuli. Dalam beberapa tahun berikutnya beliau melanjutkan ke Dayah Abu Abdul Wahab Idi Cut. Pada rentang waktu itu, Teungku Ahmad Dewi berdakwah di pasar-pasar melalui metode 'meukat ubat'. Perlahan namun pasti bakat oratornya makin kuat dan memikat para pendengar. Sehingga pada tahun 1973, beliau berjumpa dengan Abu Abdul Aziz Samalanga yang secara berkebetulan berkunjung ke Dayah muridnya Teungku Sofyan Matang Kuli dan beliau kemudian menjadi salah satu murid Abon Samalanga. 

Semenjak tahun 1973, Teungku Ahmad Dewi muda menetap di Dayah Mudi Mesra Samalanga. Selama lebih kurang empat tahun beliau tekun belajar di Dayah Mudi Mesra Samalanga sehingga mengantarkannya menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya. Beliau disebutkan segenerasi dengan Abuya Nasir Waly, Abu Mudi Samalanga, Waled Nuruzzahri Samalanga dan ulama lainnya, adapun guru mereka adalah Abu Panton dan Abu Lueng Angen. Pada tahun 1977 Teungku Ahmad Dewi telah masyhur sebagai penceramah dan orator ulung di Samalanga dan sekitarnya. Ceramah beliau dikenal berani, tegas dan 'blak-blakan', serta banyak mengkritik kebijakan pemerintah pada masa itu. 

Rentang 1977-1979, beliau mulai berurusan dengan pihak berwajib, beliau ditangkap karena ceramahnya dianggap berbahaya. Namun salah seorang ulama Aceh Besar Abu T Usman al-Fauzi Lueng Ie pimpinan Dayah Lhueng Ie yang aktif di Golkar meminta agar beliau dibebaskan dan menjadi tahanan rumah di Banda Aceh. Abu Usman Lhueng Ie adalah ulama kharismatik Aceh juga lulusan Darussalam Labuhan Haji, teman sepengajian Abon Samalanga, dan aktif di Golkar bersama Abuya Doktor. Kehadiran para ulama di partai perpolitikan terkadang sangat dibutuhkan, untuk memberi warna yang baru tentunya efek positif. Hal inilah yang kerap dilakukan Abu Lhueng Ie sehingga mampu mengkomunikasikan segala kebaikan dengan dukungan sistem politik yang baik. 

Semenjak ditangkap, Teungku Ahmad Dewi semakin berani untuk menyuarakan kebenaran. Dan saat status tahanan rumah dipindahkan ke kampungnya, beliau membuka sebuah dayah yang disebut dengan Dayah BTM atau Balee Teumpat Meununtot ilme. Hadirnya beliau dengan dayahnya BTM telah menarik minat generasi muda yang awalnya tidak memberi perhatian khusus kepada agama sehingga mereka sadar dan mau belajar agama. Sehingga banyak di antara generasi muda tersebut sadar dan kembali ke jalan yang benar serta termotivasi untuk belajar agama secara mendalam.

Hari-hari yang dilalui oleh Teungku Ahmad Dewi adalah perjuangan. Perjuangan untuk konsisten dalam kebenaran dengan caranya sendiri. Secara keilmuan beliau bisa digolongkan sebagai ulama dan juga seorang orator hebat. Beliau bukan muncul secara tiba-tiba. Tapi beliau telah belajar dari banyak ulama seperti Abu Muhammad Thaib Matang Geutho, Teungku Muhammad Shaleh Meunasah Kumbang, Teungku Sofyan Matangkuli, Abu A Wahab Idi Cut, Abon Samalanga Syekh Abdul Aziz Shaleh dan para ulama lainnya. 

Teungku Ahmad Dewi dengan sosok kontroversialnya memiliki sudut  pandang yang berbeda bagi para simpatisannya. Beliau dengan caranya sendiri telah menyuarakan penegakan syariat Islam di Aceh jauh sebelum pemerintah menerapkan syariat Islam di Aceh. Beliau juga seorang orang yang alim, mengetahui dengan baik bahwa mimbar adalah amanah yang harus digunakan sebagaimana mestinya. Beliau berani menyampaikan kebenaran walaupun berujung pahit. Terlepas dari semuanya, Teungku Ahmad Dewi telah mengajarkan kepada siapapun untuk konsisten dalam kebenaran dalam kondisi apapun bahkan bila perlu nyawa sebagai taruhan. Setelah pengabdian yang besar, dalam usia 40 tahun beliau berpulang. Rahimahullah Rahmatan Wasi'atan. Alfaatihah.

Editor: smh
SHARE :
 
Top