Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Kontemplasi Sang Guru


Kedangkalan akidah tentu menjadi ancaman bagi seseorang tidak dapat masuk surganya Allah, karena tidak memiliki kesucian hati. Nurani yang kotor dapat mengombang ambing keimanan dan menganggap iman hanya sekedar spektakuler belaka. 

Hal inilah yang menimpa seorang bernama Rajjal bin Unfuwah. Seorang murtad yang bergabung dengan Musailamah Al-Kazzab si nabi palsu laknatullah. Orang kepercayaan Abu Bakar sepeninggal Rasulullah saw ini berkhianat karena kelemahan imannya. 

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya Biografis 60 Sahabat Nabi SAW menyebutkan, suatu ketika Rasulullah saw duduk di sebuah majelis dikelilingi oleh para sahabat. Tiba-tiba beliau terdiam sejenak sambil memperhatikan para  sahabat satu persatu lalu bersabda, "Sesungguhnya diantara kalian ada seorang laki-laki yang gerahamnya di dalam neraka lebih besar dari pada gunung Uhud."

Mendengar perkataan tersebut semua yang hadir terdiam dan mencekam. Para sahabat cemas terhadap diri mereka  masing-masing. Rasa khawatir dan takut menyelimuti mereka jika menerima nasib jelek dan terkutuk seperti yang disabdakan Rasulullah saw. Mereka saling bertanya dalam hati masing-masing  tanpa ada yang menjawabnya. 

Seiring berjalannya waktu,  satu demi satu para sahabat yang hadir dalam majelis tersebut gugur sebagai syuhada. Kini hanya tinggal Abu Hurairah dan Rajjal. Abu Hurairah sangat merasa ketakutan. Seluruh persendiannya gemetar dan hatinya gelisah, sehingga tidak bisa tidur. Ia belum pernah merasakan kecemasan seperti saat itu. Hingga akhirnya takdir menyingkapi tabir orang yang dimaksudkan Rasulullah saw. Rajjal murtad dan bergabung dengan Musailamah Al-Kadzdzab si nabi palsu. Nyatalah sudah nasib buruk yang menimpanya seperti yang disebutkan Rasulullah saw. 

Sepeninggal Rasulullah saw, Rajjal yang semula Islam dan telah berbaiat kepada beliau, ia meminta izin kepada khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengajak  penduduk Yamamah kembali kepada Islam dari pengaruh jahat Musailamah Al-Kadzdzab si nabi palsu. Namun suatu hal di luar dugaan telah terjadi. Ketika Rajjal tiba di Yamamah, ia melihat jumlah pasukan Musailamah terlalu besar dan menakutkan. Hal tersebut membuatnya  bertekuk lutut lalu berbalik haluan. Secara spontan ia mengkhianati Islam dengan menggabungkan diri bersama barisan Musailamah Al-Kadzdzab. Sungguh celaka Rajjal. 

Dalam bukunya Khalid Muhammad Khalid menulis, ternyata Rajjal lebih berbahaya dari pada  Musailamah. Karena keislamannya di masa hidup Rasulullah saw di Madinah, hafalan Al-Quran dan statusnya sebagai utusan khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Hal tersebut dimanfaatkan untuk tujuan  busuknya memperkuat kekuasaan Musailamah dan pengukuhan nabi palsu. Bahkan ia mengaku pernah mendengar Rasulullah saw mengatakan, bahwa beliau menjadikan Musailamah bin Habib sebagai serikatnya dalam perkara kenabian. Kini Rasulullah sudah tiada, maka Musailamahlah yang berhak meneruskan wahyu dan bendera kenabian. 

Melalui pengaruh dan kebohongan-kebohongannya, jumlah barisan Musailamah semakin banyak. Sehingga berita tentang ulah Rajjal pun tersebar sampai ke Madinah. Kaum muslimin sangat marah dan mengutuk Rajjal. Diantara sosok yang paling murka terhadap pengkhianatan Rajjal adalah Zaid bin Al-Khathab, saudara kandung dari Umar bin Khathab. Ia sahabat mulia dan pahlawan ternama. Zaid tampil untuk membasmi kesesatan dan menumpas kezaliman. 

Zaid seorang pemberani seperti adiknya Umar Al-Khathab. Keimanan kepada Allah, rasul dan agama membuatnya selalu terjun di setiap peperangan. Demikian juga dengan perang Yamamah, yaitu perang menumpas nabi palsu. Dalam kebenciannya pada kemunafikan dan kebohongan, ia mengobarkan kemarahannya. Zaid mempersiapkan dirinya menumpas bahaya fitnah yang menimpa penduduk Yamamah. Bukan hanya Musailamah, tetapi terhadap manusia bejat Rajjal bin Unfuwah yang menjerumuskan dirinya  kepada kematian dan kebinasaan karena ambisinya yang tercela. 

Menurut Khalid Muhammad Khalid, pertempuran Yamamah sangat mengkhawatirkan. Dengan jumlah pasukan seadanya, kaum muslimin  membagi-bagikan tugas untuk menempati beberapa kedudukan. Mereka menyerahkan panji perang kepada Zaid bin Al-Khathab. Kaum muslimin berperang mati-matian, hingga banyak yang mati syahid.  Awalnya kemenangan berpihak kepada musuh dan kaum muslimin mulai mengendor. Tetapi dengan mental baja, Zaid mendaki gunung kecil lalu berseru, "Wahai saudara-saudaraku, tabahkanlah hati kalian, gempurlah musuh dan seranglah mereka habis-habisan. Demi Allah, aku tidak akan bicara lagi sebelum mereka dibinasakan oleh Allah, atau aku menemui-Nya dan menyampaikan alasan-alasanku kepada-Nya."

Lalu ia turun dan tidak lagi berbicara sepatah kata pun. Ia pusatkan serangannya ke arah Rajjal, melesat kesana kemari bagai anak panah yang baru lepas dari busurnya. Karena situasi   bagaikan lautan manusia, maka sosok si pengkhianat itu hilang timbul di tengah gelombang manusia. Sementara Zaid terus memburu dengan pandangannya yang tajam. Zaid lalu menyusup agar manusia terkutuk itu tak luput dari genggaman tangannya. Berusaha mengejar dan akhirnya Zaid berhasil mencengkram batang lehernya dan menebaskan pedangnya ke kepala si durjana Rajjal. 

Kepuasan sangat dirasakan Zaid. Kematian Rajjal si pengkhianat dan tokoh-tokoh lain membuat Musailamah kehilangan nyali. Tewasnya Rajjal  dengan cepat terhembus bagai ditiup angin kencang. Kaum muslimin bersemangat dan bergembira dengan berita tersebut. Zaid mengangkat kedua tangannya memanjatkan doa dan bersyukur kepada Sang Yang Maha Memberi Pertolongan. 

Sebagimana keinginannya menuju surga dengan syahid, maka Allah mengabulkannya. Di penghujung perang cita-cita Zaid terkabul, ia tewas sebagai syuhada. Angin surga telah menghembus jiwanya yang suci. Kaum muslimin kembali ke Mekah dengan kemenangan dan kebahagiaan. Semoga Allah meridhai Zaid bin Al-Khathab sebagai pahlawan Islam ternama.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top