Oleh: Syahrati, S.HI, M.Si

Penyuluh Agama Fungsional Kabupaten Bireuen

Pernikahan adalah manifestasi ketaatan kepada Allah Swt yang disimbolkan dengan perjanjian (akad nikah) antara dua hamba yang mengikat diri dalam ikatan suci. Melalui ijab dan kabul, perubahan besar terjadi dalam kehidupan sepasang insan, yang haram menjadi halal dan maksiat menjadi ibadat. Pernikahan di dalam Islam adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghaliza) yang tidak lepas dari unsur menaati perintah Allah dan Rasul-Nya, yang bertujuan terwujudnya hubungan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan. Dengan ikatan itu, sepasang suami istri dalam kehidupan rumah tangga bahagia dan kekal. 

Meski demikian, dalam perjalanannya pernikahan tak selamanya indah. Pernikahan yang sehat adalah ketika suami dan istri bisa saling memahami, saling memaafkan, dan kemampuan membangun komunikasi yang efektif. Namun, terkadang perjanjian dan komitmen yang terucap pada saatnya menimbulkan perselisihan, percecokan, perdebatan atau pertengkaran. Ketidakmampuan pasangan suami istri dalam mengelola dan mengontrol emosi bisa saja berujung kekerasan fisik atau psikis.  

KDRT 

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat. Kasus yang menyeret pasangan artis, Rizki Bilar dan Lesti menjadi viral setelah sang istri melaporkan sang suami kepada pihak berwajib atas kasus KDRT. Jumlah kekerasan dalam keluarga selalu meningkat dari tahun ke tahun dan bentuknya semakin kompleks. Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan, karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal; laki-laki secara kultural telah “dipersilahkan” menjadi penentu kehidupan. 

Sebenarnya, cukup banyak kasus KDRT terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun KDRT ibarat fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat. KDRT sering dianggap aib yang mesti ditutupi, dianggap lumrah sebagai proses pendidikan dalam rumah tangga, bahkan ada harapan kekerasan akan berhenti. 

Rumah tangga sebagai institusi sosial dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat interaksi yang hangat, aman,  dan nyaman. Antar anggota saling melindungi, saling menghormati dan saling mencitai. Rumah adalah tempat bermuaranya seluruh petualangan dan kelelahan. Tak terbayangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya. Justru rumah tangga menjadi ajang tindak kekerasan. 

KDRT bukanlah dinamika perkawinan, tapi peristiwa hukum yang harus diselesaikan secara hukum pula. Pelaku KDRT tidak boleh dianggap prilaku wajar. Bahkan, menurut pasal 1 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah, “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Ragam kekerasan 

Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, terutama terhadap perempuan beraneka ragam, mulai dari kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, sampai kekerasan seksual. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain  menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, serta memukul/melukai dengan senjata.  

Kekerasan secara psikis atau emosional terjadi dalam bentuk hinaan, ancaman dan cemoohan. Secara finansial pun kekerasan bisa terjadi, seperti pengabaian uang belanja dan kebutuhan keluarga.

Kekerasan rumah tangga memberikan dampak emosional yang serius, menciptakan rasa tidak berdaya, putus asa, depresi, serta  gangguan jiwa. KDRT yang dilakukan oleh seorang pada pada istrinya bukan hanya memberikan luka fisik dan psikis pada korban, tetapi juga meninggalkan trauma yang mendalam dan berkepanjangan bagi anak-anak, yang berpengaruh pada mental dan prilaku anak. 

Anak cenderung meniru yang mereka lihat dalam hubungan orang tua. Ketika anak melihat ibunya menjadi korban kekerasan, anak akan belajar hal yang salah tentang pernikahan, yang pada akhirnya berdampak pada luka pengasuhan.

Larang kekerasan

Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yang menganut prinsip partnership (kerjasama) dan keadian. Tujuan perkawinan adalah tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Islam tidak mengenal istilah atau definisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Oleh karena itu,  segala perbuatan yang menimbulkan akibat mafsadat (kerusakan) akibat kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Hukum Islam tidak melegalkan kekerasan terhadap istri. Pemukulan terhadap istri yang berbuat nusyuz (tidak taat) sebagaimana termuat dalam Alquran Surat  al-Nisa‘ (4): 34, hendaknya dimaknai sebagai tindakan memberi pelajaran, bukan menyakiti, bahkan berbuat kekerasan. Pemukulan yang dilakukan dalam kasus nusyuz pada dasarnya tidak boleh melukai.

Bercerai memang bukan solusi yang menyenangkan, bukan tujuan akhir pernikahan. Namun, bagi korban KDRT yang sering mengalami kekerasan fisik berat, mungkin bercerai salah satu alternatif solusi memutus mata rantai kekerasan. Bukan tidak mungkin, apabila korban kekerasan tidak mengambil tindakan tegas, maka nyawa taruhannya. 

Dalam hal ini, rumah tangga tidak lepas dari permasalahan dan harapan-harapan. Tidak terpenuhinya harapan dalam relasi suami dan istri merupakan hal yang wajar, tapi perlu digarisbawahi, bahwa kekecewaan terhadap pasangan bukanlah alasan bagi siapapun melakukan kekerasan. Sungguh Islam melarang kekerasan dalam keluarga. (editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top