Oleh: Syahrati, S.HI, M.Si

Dosen Prodi Ekonomi Syariah IAI Al-Aziziyah

Indonesia dikenal negara agraris yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Petani adalah mata pencaharian mayoritas masyarakat Indonesia didukung oleh subur tanahnya yang menghasilkan bermacam sayuran dan buah-buahan. Bahkan, syair lagu menyebutkan, "tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman,"  mewakili tanah Indonesia yang subur. 

Namun, realitasnya berbanding terbalik. Indonesia saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Ironi besar bagi Indonesia yang dikenal kekayaan sumber daya alamnya meruah, namun dibanjiri impor pangan. Selain mengabaikan potensi dan kekayaan sumber daya lokal, impor pangan bisa menjadi ancaman bagi stabilitas nasional dan membuat petani hidup semakin jauh dari sejahtera. Impor pangan telah mematikan martabat petani Indonesia.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), periode Januari-Juni 2022 Indonesia tercatat mengimpor komoditas pangan seperti beras, cabai, bawang putih, kedelai, jagung, garam, lada, kentang, telur dan tembakau. Bahkan, lembu salah satu komoditas pangan lainnya yang impornya melonjak dengan volume impor pada April 2022 mencapai 15.632,3 ton. 

Indonesia yang harus memenuhi kebutuhan pangan nasional untuk 267 juta penduduk, perlu menjadi perhatian serius. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan terus berkembang, dengan pertumbuhan 1,26 persen per tahun, sektor pertanian diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangan yang cukup besar dalam jumlah, keragaman dan mutunya.

Dalam kaitan ini, ketahanan pangan merupakan basis ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional suatu negara yang berdaulat. Arti penting ketahanan pangan tersebut juga perlu ditambahkan, bahwa ketahanan pangan memegang posisi strategis dalam menjaga keutuhan, integritas, dan loyalitas kehidupan berbangsa dan bertanah air, sebab masyarakat akan tetap loyal dan setia kepada negara jika pemenuhan kebutuhannya terpenuhi secara merata, adil dan proporsional. 

Kondisi ketahanan pangan yang tangguh dicirikan dengan semakin menurunnya jumlah rumah tangga miskin, berkurangnya kasus kelaparan, gizi buruk, angka kematian bayi, serta meningkatnya Human Development Index (HDI) daerah.  Ketahanan pangan merupakan pilar yang menggambarkan eksistensi dan kedaulatan suatu negara, memerlukan peran seluruh komponen bangsa, baik masyarakat maupun pemerintah. 

Penggunaan dana desa 

Untuk mendukung program ketahanan pangan Indonesia, pemerintah telah  memprioritaskan  penggunaan dana desa tahun 2022 sebesar 13,6 triliun dari pagu 68 triliun. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam melimpah dan budaya agraris mutlak harus memenuhi kebutuhan bahan pangan dari pertaniannya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan arah kebijakan pembangunan desa yang fokus dengan mempertimbangkan potensi dan kebutuhan warga desa dalam mengelola  20% anggaran ketahanan pangan, agar tepat guna dan tepat sasaran. 

Dalam pelaksanaannya, jarang sekali program pemberdayaan, termasuk menguatkan ketahanan pangan yang mempertimbangkan data potensi masing-masing wilayah. Alhasil, anggaran yang seharusnya berdaya guna menjadi tidak berguna. Dengan pemetaan potensi yang matang, diharapkan tercipta lapangan kerja baru dan nilai tambah produk pangan. 

Selanjutnya, masalah kualitas SDM perangkat aparatur pemerintahan desa dan petani di desa tentang ketahanan pangan harus menjadi agenda besar segera diselesaikan demi mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan.

Secara umum pemanfaatan dana desa dapat dilakukan melalui kegiatan pengembangan usaha pertanian, perkebunan, perhutanan, peternakan atau perikanan; pembangunan lumbung pangan desa; pengolahan pasca panen; serta penguatan ketahanan pangan lainnya melalui peningkatan akses petani terhadap teknologi, pembiayaan, sarana produksi, serta pasar. 

Hal yang tidak kalah penting adalah meningkatkan sumber daya manusia (baik petani, pekebun, peternak) melalui pelatihan dan pendampingan program dan kegiatan  pertanian, perkebunan maupun peternakan terpadu. Sektor pangan, perlu dikembangkan untuk menjadi lebih atraktif  dan berinovasi dengan mengembangkan kewirausahaan dan memanfaatkan teknologi yang berdaya saing. 

Aceh,  yang memiliki hasil panen besar seperti gabah, namun sangat disayangkan gabah tersebut banyak yang keluar Aceh, terutama ke Medan dengan alasan tidak adanya rice milling unit (mesin pengolahan padi). Gabah yang “dibawa” ke Medan lalu diolah dan dikemas menjadi beras berbagai merek dan dijual kembali ke Aceh. Sungguh sebuah ironi.

Dalam kaitan ini, peran Pemerintah di Aceh dalam menjaga ketahanan pangan lokasl perlu dijalankan secara efektif dan berkeadilan mengikuti irama kekuatan pasar, sehingga pasokan, efisiensi dan harga mendekati keadaan pasar yang ideal. Dalam menghadapi  masalah distribusi pangan yang mencakup terbatasnya prasarana dan sarana perhubungan untuk menjangkau seluruh daerah, terutama daerah terpencil harus segera dituntaskan. 

Lagi-lagi pemerintah lokal harus mengutamakan kebutuhan petani dengan menjamin kebijakan dan politik pangan yang berpihak pada penguatan ketahanan pangan dalam daerah, menjamin ketersediaan pupuk, dan benih, sehingga menjadi daya tarik dan mampu mendorong petani untuk menanam. Dikhawatirkan minat masyarakat berprofesi sebagai petani terus berkurang, karena tidak terjaminnya kesejahteraan petani dan lahan pertanian yang semakin hari semakin sempit akibat dari alih fungsi lahan pertanian. Jadi saatnya pemerintah beralih dari rezim subsidi pangan menjadi jaminan produksi petani. (editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top