Sebagian ulama sekarang berpendapat, bahwa sasaran ibnu sabil sekarang sudah tidak mungkin ada lagi, karena adanya kemudahan perhubungan dengan cepat, sehingga seluruh alam ini seolah-olah menjadi satu negara, dan juga berdasarkan banyak cara yang bisa dilakukan manusia, untuk mendapatkan hartanya, berapa banyak pun dan di mana pun di dunia ini, seperti mentransfer melalui bank atau dengan cara lain. 

Keterangan ini, telah dikemukakan almarhum Syekh Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya. Akan tetapi kami berbeda pendapat dengan beliau dan kami melihat, bahwa ibnu sabil itu senantiasa ada, walaupun ada kemudahan dalam mendapatkan harta di negara mana pun dengan cara yang bermacam-macam.

Bermacam Fakta tentang Adanya Ibnu Sabil

Di antara manusia ada yang dianggap kaya, akan tetapi ia tidak menitipkannya di bank -- bagaimana ia bisa mendapatkan bila jauh dari bank? Demikian pula ada orang yang terputus di daerah yang jauh ataupun gurun yang jauh, karena berbagai faktor dan sebab tertentu  dan ia tidak sanggup untuk sampai ke kota dan mengambil dari bank apa yang dikehendakinya. Nah, bagaimana kedudukannya orang yang semacam ini?

Contoh yang seperti ini termasuk ibnu sabil, meskipun ia kaya oleh karena terputus dari hartanya, dan ia berhak mendapatkan pertolongan. Keadaan yang semacam itu meskipun jarang akan tetapi ada.

Orang yang Diusir dan yang Minta Suaka

Di antara manusia, ada orang yang dipaksa meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan harta miliknya, karena dikuasai tentara atau orang-orang zalim yang memperbudak -- dari penguasa kafir atau yang serupa itu, seperti para penindas terhadap orang yang berbuat kebajikan; mengusir dari rumah dan hartanya tanpa alasan yang benar, oleh hanya karena mereka menyatakan: "Allah itu adalah Tuhan kami!"

Anda melihat, bahwa di antara orang tersebut ada yang lari dari negerinya ke negeri lain karena mempertahankan agama dan kemerdekaannya, yang menyebabkan ia tetap terhalang dari harta yang berada di tanah airnya, walaupun harta itu tetap atas namanya di bank atau di bawah pengawasan, atau yang sejenis dengan itu. Hal ini sebagaimana keadaan kebanyakan orang yang ditindas dan yang minta suaka politik. 

Istilah fikih apa yang tepat dipergunakan bagi orang tersebut? Mereka mempunyai harta dan milik lain di negerinya, akan tetapi dalam kenyataan -- mereka dak mampu untuk mendapatkan hartanya. Mereka kaya dalam pemilikan akan teiapi fakir dalam kenyataan. Orang yang keadaannya demikian itu termasuk ibnu sabil!

Orang yang Mempunyai Harta

Sebagian ulama mazhab Hanafi bahkan memasukkan ke dalam ibnu sabil, setiap orang yang ghaib dari hartanya, tidak mampu memiliki, walaupun berada di negerinya, karena kebutuhan itulah yang dijadikan alasan, sedangkan kebutuhan itu ada. Karenanya, orang tersebut fakir dalam kenyataan, meskipun kelihatannya kaya.

Mereka menyatakan: "Apabila ia seorang pedagang yang mempunyai piutang pada orang lain, akan tetapi tidak sanggup mengambilnya dan ia tidak memiliki sesuatu apa pun, maka dihalalkan baginya mengambil zakat, karena dalam kenyataannya ia adalah orang fakir, sama seperti ibnu sabil.

Musafir Demi Kemaslahatan

Apabila kita mengambil pendapat mazhab Syafi'i yang memasukkan terhadap ibnu sabil setiap orang yang bermaksud mengadakan perjalanan, akan tetapi tidak mendapatkan biayanya, dan kita menganggap kuat persyaratan perjalanan demi kemaslahatan Islam dan jamaah Muslim, maka sangat memungkinkan pada saat sekarang ini kita mendapatkan bentuk yang bermacam-macam dari bagian ini, yaitu para mahasiswa yang cerdas, spesialis yang mahir, ahli ilmu yang pandai, ataupun yang lain yang membutuhkan studi di luar negeri untuk memperdalam ilmu-ilmu yang bermanfaat, atau untuk melatih pekerjaan yang akan dikembangkan, yang hasilnya akan kembali pada kebaikan agama dan masyarakat.

Tunawisma

Sebagaimana halnya sebagian ulama mazhab Hanbali yang memberikan tafsiran lain terhadap ibnu sabil, sehingga banyak hal yang masuk  kepadanya di zaman kita sekarang ini. Dikemukakannya, bahwa ibnu sabil itu adalah pengemis, yaitu mereka yang meminta-minta kepada orang lain.

Salah satu hal yang menyebabkan dahi kita berkerut, adalah bahwa sampai saat ini kita terus melihat di banyak negara di mana penduduknya mengaku beragama Islam, banyaknya orang-orang yang tidak merasakan nikmatnya tempat tinggal dan rumah. Mereka menjadikan pinggir dan lorong-lorong jalan sebagai selimutnya. Mereka itu adalah "anak jalanan", karena jalan bagi mereka adalah ibu dan ayahnya. Sesungguhnya mereka itu semua merupakan benalu bagi masyarakat yang tinggal di daerah itu. 

Oleh karena itu tidak heran, apabila Quran memerlukan menerangkan mereka, serta menjelaskannya dengan sifat yang khusus, selain sifat fakir dan miskin, memastikan bagian buat mereka dari pajak Islam yang utama, yaitu zakat. Tidak aneh pula, apabila mereka diberi dari harta zakat dengan sifat ibnu sabil dan juga dengan sifat fakirnya. Mereka diberi berdasarkan sifatnya yang pertama, sesuatu yang mengeluarkan mereka dari ketergantungannya pada jalan, misalnya dipersiapkan buat mereka rumah yang layak, kemudian mereka diberi berdasarkan sifat yang kedua, sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhan dan memberikan penghidupan yang baik, sehingga nyata terpenuhi kebutuhan manusiawinya tanpa berlebihan atau kekurangan.

Anak Buangan 

Sayyid Rasyid Ridha mengemukakan dalam tafsirnya, bahwa anak buangan dimungkinkan masuk pada pengertian ibnu sabil, sebagaimana dikemukakan bahwa sebagian cendekiawan telah menetapkan pilihan dalam suratnya kepada Rasyid Ridha: "Bahwa arti inilah yang dimaksud dengan ibnu sabil." 

Rasyid Ridha memperkuat pilihan ini, walaupun tidak mengaruskan, bahwa kata ini mencakup anak buangan, sementara kata lain tidak memungkinkan mencakupnya. 

Dan oleh karena Quran mementingkan urusan anak yatim dan berbuat baik kepadanya karena tujuan yang jauh, yaitu bahwa terlantarnya urusan anak yatim karena tidak ada penolong yang kuat dan sungguh-sungguh, yaitu ayahnya, atau karena pendidikan yang kurang yang akan menyebabkan akal dan akhlaknya rusak -- sekaligus merusak dirinya -- karena kebodohan dan kerusakan akhlak itu akan memberi pengaruh pada orang lain yang bergaul dengannya, dan dengan sebab pergaulan kurang baik itulah kerusakan lebih cepat merasuk. 

Apabila anak yatim sudah demikian keadaannya, maka tentu anak buangan lebih tepat dan lebih layak untuk mendapatkan perlakuan baik, sesuai dengan tujuan tersebut di atas.

Selanjutnya, Rasyid Ridha mengemukakan: "Bahwa melupakannya semua ahi tafsir yang terdahulu terhadap masalah ini, karena jarangnya anak buangan di zaman mereka. Dan ulama muta'akhirin tidak punya inisiatif baru, kecuali hanya mengutip pendapat mereka.”

Apabila anak buangan tidak termasuk ke dalam pengertian ibnu sabil, maka ia pasti masuk ke dalam pengertian "fakir dan miskin" dengan secara pasti, karena fakir itu adalah orang yang mempunyai kebutuhan, apakah si fakir itu kanak-kanak atau dewasa. Karenanya, hak anak buangan terhadap zakat bersifat pasti. (smh) 

Sumber: Dr. Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hlm 660-663

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top