lamurionline.com -- Aceh
dikenal sebagai Serambi Mekkah, sebuah julukan yang mencerminkan kekhasan
daerah ini dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial, budaya,
dan pemerintahan. Syariat Islam menjadi pijakan dalam mengatur tatanan
masyarakat, mulai dari cara berpakaian, interaksi sosial, hingga bentuk-bentuk
penyelesaian konflik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tampak terjadi
pergeseran nilai yang cukup mengkhawatirkan, khususnya dalam perilaku generasi
muda di sekolah. Di balik kemegahan label “Serambi Mekkah”, ada pertanyaan
mendalam: ke manakah arah etika generasi penerus Aceh saat ini?
Etika yang Terabaikan
di Lingkungan Sekolah
Etika
bukan hanya soal sopan santun di permukaan, melainkan fondasi utama dalam
membentuk karakter seseorang. Dalam tradisi Aceh, etika sangat dijunjung
tinggi, seiring dengan nilai-nilai Islam yang menjadi akar budaya. Akan tetapi,
kenyataan hari ini menunjukkan adanya gejala menurunnya kesadaran etika pada
sebagian siswa di lingkungan sekolah, bahkan sejak usia dini di tingkat sekolah
dasar.
Fenomena
siswa yang menunjukkan sikap tidak sopan kepada guru, meremehkan nasihat orang
tua, serta mengabaikan aturan sekolah bukan lagi hal langka. Di media sosial,
seringkali muncul video siswa yang membuat konten merendahkan guru, membantah
dengan keras, atau bahkan menjadikan lingkungan sekolah sebagai ajang pamer
kebebasan berekspresi tanpa batas. Semangat ekspresi yang semestinya diarahkan
kepada karya, justru tergelincir menjadi tontonan yang mempermalukan nilai
adab.
Di Mana Letak
Kesalahan?
Pertanyaan
mendasar yang perlu kita renungkan bersama adalah: apakah yang salah dengan
sistem pendidikan kita? Apakah guru telah kehilangan wibawa? Apakah orang tua
sudah kehilangan pengaruh? Ataukah ini adalah dampak dari budaya digital yang
tidak terkontrol?
Salah
satu penyebab utama adalah terpinggirkannya pendidikan etika dari prioritas
utama pembelajaran. Fokus pendidikan dewasa ini terlalu berorientasi pada aspek
kognitif semata mengejar nilai, mengejar akreditasi, mengejar ranking tanpa
menanamkan karakter sebagai fondasi awal. Di bangku kuliah pun, pembelajaran
lebih menekankan pada analisis dan teori, dengan sedikit ruang untuk
pembentukan etika dasar mahasiswa.
Padahal,
sebagaimana pepatah Arab menegaskan: "Al-adabu fauqal 'ilmi" adab
lebih tinggi daripada ilmu. Tanpa adab, ilmu tak memiliki makna yang mendalam.
Ilmu yang tidak dibarengi dengan etika hanya akan menghasilkan kecerdasan tanpa
kendali, dan pemimpin tanpa empati.
Budaya Aceh dan Nilai
Syariat sebagai Kompas Etika
Aceh
sesungguhnya telah memiliki modal budaya yang sangat kuat dalam membentuk
generasi berkarakter. Beberapa praktik budaya dan adat seperti peusijuek
(ritual tepung tawar), kenduri Maulid, dan kegiatan pengajian dayah adalah
contoh konkret bagaimana masyarakat Aceh menjunjung tinggi nilai syariat dan
etika sosial. Dalam tradisi tersebut, diajarkan nilai-nilai seperti menghormati
orang tua, memuliakan tamu, menjaga marwah keluarga, dan saling tolong-menolong
antar sesama.
Pemisahan
ruang laki-laki dan perempuan dalam acara sosial, penggunaan pakaian yang
sesuai syariat, hingga penegakan qanun tentang akhlak publik merupakan upaya
formal dan kultural yang seharusnya menjadi bagian dari pembelajaran siswa,
baik di rumah maupun di sekolah.
Sayangnya,
nilai-nilai luhur ini tidak selalu berhasil ditransmisikan kepada anak-anak.
Terjadi kesenjangan antara ajaran dan perilaku. Ada keindahan nilai yang
diwariskan, tetapi minim internalisasi dalam proses pendidikan formal. Sekolah
sering kali terbebani kurikulum yang padat, sementara orang tua sibuk dengan
pekerjaan dan memberikan ruang yang luas pada gawai dan media sosial, tanpa
pengawasan yang memadai.
Peran Guru dan Orang
Tua sebagai Role Model Etika
Perubahan
ke arah positif tidak dapat berjalan tanpa peran aktif guru dan orang tua. Guru
tidak cukup hanya sebagai penyampai materi, melainkan juga sebagai teladan
karakter. Sikap jujur, sabar, bijak, dan tegas yang ditunjukkan guru dalam
keseharian di sekolah menjadi cermin bagi siswa.
Begitu
pula dengan orang tua. Pendidikan karakter seharusnya dimulai dari rumah. Dalam
budaya Aceh, orang tua dihormati bak raja, petuahnya didengarkan, dan
keberadaannya dijunjung tinggi. Maka, orang tua masa kini perlu kembali
mengambil peran sebagai pendidik utama dalam keluarga, bukan sekadar penyedia
kebutuhan fisik anak.
Menata Masa Depan
Generasi Aceh
Jika
kita ingin melihat pemimpin Aceh masa depan yang beretika, kita harus mulai
dari sekarang. Pendidikan etika dan karakter tidak bisa ditunda, tidak bisa
dikalahkan oleh mata pelajaran lain, dan tidak bisa diserahkan semata kepada
sekolah.
Pemerintah
daerah melalui Dinas Pendidikan perlu mengintegrasikan muatan lokal berbasis
budaya Aceh dan nilai syariat dalam seluruh jenjang pendidikan. Guru-guru perlu
diberikan pelatihan pembinaan karakter. Sekolah-sekolah perlu didukung dalam
menciptakan suasana pembelajaran yang menghargai perbedaan, menumbuhkan kasih
sayang, serta menanamkan tanggung jawab sosial.
Kesadaran
kolektif harus dibangun. Bahwa karakter lebih penting daripada sekadar
kelulusan. Bahwa etika adalah dasar peradaban. Bahwa tidak ada kejayaan tanpa
adab.
Refleksi
ini bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu, tetapi panggilan untuk kembali
ke akar jati diri Aceh sebagai daerah yang menjunjung tinggi Islam dan etika.
Masa depan Aceh bukan hanya tentang pembangunan fisik, tetapi lebih dari itu:
pembangunan manusia yang berkarakter, bermoral, dan beradab. Semoga
sekolah-sekolah kita menjadi tempat tumbuhnya generasi yang tak hanya cerdas,
tapi juga tahu sopan santun, berakhlak mulia, dan peduli terhadap sesama.
0 facebook:
Post a Comment