Oleh: Tgk. H. Mukhlisuddin
Ketua PD IPARI Pidie
Setiap musim haji, jutaan umat Islam menatap Baitullah dengan penuh kerinduan. Ada yang telah berangkat, ada pula yang masih harus bersabar menanti panggilan Allah. Di tengah antrean panjang haji reguler di Indonesia yang bisa mencapai belasan hingga puluhan tahun, sebagian umat memilih jalur non-kuota atau Haji Furada.Istilah “Haji Furada” merujuk pada ibadah haji dengan visa mandiri yang diterbitkan langsung oleh Pemerintah Arab Saudi, di luar kuota resmi Kementerian Agama RI. Jalur ini kerap dianggap sebagai solusi cepat tanpa harus mengantre bertahun-tahun. Musim haji 2025 kembali membuka tabir sisi kelamnya. Dilansir MetroTV pada 1 Juni 2025, sebanyak 1.200 jamaah gagal berangkat, tertahan di bandara, bahkan ada yang ditelantarkan karena visa tidak terbit atau tidak valid.
Secara hukum, visa Furada memang sah jika benar-benar dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi melalui sistem e-Haj. Namun, dalam konteks Indonesia, Haji Furada tidak berada dalam kontrol pemerintah. Jamaahnya tidak masuk dalam sistem pembinaan, pengawasan, dan perlindungan haji nasional. Mereka hanya bergantung pada biro perjalanan yang mengurus keberangkatan secara privat.
Masalah timbul ketika sebagian biro tidak profesional, atau bahkan menjalankan praktik curang. Mereka menjanjikan keberangkatan cepat dengan mengutip biaya ratusan juta rupiah, tetapi tidak mampu menyediakan visa sah atau akomodasi yang layak. Akibatnya, tidak sedikit jamaah yang harus pulang dengan kekecewaan, tangisan, dan luka batin.
Kegagalan berangkat haji tentu meninggalkan perih, namun bagi seorang muslim, setiap musibah pasti mengandung hikmah. Salah satu pelajaran terpenting adalah bahwa haji bukan semata-mata persoalan uang, tetapi soal panggilan Allah. Sering kali kita mengira bahwa selama punya uang, jalan menuju Ka’bah akan terbuka. Kenyataannya, Allah-lah yang menentukan siapa yang layak dipanggil. Dalam Surah Ali Imran ayat 97, Allah berfirman: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah."
Kemampuan atau istitha’ah dalam konteks haji bukan hanya soal finansial, tetapi juga mencakup visa, keamanan, kesehatan, dan legalitas keberangkatan. Ketika segala usaha telah ditempuh namun langkah belum juga sampai ke Tanah Suci, bisa jadi itu adalah bentuk kasih sayang Allah, agar kelak haji yang ditunaikan benar-benar mabrur, bukan karena memaksakan kehendak manusia.
Rasulullah SAW juga mengingatkan, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Maka, niat baik untuk berhaji harus ditempuh dengan cara yang baik pula—melalui jalur yang legal, transparan, dan bertanggung jawab. Memaksakan diri lewat jalur abu-abu hanya akan menyuburkan praktik curang yang akhirnya merugikan umat sendiri.
Salah satu ungkapan bijak mengatakan: “Jika Sang Raja belum mengundangmu, kau tak akan bisa masuk ke istananya.” Begitu pula dengan haji. Jika Allah belum mengizinkan, maka sebanyak apa pun hartamu, sedekat apa pun jarakmu ke Ka’bah, langkah itu tak akan sampai. Jika Allah telah memanggil, maka rintangan sebesar apa pun akan dimudahkan. Itulah mengapa penting memaknai haji bukan sebagai ajang status sosial atau perlombaan siapa yang paling cepat berangkat, melainkan sebagai ekspresi kehambaan sejati.
Musim haji 2025 membuka mata kita tentang perlunya langkah konkret dalam menanggapi fenomena Haji Furada. Pengetatan regulasi dan pengawasan terhadap biro perjalanan yang menawarkan Haji Furada menjadi kebutuhan mendesak. Meskipun berada di luar kuota resmi, setiap warga negara tetap berhak atas perlindungan dari praktik penipuan. Biro yang tidak berizin harus ditindak tegas, dan sistem pelaporan masyarakat perlu diperkuat.
Selain itu, edukasi publik menjadi hal yang tak kalah penting. Banyak calon jamaah yang belum memahami perbedaan antara haji reguler, khusus, dan Furada. Sosialisasi yang massif dari Kementerian Agama dan para tokoh agama sangat diperlukan agar masyarakat tidak mudah tergiur oleh janji manis yang tak berdasar hukum.
Dalam hal ini, peran aktif tokoh agama dan penyuluh agama di daerah menjadi sangat strategis. Mereka adalah garda terdepan dalam menyampaikan informasi yang benar serta menyaring tawaran-tawaran mencurigakan. Masyarakat perlu dibina untuk memahami bahwa menanti panggilan haji pun bentuk ibadah yang tak kalah mulianya.
Bagi yang belum mampu berhaji, bukan berarti ibadahnya terhenti. Umrah, sedekah, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, bahkan menjadi relawan sosial adalah bentuk-bentuk ibadah yang tinggi nilainya di sisi Allah. Semuanya merupakan bagian dari jalan menuju ridha-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada akhirnya, keinginan berhaji adalah fitrah yang mulia, namun jangan sampai keinginan itu justru menjerumuskan ke jalan yang salah. Haji adalah ibadah, bukan transaksi. Jika belum bisa berangkat, teruslah memperbaiki niat dan bersiap. Allah tidak melihat siapa yang lebih dulu sampai ke Tanah Suci, tetapi siapa yang paling sabar menanti panggilan-Nya.
Mudah-mudahan, mereka yang tertunda keberangkatannya tahun ini, justru sedang Allah siapkan untuk haji yang lebih baik, lebih berkah, dan lebih mabrur, sebab sejatinya, haji adalah panggilan, bukan sekadar kemampuan.
Editor: Sayed M. Husen
0 facebook:
Post a Comment