Oleh: Hadi Irfandi

Penulis lepas di LamuriOnline.

Investasi Jangka Panjang itu Bernama Pendidikan

“Jika Anda berencana untuk satu tahun, tanamlah padi. Jika Anda berencana selama sepuluh tahun, tanamlah pohon. Jika Anda berencana selama 100 tahun, didiklah manusia.”

Pepatah China ini tidak hanya puitis, tetapi juga mengandung kearifan universal: bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang berdampak lintas generasi. Sayangnya, di zaman modern yang justru dipenuhi limpahan informasi, kita menyaksikan ironi—masyarakat mulai meminggirkan pentingnya pendidikan, menggantikannya dengan ilusi kecepatan dan hasil instan.

Dari Cina mari kita bergerak ke Jepang. ketika negara itu baru saja bangkit dari reruntuhan Perang Dunia II, pertanyaan pertama yang diajukan oleh pemerintah bukanlah berapa senjata yang tersisa, atau berapa banyak pasukan yang bertahan. Mereka bertanya: “Berapa guru yang masih hidup?” Kesadaran ini bukan retorika; ini adalah strategi membangun bangsa. Nippon —nama mereka saat itu memahami bahwa pendidikan bukan hanya tentang pengajaran, tetapi tentang menciptakan masa depan. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati dimulai dari ruang kelas, bukan ruang rapat perang. Walaupun pernah menjajah, setidaknya juga pernah mengajarkan kita sepenting apa peran guru.

Beberapa Orang Lebih Cepat Paham Lewat Cerita

Syahdan, beberapa jam sebelum tulisan ini dirangkai, video seorang bapak di Papua melintas di beranda media sosial saya. Ia menukar seekor ikan besar, sepanjang lututnya, dengan sebungkus biskuit. Sekilas ini mungkin tampak sederhana, namun menyimpan ironi mendalam. Mengapa ia tak tahu nilai ekonomis ikannya? Mengapa kita yang menonton bisa langsung sadar bahwa tukar-menukar itu merugikannya? Jawaban keduanya berakar pada hal yang sama: pendidikan.

Demonstrasi yang Bersuara Tentang Masa Depan

Masih dari bumi cendrawasih, anak-anak muda Papua baru-baru ini sepakat turun ke jalan. Mereka bukan menuntut makan gratis, bukan pula bantuan tunai. Mereka menuntut pendidikan yang layak. Mereka tahu, dengan pendidikan, mereka tak hanya bisa makan hari ini, tetapi bisa menyediakan makan untuk banyak hari esok. Ini adalah bentuk kesadaran yang tidak muncul dari pemberian, tapi dari pembebasan. Pendidikan membebaskan bukan hanya fisik, tetapi cara berpikir, cara menilai, dan cara menafsirkan dunia.

Penawarnya Justru Lebih Mahal dari Kebodohan itu Sendiri

Pendidikan bukan sekadar menambahkan pengetahuan, tetapi memberikan cahaya untuk melihat arah hidup. Ia memampukan individu untuk keluar dari belenggu ketidaktahuan, dan melampaui batas-batas sosial ekonomi yang menjerat. Lawan dari pendidikan —Kebodohan itu sendiri sering datang tidak diundang, namun penawarnya yaitu pendidikan masih mahal, ekslusif, dan susah digapai, ironisnya.

Sementara itu lewat situs resminya yaitu "Media Keuangan", pihak Kementrian Keuangan RI menyiarkan Komitmen konstitusional untuk mengalokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi pendidikan telah lama menjadi simbol janji negara terhadap masa depan bangsanya. Namun, pada APBN 2025, meskipun angka itu secara formal tetap dicantumkan, realisasi anggaran hingga akhir Februari 2025 baru mencapai Rp76,4 triliun atau sekitar 10,6% dari total. Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah janji 20% itu sungguh bermakna jika pelaksanaannya tertahan oleh kebijakan efisiensi?

Di balik istilah efisiensi, tersembunyi dampak nyata yang dirasakan oleh sekolah-sekolah, guru, dan siswa di seluruh Indonesia. Pemerintah memangkas belanja negara sebesar Rp306,7 triliun untuk tahun 2025. 

Sederhananya, banyak pengamat kekhawatiran bahwa efisiensi ini bisa menurunkan kualitas pendidikan secara sistemik. Ketika anggaran untuk pelatihan guru, penyediaan fasilitas, dan penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar dipangkas, kualitas hasil pendidikan juga akan turun. Ini berpotensi memperlebar jurang antara sekolah-sekolah yang sudah maju dan mereka yang berada di daerah tertinggal.

Efek snowball —bola salju juga perlahan akan membesar dari sana. Bukan tidak mungkin, akan terjadinya penurunan partisipan pendidikan baik dari kalangan pengajar atau peserta pendidikan itu sendiri.

Maka, dalam memilih antara efisiensi dan kualitas pendidikan, keputusan yang diambil hari ini akan menentukan wajah Indonesia beberapa dekade ke depan.

Teknologi sebagai Penguat, Bukan Pengganti Nilai Dasar

Setelah tadi membuat para pembaca bergidik, mari kita sejenak berfantasi seolah olah pendidikan negara kita sedang diatas angin. Sejajar dengan negara negara Barat, kita mulai merangkul teknologi secara besar besaran hingga ke pelosok desa. Dalam konteks inilah, teknologi sebenarnya membuka peluang besar. Platform pembelajaran daring telah memungkinkan kolaborasi lintas wilayah. Murid-murid bisa berbagi ide, mengerjakan proyek bersama, bahkan mendapatkan umpan balik langsung dari guru dan rekan sejawat. Hal ini tak hanya menumbuhkan kerja sama, tapi juga menyiapkan mereka untuk menghadapi dunia kerja yang makin kolaboratif.

Penjurusan SMA: Potensi Terbuka atau Terjebak Kotak?

Namun teknologi tanpa visi bisa membuat kita tersesat. Kembali pada sistem pendidikan kita hari ini, pemerintah berencana menerapkan lagi sistem penjurusan di SMA. Siswa akan diarahkan untuk memilih jalur IPA, IPS, atau Bahasa sejak dini. Sistem ini memang punya kelebihan: membantu siswa fokus pada bidang yang sesuai dengan minat dan potensinya. Namun di sisi lain, sistem ini bisa menjerat siswa dalam stereotip sempit—bahwa IPA lebih “bergengsi”, bahwa IPS adalah “pilihan kedua”, dan Bahasa hanya untuk “yang tak tahu harus ke mana”.

Pendidikan Harus Memerdekakan Pilihan

Ketika pemilihan jurusan dilakukan tanpa bimbingan memadai, maka pendidikan justru menjebak, bukan membebaskan. Ini ironis, karena pendidikan sejatinya harus memperluas cakrawala pilihan, bukan malah mempersempit. Maka, jika penjurusan tetap diterapkan, ia harus dibarengi dengan pembenahan cara pandang masyarakat, berbagai pelatihan guru yang biayanya di fasilitasi, dan keterbukaan mobilitas antar jurusan. Sebab sekali lagi, pendidikan bukan tentang mengkotak-kotakkan, tapi memberdayakan.

Tanggung Jawab Orang Berpendidikan

Kita sama sama sepakat bahwa salah satu tanggung jawab besar orang yang berpendidikan adalah menyadarkan yang lain akan potensi dan haknya. Pendidikan bukan hanya tentang ijazah, tapi juga keberanian untuk bertanya, menggugat, dan memperjuangkan yang seharusnya. Pendidikan menciptakan manusia-manusia yang tak hanya cerdas, tapi juga peduli. Ia membuka peluang baru, memperluas jaringan, dan menjadikan manusia sadar akan hak-haknya dalam kehidupan sosial dan hukum.

Pendidikan Tidak Dapat Diganti oleh Apapun

Kita harus berhenti menganggap pendidikan sebagai beban administratif atau sekadar formalitas. Bahkan dibandingkan dengan batu paling berharga sekalipun, pendidikan tidak bisa digantikan. Nilainya tak terletak pada angka-angka rapor, tetapi pada kemampuannya menyalakan cahaya dalam kehidupan seseorang. Seperti kata pepatah China, jika ingin masa depan yang panjang, maka didiklah manusia.

Referensi:

HubPages. (n.d.). What Are the Benefits of Having a Good Education. Retrieved from https://discover.hubpages.com/literature/what-are-the-benefits-of-having-a-good-education

Tempo.co. (2019). Kelebihan dan Kekurangan Sistem Penjurusan SMA yang Akan Diterapkan Lagi. Retrieved from https://www.tempo.co/politik/kelebihan-dan-kekurangan-sistem-penjurusan-sma-yang-akan-diterapkan-lagi-1231275

Media Keuangan Kementerian Keuangan RI. (2024). Efisiensi Anggaran Tetap Menjaga Alokasi 20% Anggaran Pendidikan dalam APBN 2025. Retrieved from https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/efisiensi-anggaran-tetap-menjaga-alokasi-20-anggaran-pendidikan-dalam-apbn-2025

Penulis saat ini Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.


SHARE :

0 facebook:

 
Top