Oleh: Sayed Muhammad Husen

Amil Baitul Mal Aceh

Esensi zakat produktif mengemuka dalam dekade terakhir, sebab dalam masyarakat telah terjadi transformasi paradigma pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh badan amil profesional. Jika selama ini zakat lebih sering dipandang sebagai instrumen redistribusi kekayaan sesaat untuk memenuhi kebutuhan primer, maka zakat produktif diaktualisasikan dengan visi jangka panjang, yaitu memberdayakan mustahik agar keluar dari lingkaran kemiskinan.

Zakat produktif dipahami sebagai bantuan sosial dan ekonomi yang sekaligus dengan mendampingi dan membantu transformasi mustahik supaya mandiri. Analogi sederhananya, alih-alih memberikan ikan, badan amil “mengajarkan” mustahik cara memancing, bahkan memberikan alat pancing dan umpan.

Menurut Dr M Riduwan SE MAg dalam tulisannya Zakat dan Pemberdayaan Umat (Suara Muhammadiyah: April 2025), istilah zakat produkitf didorong oleh kurang optimalnya pendistribusian zakat dalam mengubah nasib mustahik. Pendistribusian zakat selama ini lebih cenderung konsumtif dan justru menciptakan ketergantungan baru.    

Implikasi pergeseran fokus ini cukup signifikan. Dilihat dari perspektif ekonomi mikro, zakat produktif berpotensi menggerakkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang seringkali menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat. Modal usaha yang diberikan melalui zakat, jika disertai dengan pendampingan dan pelatihan, akan cukup membantu mustahik mengembangkan usaha, menciptakan lapangan kerja, dan pada akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

Lebih jauh lagi, keberhasilan pemberdayaan mustahik secara ekonomi menginspirasi dan memotivasi anggota masyarakat lainnya untuk mengikuti jejak mereka, menciptakan efek perubahan, dan pemberdayaan ekonomi.

Zakat produktif dalam konteks kehidupan sosial memiliki dimensi humanis. Ketergantungan pada bantuan terus-menerus bisa saja meruntuhkan harga diri dan membatasi potensi seseorang. Dengan memiliki kemampuan menghasilkan pendapatan sendiri, maka mustahik akan meraih kembali kehormatan dan martabatnya sebagai individu yang produktif.

Selain itu, dampak zakat produktif, mustahik tidak lagi merasa sebagai beban sosial, melainkan sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini juga memperkuat kohesi sosial, sebab mustahik yang berhasil berdaya akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap lingkungannya.

Kita meyakini, implementasi zakat produktif pasti disertai tantangan. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan yang baik, pengelolaan yang transparan dan akuntabel, serta pemahaman yang mendalam mengenai kebutuhan dan potensi masing-masing mustahik. Diperlukan juga proses asesmen yang cermat untuk mengidentifikasi jenis bantuan produktif yang paling sesuai, apakah itu modal usaha, pelatihan keterampilan, alat kerja, atau akses pasar.

Mustahik juga membutuhkan pendampingan berkelanjutan. Sebab, mustahik tidak hanya membutuhkan modal awal, tetapi juga bimbingan dalam mengelola usaha, mengatasi masalah (problem solving), dan pengembangan potensi diri.

Menurut Riduwan, pengembangan model penditribusian zakat untuk usaha produktif merupakan inovasi manajemen karena memang tidak ditemukan dalil secara khusus. Model tersebut memerlukan etos amil yang lebih tinggi, karena tanggungjawab amil tidak berhenti ketika zakat sudah diberikan kepada mustahik.

“Amil memiliki peran yang lebih besar dalam membangun keberdayaan mustahik. Pendampingan manajemen, pelatihan motivasi, pemasaran produk, sampai layanan konsultasi usaha perlu dikembangkan, sehingga memungkinkan mustahik tumbuh lebih baik,” tulisnya.  

Demikian pula, peran lembaga zakat sangat sentral dalam melakukan transformasi mustahik. Badan amil tidak lagi hanya berfungsi sebagai pengumpul dan penyalur dana, tetapi juga sebagai fasilitator, mentor, dan penghubung antara mustahik dengan berbagai sumber daya yang dibutuhkan. Untuk ini, diperlukan profesionalisme, inovasi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak.

Dalam bekerja, badan amil perlu menjalin kemitraan dengan  pemerintah, perbankan syariah, organisasi non-pemerintah, dan pelaku usaha. Pemanfaatan teknologi juga dapat dioptimalkan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan, transparansi pelaporan, dan jangkauan program zakat produktif.

Badan amil juga perlu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai konsep dan manfaat zakat produktif untuk mengubah persepsi dan meningkatkan dukungan terhadap program ini. Muzaki perlu memahami bahwa zakat yang mereka tunaikan memiliki potensi besar jika disalurkan secara produktif, tidak hanya memberikan kebahagiaan sesaat, tetapi memberi harapan kemandirian mustahik dalam jangka panjang.

Memprioritaskan zakat produktif merupakan investasi strategis dalam membangun umat yang mandiri. Ini wujud nyata dari nilai-nilai keadilan sosial dan pemberdayaan ekonomi yang terkandung dalam syariat Islam.

Karena itu, dalam pelaksanaannya diperlukan perencanaan yang matang, implementasi yang efektif, dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan zakat. Kita harapkan zakat produktif menjadi penggerak perubahan sosial dan ekonomi, terwujudnya kesejahteraan, dan solusi  penanggulangan kemiskinan di Aceh. 

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top