Oleh: Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH
Widyaiswara BPSDM Aceh
Setiap tahun, menjelang Idul Adha, hiruk-pikuk persiapan kurban selalu mewarnai negeri ini. Sapi dan kambing memenuhi sudut-sudut kota, antrean panjang pembagian daging terlihat di mana-mana. Sebuah ritual sakral, sebuah ekspresi ketakwaan yang tak lekang oleh waktu. Namun, di tengah semarak tradisi ini, sebuah pertanyaan mendasar harus kita ajukan: apakah kita telah memaksimalkan potensi ibadah kurban untuk menjawab tantangan fundamental umat, yaitu kemandirian ekonomi?Saat ini, praktik kurban didominasi oleh sifat konsumtif dan temporer. Daging kurban, seberlimpah apa pun, pada akhirnya akan habis dalam hitungan hari. Manfaatnya, meski terasa langsung, tidak berkesinambungan. Sementara itu, masalah klasik umat Islam di Indonesia adalah permodalan. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Muslim seringkali megap-megap mencari modal, terjerat rentenir, atau kesulitan mengembangkan bisnis karena akses permodalan yang terbatas. Ironisnya, di satu sisi kita punya potensi dana kurban yang masif, di sisi lain kita punya jurang permodalan yang menganga.
Inilah saatnya kita mempertimbangkan sebuah paradigma baru: berkurban dengan pola wakaf tunai ke Baitul Mal. Alih-alih hanya berfokus pada penyembelihan hewan, sebagian atau seluruh nilai kurban dialihkan dalam bentuk uang tunai yang kemudian diwakafkan. Mengapa ini menjadi urgensi yang tak terbantahkan?
Pertama, transformasi dari konsumtif menjadi produktif. Kurban hewan adalah aset bergerak yang setelah disembelih akan menjadi aset konsumtif. Sebaliknya, wakaf tunai adalah modal abadi yang dapat terus diputar dan menghasilkan manfaat jangka panjang. Baitul Mal, sebagai lembaga pengelola dana umat, memiliki kapasitas untuk menghimpun dana wakaf tunai ini dalam skala besar.
Dengan modal yang kuat, Baitul Mal dapat menciptakan skema-skema pembiayaan ekonomi syariah yang inovatif dan memberdayakan. Bayangkan Baitul Mal bertransformasi menjadi bank wakaf umat, menyalurkan pembiayaan tanpa riba kepada UMKM, mendukung pengembangan bisnis berbasis syariah, atau bahkan berinvestasi pada sektor-sektor riil yang strategis.
Kedua, memperkuat ekosistem ekonomi syariah. Selama ini, gagasan ekonomi syariah sering terbentur masalah permodalan dan infrastruktur. Dengan pola kurban wakaf tunai, kita secara langsung menyuntikkan likuiditas yang signifikan ke dalam ekosistem ini. Dana ini bukan hanya modal, tetapi juga "darah" yang mengalirkan kehidupan pada proyek-proyek ekonomi umat. Ini akan mempercepat pembangunan ekonomi inklusif yang selama ini hanya menjadi cita-cita. Skema pembiayaan yang kuat akan memungkinkan penciptaan lebih banyak lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan pengurangan angka kemiskinan di kalangan umat.
Ketiga, manfaat yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Daging kurban mungkin hanya dinikmati sehari, namun hasil dari pengelolaan wakaf tunai dapat dinikmati generasi ke generasi. Keuntungan dari pembiayaan atau investasi Baitul Mal dapat digunakan untuk program pendidikan, kesehatan, atau pengembangan infrastruktur umat lainnya. Ini adalah investasi abadi, bukan sekadar pengeluaran musiman. Para pekurban tidak hanya mendapatkan pahala di dunia, tetapi juga aliran pahala yang tak terputus dari setiap roda ekonomi yang berputar, dari setiap keluarga yang sejahtera berkat modal wakafnya.
Tentu, gagasan ini mungkin memicu perdebatan. "Bukankah kurban itu harus hewan?" "Bagaimana dengan esensi penyembelihan?" Pertanyaan-pertanyaan ini wajar, namun perlu dicermati secara mendalam. Fiqih selalu mengenal konsep nilai atau harga. Jika tujuan utama kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dan membantu sesama, maka nilai hewan kurban yang dialihkan menjadi wakaf tunai, dengan potensi dampak ekonomi yang jauh lebih besar dan berkelanjutan, justru menunjukkan kematangan dalam memaknai esensi ibadah. Ini bukan meninggalkan syariat, melainkan mencari interpretasi yang lebih relevan dan berdampak di era modern.
Maka, sudah saatnya kita melihat kurban tidak hanya sebagai penuntas kewajiban, tetapi sebagai sebuah strategi visioner. Mari bergeser dari kurban yang temporer menuju kurban yang abadi, dari konsumsi menuju produktivitas. Berkurban dengan pola wakaf tunai ke Baitul Mal adalah langkah progresif untuk membangun ekonomi umat yang kuat, mandiri, dan berkesinambungan. Ini adalah pilihan yang menjanjikan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh umat. Mengapa tidak?
0 facebook:
Post a Comment