Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Menjadi Guru Profesional 

Sekuntum bunga nirwana yang harum semerbak,  seharum wangi kasturi dari taman syurga. Nama yang indah diantara nama-nama yang indah, Fatimah Az-Zahra binta Rasulullah saw. Putri tercinta pemimpin orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Bunga indah yang akan terus mekar dan mewangi hingga akhir zaman. Dialah pemimpin kaum wanita penghuni surga di akhirat nanti.

Dalam bukunya Biografi 35 Shahabiyah Nabi Saw, Syaikh Mahmud Al-Mishri menuturkan, putri kelahiran lima tahun sebelum kenabian ini dilahirkan oleh sorang ibu  mulia, Khadijah binti Khuwailid. Ketika kaum Quraisy merenovasi bangunan ka'bah hingga hajarul aswad menjadi perdebatan. Peletakan hajarul aswad ke tempat semula menjadi sengketa antar suku, hingga  Rasulullah saw menjadi  penengah dalam perdebatan tersebut. Kebijakan dan kearifannya membawa situasi kembali stabil dan aman. Berkat idenya yang cemerlang, peletakkan hajar aswad di tempat semula dilakukan bersama-sama demi mendapatkan kemuliaan secara merata. Maka sejak saat itu beliau digelar dengan sebutan Al-Amien yang artinya dapat dipercaya.

Lazimnya wanita Arab ketika melahirkan, bayinya akan disusui oleh wanita lain.  Mengupahi wanita penyusu untuk disusui sampai disapih ketika sudah berumur dua tahun. Akan tetapi lain dengan ibu yang satu ini. Ia tidak mau mencarikan ibu susu untuk buah hatinya, tetapi ia menyusui sendiri putrinya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Fatimah mengisap susu yang mengandung nutrisi sekaligus menyerap semua kepribadian sang ibu, sehingga ia tumbuh menjadi seorang wanita penyabar, sopan santun, beradab, berbudi luhur serta  sifat-sifat terpuji lainnya. Curahan cinta dan kasih sayang dari ibunya telah membentuk jiwa dan pribadinya yang terpuji. Didikan kedua orang tua yang super hebat  membawanya menjadi wanita hebat sejagat raya. 

Kasih sayang dan cinta kasih dirasakan Fatimah hingga ia dewasa. Dalam rumah tangga nubuwah yang disinari keimanan dan ketakwaan, dihiasi gemerlapnya sinar surgawi. Keharmonisan rumah tangga mulia ini, tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata,  hingga maut memisahkan mereka. Kematian sang istri  nyaris melukai hati Rasulullah sebagai suami dan anaknya Fatimah. Peristiwa tersebut  membuat mereka meneteskan air mata.  Sepeninggal Khadijah, Fatimah berperan sebagai pengganti sosok sang ibu dalam mengurus ayahnya. Ia memenuhi semua kebutuhan ayah tercinta dengan ketulusan, penuh cinta dan kasih sayang, sehingga para sahabat Rasulullah menyebutnya dengan ibu nabi atau ibu ayahnya. Demikian penuturan Syaikh Mahmud Al-Mushri.

Kepedulian Fatimah terhadap Rasulullah saw tidak diragukan lagi. Hal inilah yang dapat mengurangi kesedihan sang ayah dengan kepergian ibunda Khadijah. Fatimah selalu mengawasi kemanapun Rasulullah pergi. Ia memantau bila mana terjadi sesuatu dengan ayahandanya, apalagi Rasulullah sering diincar oleh orang-orang Yahudi untuk menentang  dakwahnya. Fatimah selalu mengorbankan dirinya demi sang ayah. Merawat beliau  sebagaimana yang dicontohkan sang ibu.  Penuh kelembutan dan kasih sayang. Rasulullah juga sangat mencintai dan menyayangi Fatimah. 

Syaikh Mahmud Al-Mishri menulis, dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas'ud bahwa suatu ketika Rasulullah saw sedang mengerjakan shalat dekat ka'bah. Melihat hal tersebut, Abu Jahal dan rekan-rekannya merencanakan suatu kejahatan kepadanya. Mereka menyuruh salah seorang rekannya meletakkan kotoran hewan ke punggung Rasulullah ketika sedang sujud. Kekejian tersebut dilakukan oleh Uqbah bin Abu Mu'ith. Ia membawa kotoran hewan, ketika nabi sujud, ia meletakkannya di punggung dan pundak Rasulullah saw.

Setelah melakukan kebiadaban tersebut, dengan girangnya mereka tertawa terbahak-bahak. Posisi Rasulullah yang sedang sujud,  beliau tidak bangun dari sujudnya hingga Az-Zahra datang. Menyaksikan peristiwa tersebut membuat hatinya remuk redam. Dengan linangan air mata, ia menghampiri ayah tercinta  dan membuang kotoran hewan yang ada di punggung dan pundak  baginda. Selesai bersujud Rasulullah saw berdoa, "Ya Allah, timpakan hukuman  kepada orang-orang Quraisy ini." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali, hingga membuat mereka tersentak karena beliau mendoakan celaka bagi mereka. Demikian diantara kepedulian Fatimah Az-Zahra terhadap ayahnya  tercinta. Hal yang serupa berulang kali dilakukan Az-Zahra dengan motif yang berbeda. Bermacam bentuk kejahatan dilakukan Yahudi yang membuat Fatimah bertindak sebagai pembela ayahnya. 

Ketika Fatimah dewasa dan tiba saatnya berumah tangga, Rasulullah menikahkannya dengan seorang pemuda hebat, Ali bin Abi Thalib. Sesuai dengan sabdanya, "Sungguh Allah telah memerintahkanku untuk menikahkan Fatimah dengan Ali." Setelah menikah dengan Ali, Fatimah tinggal ditempat yang jauh dengan Rasulullah saw. Hidup dalam kesederhanaan, karena Ali terdiri dari kelaurga muskin. Rumahnya terdiri dari hamparan pasir tanpa alas. Hanya memiliki selembar kulit kambing sebagai tempat tidur. Rasulullah saw  datang menyerahkan dua bantal berisi serabut, kendi, dua geriba dan satu batu gilingan. Dengan batu gilingan tersebut Fatimah menggiling gandum hingga tangannya merah. Namun, mereka hidup bahagia dibarengi cinta dan kasih sayang yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan. Fatimah wanita yang tegar, penyabar dan zuhud seperti ibunya. 

Syaikh Mahmud menambahkan, Rasulullah tidak tahan hidup berjauhan dengan putri tercintanya Fatimah Az-Zahra. Beliau memindahkan rumah tangga Fatimah dan Ali tinggal berdekatan dengan rumah Rasulullah saw, agar beliau selalu dapat bersama mereka. Begitu kuatnya ikatan cinta dan kasih antara Rasulullah dengan Fatimah Az-Zahra. Kedekatannya dengan Fatimah membuat Rasulullan nyaman hingga akhir hayatnya.

Demikian keharuman nama dan kisah penuh kasih yang diberikan Fatimah selaku anak terhadap Rasulullah saw sebagai orang tuanya. Semoga kisah ini dapat menjadi keteladanan bagi kita semua. Allah akan memberkahi dan memuliakannya dengan derajat yang tinggi. Tidak mudah menggantikan tugas sang ibu mengurus ayahnya. Namun, tidak bagi Fatimah Az-Zahra, ia dapat  mengerjakan tugas dengan tulus, baik sebagai seorang istri, ibu dan seorang anak. Semoga Allah meridhai kita semua dengan keberkahan Nubuwah Rasulullah saw. (Editor: Smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top