Oleh: Ahmad Faizuddin
Senior Lecturer at Faculty of Education and Liberal Arts, INTI International University, Malaysia
Kemajuan teknologi dan akses internet yang semakin mudah seharusnya menjadi jembatan pengetahuan yang menghubungkan kita dengan dunia. Namun, sebuah paradoks pahit justru terjadi di ruang digital. Media sosial yang seharusnya menjadi platform untuk berbagi ilmu dan gagasan, kini seringkali berubah menjadi "tong sampah" tempat frustrasi sosial diluapkan. Generasi muda seringkali terjebak dalam pusaran ujaran kebencian, fitnah, dan caci maki. Ini adalah kegagalan digital yang sistemik, di mana orang tua dan masyarakat gagal membimbing mereka.Fenomena ini adalah cerminan dari krisis yang dipicu oleh kualitas pendidikan yang menurun dan tingkat pengangguran yang tinggi. Di Aceh, kita bisa melihat bagaimana platform seperti TikTok, Facebook, X, dan grup WhatsApp telah menjadi medan perang digital. Narasi-narasi saling serang, penghinaan, dan ancaman tersebar luas, membuat anak muda terpancing emosi dan ikut menebar kebencian. Ruang digital yang seharusnya menjadi wadah kreatif malah menjadi arena konflik yang tidak produktif dan merusak.
Tanpa disadari, kita sering menggunakan bahasa "teumeunak" di ruang digital. Bahasa yang liar dan toksik ini melintasi generasi dan mencerminkan kurangnya sopan santun. Fenomena ini diperparah oleh efek anonimitas yang diberikan media sosial, di mana orang merasa bebas untuk melontarkan komentar yang tidak pantas tanpa konsekuensi sosial. Akibatnya, kita menyaksikan degradasi etika dan moral yang signifikan, yang mengancam tatanan sosial yang telah lama dijaga.
Pendidikan kita gagal menanamkan nalar kritis, dan pengangguran menciptakan generasi yang frustrasi. Ujaran kebencian bukan sekadar masalah individual, tetapi gejala dari masalah sosial-ekonomi yang lebih besar. Media sosial bertindak sebagai "amplifier" atau penguat suara-suara destruktif. Tanpa literasi digital yang memadai, spiral kebencian ini hanya akan terus berputar, menjadikan platform digital sebagai tempat pembuangan sampah digital yang penuh fitnah dan hoaks.
Realitas ini persis seperti yang disebut oleh Luiz Valério P. Trindade dalam bukunya "Hate Speech and Abusive Behaviour on Social Media: A Cross-Cultural Perspective" (Vernon Press, 2024). Buku ini meneliti pidato kebencian dan perilaku kasar di media sosial dari sudut pandang lintas budaya yang inovatif. Trindade menganalisis lebih dari 100 makalah ilmiah dari 11 negara. Studi ini menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor budaya, sejarah, dan linguistik saat menganalisis pelecehan daring. Buku ini berargumen bahwa media sosial berfungsi sebagai katalis dan sarana untuk menyebarkan kebencian. Dampak negatifnya terasa pada individu, kelompok sosial yang rentan, masyarakat, dan demokrasi. Trindade juga mencatat bahwa platform media sosial memungkinkan pelaku menyebarkan ideologi diskriminatif, yang menarik orang-orang dengan pandangan serupa. Salah satu dampak negatif media sosial yang paling signifikan adalah mengikis kohesi sosial.
Sementara itu, jurnalis dan pengacara Sarah Jeong dalam bukunya "The Internet of Garbage" (Forbes, 2015; The Verge, 2018) berpendapat bahwa pelecehan online adalah bentuk "sampah" terbaru yang mengancam untuk membuat internet tidak bisa digunakan. Ia membuat analogi antara pelecehan online dengan spam, menyatakan bahwa sama seperti kita dulu mengembangkan solusi teknis dan sosial untuk menyaring spam yang tidak diinginkan, kita sekarang harus mengembangkan pendekatan baru untuk memerangi pelecehan. Ia berpendapat bahwa pelecehan, terutama yang menargetkan perempuan dan kelompok minoritas, membuat internet menjadi ruang yang kurang bebas dan aman bagi mereka. Hal ini membungkam suara dan kontribusi mereka.
Buku ini juga menekankan bahwa kerangka hukum yang ada saat ini, yang sering kali didasarkan pada undang-undang hak cipta dan berfokus pada penghapusan konten setelah dipublikasikan, tidaklah memadai. Jeong menganjurkan adanya "arsitektur yang penuh empati" untuk internet, dengan teknologi dan kebijakan baru yang secara proaktif mencegah perilaku pelecehan. Jeong melihat pelecehan online sebagai cerminan dari masalah sosial yang lebih besar. Ia percaya bahwa solusi yang komprehensif memerlukan gabungan dari moderasi profesional dan solusi teknis, mirip dengan cara spam dikelola.
Jika tidak ada tindakan nyata, "internet of garbage" akan terus merusak masa depan Aceh. Media sosial akan menjadi proses pembusukan sosial yang meracuni setiap lapisan masyarakat. Reputasi individu, bahkan masa depan seluruh Aceh, dipertaruhkan. Generasi muda kita kehilangan empati dan kemampuan untuk berdialog secara konstruktif. Lingkaran setan polarisasi dan ujaran kebencian menciptakan jurang sosial yang lebar. Jika konflik digital ini tidak dihentikan, ia akan merusak kepercayaan masyarakat dan berpotensi memicu konflik nyata.
Solusi tidak bisa hanya berupa imbauan moral. Kita butuh revolusi pendidikan yang menekankan literasi digital dan nalar kritis. Kita juga harus menciptakan lapangan kerja untuk memberikan harapan, sehingga frustrasi sosial tidak lagi dilampiaskan di media sosial. Pengguna, pendidik, tokoh agama, dan pembuat kebijakan harus bersatu. Kita harus menghapus ruang digital dari kubangan kebencian, demi masa depan Aceh yang lebih baik.

0 facebook:
Post a Comment