lamurionline.com -- LHONG, ACEH BESAR — Dengan mata berkaca-kaca dan suara tercekat, Efendi menatap puing-puing rumah tuanya. Rumah yang telah berdiri selama lebih dari 40 tahun itu kini harus diruntuhkan. Tapi kali ini bukan karena nestapa, melainkan karena sebuah harapan yang akhirnya menjadi nyata. “Ini rumah peninggalan ayah saya. Saya yatim sejak kecil. Tak pernah sekalipun saya bermimpi bisa membangun rumah baru,” ucap Efendi dengan lirih, memandangi fondasi masa kecilnya yang perlahan digantikan dengan harapan baru.

Efendi adalah seorang pegawai honorer di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Lhong, Aceh Besar. Tamatan SMA yang telah mengabdi selama delapan tahun ini menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Gajinya tak seberapa, cukup untuk makan seadanya bersama ibunya. Tapi di balik semua keterbatasan itu, ia selalu punya satu pegangan: doa. Doa yang ia panjatkan siang dan malam, agar diberi kelapangan, kekuatan, dan secercah cahaya dari langit.

Dan cahaya itu benar-benar datang — bukan dari langit, tapi dari tangan-tangan yang penuh keikhlasan. Tepat pada momentum Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama, Efendi menerima anugerah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: sebuah rumah layak huni, dibangun dari hasil gotong royong para guru dan pegawai se-Aceh Besar. Ya, hanya dari iuran sukarela Rp1.000 per hari per orang, sebuah gerakan kebaikan mampu mengubah hidup seseorang.

Awalnya, program ini sempat menuai tanya. Dari mana dananya? Mengapa harus iuran? Namun di bawah komando Kakankemenag Aceh Besar, H. Saifuddin, keraguan dijawab dengan bukti nyata. Dalam waktu sepuluh bulan, sebanyak 22 guru dan pegawai honorer telah dibantu—20 direhabilitasi, 2 dibangunkan rumah baru. Dan Efendi adalah satu dari yang merasakan mukjizat itu.

“Dulu saya penerima bantuan. Sekarang saya lulus PPPK, dan saya akan ikut menyumbang. Saya ingin program ini terus berjalan. Masih banyak teman saya yang tinggal di rumah tak layak,” kata Efendi, menahan haru.

Rumah lama boleh runtuh, tapi dari reruntuhannya, lahir semangat baru. Semangat bahwa keajaiban tidak selalu datang dengan kilat dari langit, tapi kadang muncul dari hati-hati yang tulus berbagi.

Gerakan ini lahir dari forum sederhana: rapat Kepala KUA dan Kepala Madrasah. Namun dari ide sederhana itu, tumbuh sebuah gerakan kemanusiaan yang menjelma mukjizat bagi mereka yang selama ini tak terdengar suaranya. Hari Amal Bakti kini bukan hanya seremonial — ia hidup, tumbuh, dan nyata memberi makna.

Dan Efendi kini tak lagi bermimpi. Ia bangun setiap pagi, membuka jendela rumah barunya, dan mengucap syukur dalam diam: Mukjizat itu benar adanya — ketika kita saling peduli.(Cek Man/Is)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top