Oleh: Hadi Irfandi
Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pada Rabu, 28 Mei lalu, pesawat milik Yemenia Airlines luluh lantak saat masih di landasan pacu dihantam rudal oleh militer Israel. Padahal, burung besi itu hendak menerbangkan jamaah haji menuju Tanah Suci. Insiden itu menampar nurani dunia Islam yang tampak pasif menyaksikan saudaranya terzalimi. Sejumlah jamaah terpaksa kembali ke rumah, gagal menunaikan rukun kelima mereka. Namun, yang lebih menyedihkan, sebagian besar umat Islam justru tak bergeming. Reaksi dingin itu menyiram kembali luka lama: bahwa umat ini belum benar-benar menyatu dalam tubuh yang satu.Ibadah haji, mestinya, menjadi titik lebur dari segala perbedaan. Di tengah-tengah lautan manusia dari berbagai suku, ras, warna kulit, dan bahasa, kita belajar menyatu dalam satu syiar: Islam. Namun ironisnya, semangat persatuan ini nyaris selalu memudar begitu para jamaah kembali ke negerinya masing-masing. Sesampainya di tanah air, batas-batas negara-bangsa kembali mencengkeram, memisahkan kita dalam sekat-sekat nasionalisme (nation-state) yang kian menumpulkan empati. Padahal, Allah SWT sudah menegaskan, “Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara…” (QS al-Hujurat [49]: 10). Tapi di dunia nyata, saudara kita di Palestina dan Yaman terus terusik, sementara kita terlalu sibuk dengan urusan isme isme yang bukan tuntunan Wahyu dan turunannya.
Jika kita jujur menengok ke dalam, akar masalahnya karena umat ini kehilangan kesadaran ideologis sebagai satu kesatuan. Kita larut dalam kesalehan individual berupa puasa Sunnah Tarwiyah atau Arafah dan sebagai ajang berburu outfit dan penganan khas lebaran, tanpa menyentuh ranah sosial yang sebenarnya tak kalah penting. Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, seorang mufasir kenamaan asal Mesir, mengingatkan bahwa
"tidak ada identitas yang layak diagungkan dalam haji kecuali Islam, dan tidak ada standar yang perlu dihitung selain iman."
Artinya, di Mina dan Arafah kita diajarkan untuk melebur dalam kesatuan akidah, bukan hanya berdiri sendiri sebagai peziarah spiritual.
Namun realitas di tanah air menyuguhkan pemandangan kontras. Momen Idul Adha yang semestinya membangkitkan ruh pengorbanan dan persaudaraan global, malah berubah menjadi ajang pamer busana dan konten media sosial serta berburu aneka jajanan hari raya. Sebagian lainnya menjadikan lebaran haji sebagai kesempatan menunaikan puasa sunnah semata. Tentu itu bukan hal yang salah. Namun sangat disayangkan ketika ibadah yang agung ini dikecilkan dalam bingkai individual semata. Padahal sejarah Islam mencatat bahwa persatuan umat itu bukan hanya soal berdiri dalam saf shalat yang rapat, melainkan tentang berdiri membela satu sama lain ketika kehormatan diinjak-injak.
Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” (HR Muttafaq ‘alayh). Hadis ini bukan hanya pedoman akhlak personal, tetapi landasan etika sosial dan solidaritas umat. Sayangnya, dalam atmosfer dunia yang dikuasai oleh paham negara-bangsa dan hegemoni ideologi sekuler, umat Islam tercerai-berai menjadi kumpulan populasi tanpa kesadaran kolektif. Maka tak heran jika tragedi Yemenia berlalu begitu saja, seolah itu bukan urusan kita.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita berharap keadilan dunia ditegakkan, jika kita sendiri membiarkan nilai-nilai Islam terpotong-potong sesuai selera? Al-Qur’an sudah jauh-jauh hari mengingatkan: “Apakah kalian mengimani sebagian Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat dia dikembalikan pada azab yang paling berat” (QS al-Baqarah [2]: 85). Ketika Islam dikerdilkan sebatas ritual, dan tidak dibawa ke ranah sosial-politik, maka kehancuran menjadi keniscayaan.
Padahal isme yang ditawarkan Islam bersifat menyeluruh. Ia tidak hanya menawarkan jawaban atas problem batin manusia, tapi juga solusi bagi persoalan umat secara global. Dari tata kelola ekonomi, solidaritas antarbangsa, sampai perlawanan terhadap penjajahan dalam segala bentuknya. Maka sudah sepatutnya haji dijadikan bukan sekadar rukun kelima, tapi juga momentum perenungan ulang: siapa kita, siapa saudara kita, dan kepada siapa kita berpihak.
Persatuan ideologis umat Islam adalah jalan keluar dari segala bentuk penjajahan modern. Sebab tantangan zaman ini bukan hanya tentang perang senjata, tetapi juga perampokan identitas dan perpecahan budaya. Di saat dunia Barat dengan bebas memaksakan nilai-nilai mereka lewat lembaga internasional, media global, dan ekonomi kapitalistik, dunia Islam malah sibuk menelan semua itu mentah-mentah, tanpa fondasi nilai sendiri.
Inilah mengapa kesadaran haji harus dirombak kembali. Haji bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga sarana merawat empati terhadap saudara seiman. Kita perlu mendidik masyarakat bahwa yang disebut "berhaji mabrur" bukan hanya soal meninggalkan maksiat pribadi, tapi juga tentang meninggalkan kebungkaman sosial terhadap kezhaliman. Persatuan umat bukan sekadar wacana di podium, tapi harus menjadi visi bersama dalam menyikapi realitas global. Jika tidak, maka haji hanya akan menjadi festival tahunan tanpa ruh perubahan.
Sudah saatnya kita kembali kepada Islam secara utuh dengan menjadikan momen haji sebagai titik tolak membangun peradaban, bukan sekadar rutinitas ibadah. Kita ciptakan ulang makna ukhuwah sebagai pengikat global, bukan hanya sapaan saat lebaran. Sebab jika bukan kita yang memperjuangkan Islam dalam bentuknya yang menyeluruh, maka siapa lagi?
Karena sejatinya, umat ini adalah satu umat (QS al-Anbiya’ [21]: 92; QS al-Mu’minun [23]: 52). Dan satu-satunya jalan untuk keluar dari krisis perpecahan, ketertinggalan, dan penjajahan modern adalah dengan menyatukan kembali identitas ideologis kita sebagai umat Islam. Dari Mina kita bisa mulai bicara tentang Gaza. Dari Arafah kita bisa angkat suara untuk Yaman. Dan dari Ka’bah kita bisa membangun kesadaran bahwa kita adalah satu tubuh, satu umat, satu cita-cita.
Penulis lepas di LamuriOnline, mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry
0 facebook:
Post a Comment