Oleh Sri Suyanta Harsa

sumber ilustrasi: tribuntravel.com
Muhasabah 27 Dzulqaidah 1441
Saudaraku, tema muhasabah hari ini berjudul keluarga pelangi. Hal ini, sebuah keluarga meniscayakan bagi bersepadunya aneka warna sehingga laksana pelangi. Tetapi justru dengan keragaman warna itulah, keluarga menjadi indah bagaikan pelangi. "Pelangi-pelangi; alangkah indahmu; merah kuning hijau di langit yang biru; pelukismu agung; siapa gerangan; pelangi-pelangi ciptaan Tuhan". Begitu lirik lagu yang sudah diajarnyanyikan sejak balita.

Dalam keluarga, keragaman fisik tampak pada jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, wajah yang tampan dan ayu spesifik berbeda pada masing-masing pribadi. Juga pada postur tubuh, sidik jari dan warna kulit. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs. Al-Hujurat 13)

Adapun tentang sidik jari, diisyaratkan dalam firmanNya, yang artinya Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. (Qs. Al-Qiyamah 3 -4)

Di samping yang bersifat lahiriyah, keragaman juga terdapat pada bahasa, adat istiadat, budaya, sifat, tabiat, selera dan perilakunya. Allah berfirman yang artinya,  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q. Al-Rum 22)

Keragaman yang melekat pada masing-masing orang merupakan sunnatullah. Nah yang jelas-jelas berbeda, maka tidak elok dibeda-bedakan secara diskriminatif; yang jelas-jelas tidak sama rasanya tidak pantas disamakan. Untuk keaneragaman ini kita dituntut mencari dan menemukan titik temu dan tidak perlu berseteru dengan alasan perbedaan yang ada. Setidaknya titik temunya adalah kesamaan sikap sehingga saling menghormati, tasamuh/toleransi satu sama lainnya. Dengan perbedaan yang ada, di antaranya bisa saling mengenal, mengapresiasi dan tolong menolong dalam kebaikan. Karena sebagai sunnatullah, maka realitas keragaman ini justru melahirkan berbagai aturan, etika, regulasi, konsep, dan gagasan teoretik yang mesti disusun dan dijunjung tinggi oleh para pihak yang terikat pada kesepakatannya. 

Sejurus dengan ini, kita juga diwanti-wanti untuk saling melecehkan. Allah  berfrman yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (Al-Hujurat 11)

Nah dalam sebuah keluarga, nuclear family keluarga batih sekalipun juga sebagai pranata tempat berakumulasinya ragam perbedaan, ada suami, ada isteri dan ada anak yang memiliki ragam perbedaan masing-masing. Agar tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah meraih cita cinta bahagia tentu harus bisa saling memahami, bekerjasama, seiya sekata, bersinergi membangun keluarga yang bahagia sejahtera. 

Jadi keluarga merupakan representasi perpaduan dua keluarga besar dengan ragam perbedaan lahiriyah maupun yang substantif, seperti psikologi, sosiokultural masing-masing. Di sinilah, sikap saling belajar memahami, mengerti dan saling mengisi sangat dihajadkan untuk keharnonisan dan kelestarian maghligai rumah tangga.

Hari-hari pertama, kedua, sepekan, sebulan, setahun bisa jadi masih dalam suasana berbulan madu, memadu kasih sayang sembari saling menyelami, memahami, mengerti dan seterusnya sampai menjadi ikatan yang saling menguatkan satu sama lainnya. Seiring dengan itu juga belajar untuk seiya sekata sepenanggungan dalam menghadapi dan menyelesaikan problema.

Ketika dikaruniai anak, maka pola asuh dan pola didik juga harus didiskusikan dan diselenggarakan bersama-sama. Ketika anak tumbuh berkembang menjadi remaja atau dewasa juga memiliki kekhasan tertentu yang mestinya mendapat tempat dalam keluarga. Begitu seterusnya, sehingga "pendidikan" multikultural sejatinya sudah bermula di keluarga.
SHARE :
 
Top