Oleh: Faiz Arhasy

Mahasiswa Asal Aceh di Cumhuriyet University Kota Sivas, Turki


Musim panas pun tiba. Di Turki libur musim panas dimulai dari bulan tujuh hingga bulan sembilan. Akan tetapi, bagi mahasiswa yang sedang mengikuti kelas bahasa Turki biasanya ada jadwal yang berbeda. Demikian pula denganku. Aku hanya memiliki libur pada bulan tujuh dan sembilan di musim panas kali ini, sedangkan bulan delapan aku harus mengikuti kelas akhir bahasa. Tidak terpikirkan olehku pulang ke tanah air, mengingat libur yang tidak panjang dan biaya yang tidak murah. Lagi pun, sebagai mahasiswa yang masih dalam kelas persiapan, baiknya tetap tinggal di Turki untuk memperlancar bahasa sampai nanti waktu kuliah tiba.

Hari itu, aku berjumpa dengan temanku, orang Turki. Besoknya dia akan pulang ke rumahnya. Dia tinggal di sebuah desa di Provinsi SanliUrfa, jaraknya sekitar 448 km dari Sivas, kota tempatku menempuh pendidikan. Dia pun mengajakku untuk ikut bersamanya menghabiskan musim panas di desanya. Aku memutuskan berangkat ke SanliUrfa. Aku berangkat sepuluh hari setelahnya. 

Aku pergi bersama temanku, seorang Afrika. Setelah menyiapkan segala perlengkapan, kami berangkat menuju stasiun. Dari Sivas kami menuju Diyarbakir, provinsi di sebelah Sanli Urfa. Setibanya di Diyarbakir kami melanjutkan perjalanan menuju SanliUrfa menggunakan bus. Kami tiba di SanliUrfa sore hari. 

Sanli Urfa merupakan provinsi yang panas di Turki, suhunya bisa mencapai 50’c, jauh berbeda dengan Sivas yang merupakan salah satu kota terdingin di Turki. Provinsi ini juga menyimpan kekayaan sejarah yang berlimpah. Di sana terdapat tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh Nabi Ibrahim as dan Ayyub as.  Sanli Urfa terkenal dengan wisata kuliner. Daerah terbaik untuk segala jenis makanan khas Turki seperti teh, kacang-kacangan, manisan dan lainnya. 

Perjalanan kami belum usai. Kami melanjutkan perjalanan ke Bozova, sekitar 60 km dari pusat Sanli Urfa. Desa yang kami tuju terletak 10 km dari pusat Bozova. Sepanjang perjalanan terhampar padang rumput yang luas. Sesekali terdapat kebun dan perumahan warga. 

Akhirnya kami sampai di sebuah desa bernama Kilic. Desa kecil dengan jumlah penduduk sekitar 120 jiwa. Rumah mereka umumnya terbuat dari beton dan berhalaman luas. Karena jaraknya yang jauh dari pusat kota, sulit mendapatkan akses internet di sana. Semua penduduk desa merupakan orang Turki-Kurdish. 

Kurdish merupakan salah satu suku di negara-negara Asia Tengah seperti Irak, Turki, Suriah, dan Armenia. Di Turki kita dapat menjumpai mereka di Provinsi Sanli Urfa, Diyarbakir, Batman dan beberapa provinsi lainnya. Mereka memiliki bahasa sendiri, bahasa Kurdi. 

Sesampai di rumah, kami langsung menuju kebun. Akses jalan yang sulit membuat kami harus mengendarai traktor ke kebun. Kebun yang kami tuju adalah kebun fistik (sejenis kacang). Fistik merupakan bahan dasar pembuatan kuruyemis dan baklava, manisan khas Turki. 

Pohon fistik memiliki tinggi sekitar dua meter. Hanya pohon fistik yang berumur 15 tahun ke atas yang dapat menghasilkan buah. Uniknya lagi, pohon fistik hanya membutuhkan penyiraman satu kali dalam setahun. Penyiraman dapat dilakukan dalam bulan apa saja. Kebetulan sekali kedatangan kami bersamaan dengan masa penyiraman, jadi kami dapat melihat langsung proses penyiramannya. Meskipun terletak dipedalaman perawatan kebun dilakukan secara modern. 

Petani di sini merupakan petani berdasi yang mungkin penghasilannya sama seperti pegawai kantoran. Untuk memudahkan penyiraman kebun dibagi menjadi beberapa bagian. Mereka menggunakan pipa-pipa besar yang disambung dari tepi ke tepi lainnya. Setiap lima meter pipa diletakkan water sprinkle (alat siram 360’) untuk menyebar air agar merata. Dibutuhkan sekitar 30-40 pipa untuk menjangkau dari tepi ke tepi lainnya. 

Setelah pipa tersusun air dinyalakan dan water sprinkle langsung menyebar air yang mengalir. Air dibiarkan mengalir selama 15 jam. Setelah itu pipa-pipa dipindahkan ke bagian lainnya. Hal ini dilakukan secara terus menerus hingga semua bagian tersiram. Pipa yang digunakan berdiameter sekitar satu jengkal telapak tangan orang dewasa dan memiliki panjang sekitar tiga meter. Harga satuannya 300 Lira, sekitar Rp 280 ribu rupiah. Fistik hanya panen satu kali dalam setahun, bulan Agustus.

Malamnya, sambil menyantap makan malam, kami bercengkrama dengan keluarga temanku. Orang Turki memiliki pola makan yang sedikit, tapi dengan porsi yang banyak. Tak lupa kami menyantap minuman favorit orang Turki, ayran. Di Indonesia, aku belum pernah menemukan minuman jenis ini. Warnanya putih seperti susu dan rasanya asam seperti yogurt. 





Setelah shalat Isya berjamaah, kami pergi menuju atap. Kami akan tidur di sana. Cuaca yang panas membuat masyarakat desa suka tidur di atap-atap rumah. Ini juga momen pertama bagiku tidur beratapkan bintang-bintang. Masyarakat desa suka tidur lebih awal karena besok pagi mereka harus mulai beraktivitas. Paginya kami sarapan bersama. Kami menyantap roti disertai zaitun, sayuran dan keju. 

Sebelum jumatan, kami beranjak mengelilingi desa sembari berkenalan dengan penduduk. Kami menuju sebuah sekolah dan di sana terlihat beberapa pemuda sedang duduk santai. Di halamannya terdapat beberapa anak yang sedang bermain. Kedatangan kami disambut ramah oleh mereka. Kami duduk dan berbincang bersama. Anak-anak yang bermain juga ikut mendekati kami. 

Mungkin mereka penasaran dengan orang-orang luar. Wajar saja. Belum pernah ada orang asing yang sampai ke desa ini. Setelah berbincang-bincang, kami pergi menuju masjid. Di desa ini  terdapat satu mesjid kecil dengan halaman yang luas. 

Di sana juga terdapat kran air minum. Di Turki kita dapat menjumpai kran air minum dimana saja. Sebelum Jumat, kami bertemu imam masjid. Dia mengajak kami minum teh bersama. Orang Turki memang gemar minum teh. Mereka bisa meneguk lebih dari sepuluh cangkir teh dalam sehari. Akan tetapi, umumnya mereka tidak menambah gula atau pemanis dalam teh. Berbeda denganku yang tidak bisa menikmati teh tanpa gula. 

Siangnya, kami menyantap cigkofte (makanan khas Turki). Cigkofte merupakan daging olahan yang diproses dengan tidak dimasak. Cigkofte ini banyak dijual di kota-kota di Turki. Cigkofte Sanliurfa merupakan cigkofte terbaik di Turki. Cigkofte dimakan dengan daun selada. Cigkofte diletakkan di daun selada, kemudian diberikan sedikit perasan jeruk nipis di atasnya. Setelah itu, daun selada digulung dan cigkofte siap disantap.

Hari-hari di desa terasa begitu cepat berlalu. Pagi itu, setelah sarapan kami pamit. Kami ingin melanjutkan perjalanan mengunjungi tempat lainnya. Selesai sudah petualangan di desa Kilic, desa yang mengajarkan banyak hal kedapaku. Menghabiskan hari-hari bersama warga desa Kilic adalah sesuatu yang spesial liburan musim panas ini. Sampai jumpa Kilic. Semoga kita dapat bersua kembali di lain waktu. (editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top