Oleh: Dr. Nurkhalis Mukhtar, Lc, MA
Dosen HES Pascasarjana IIQ Jakarta
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) salah satu tokoh bangsa yang paling berpengaruh. Seorang ulama kharismatik, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan pujangga kenamaan yang karyanya abadi. Beliau mewarisi darah ulama terkemuka dari Padang, Sumatera Barat.
Buya Hamka lahir dari garis keturunan yang mendalam dalam tradisi keilmuan Islam. Ayahandanya, Syekh Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama besar dan pendiri Sumatera Thawalib Padang Panjang. Beliau merupakan murid dari ulama Syafi'i internasional, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Syekh Abdul Karim Amrullah juga pernah dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari Mesir, yang membuatnya dikenal sebagai Duktur Fid Diin atau Inyiak Doktor.
Sementara kakeknya, Syekh Muhammad Amrullah, seorang ulama kharismatik dan Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Muhammad Amrullah adalah teman seperguruan dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau ketika mereka sama-sama menuntut ilmu kepada Syekh Sayyid Abubakar Syatta, pengarang kitab Hasyiah I'anatuththalibin.
Sejak kecil, Buya Hamka telah ditanamkan semangat belajar dan cinta ilmu pengetahuan. Pada usia yang masih sangat muda, 19 tahun, Buya Hamka sudah mampu menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk memperdalam kajian keislaman.
Jejak Pendidikan
Meskipun semangatnya besar, perjalanan pendidikan formal Buya Hamka di Diniyah School dan Thawalib Padang Panjang dan Parabek adalah sebuah proses perjuangan. Beliau berguru kepada banyak ulama besar seperti Syekh Ibrahim Musa Parabek, Angku Mudo Syekh Abdul Hamid Hakim, Angku Zainuddin Labay al Yunusi, dan Haji Jalaluddin Thaib.
Menariknya, Buya Hamka muda belum sempat belajar langsung dari halaqah khusus ayahnya. Kebanyakan yang mengaji langsung kepada Syekh Abdul Karim Amrullah adalah para guru Sumatera Thawalib, yang juga merupakan guru-guru Buya Hamka.
Titik balik terjadi pada tahun 1934 (usia 26 tahun), ketika Buya Hamka berkesempatan belajar langsung kepada ayahnya dalam dua cabang keilmuan yang mendasar ilmu ushul fiqih, dengan mengkaji kitab monumental al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali, serta ilmu mantik/logika.
Selain ulama Minangkabau, beliau juga memperdalam wawasan keilmuan kemasyarakatan dari pemikir-pemikir Islam dan tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto, Haji Fachruddin, Ki Bagus Hadikusumo, dan Buya AR. Sutan Mansur. Berkat bekal keilmuan yang mumpuni dalam tafsir, sejarah, tasawuf, sastra, filsafat Islam, dan ilmu kemasyarakatan, Buya Hamka tumbuh menjadi seorang ilmuwan Islam Nusantara yang sangat berpengaruh.
Kontribusi Abadi
Kiprah Buya Hamka terentang luas, mulai dari gelanggang sastra hingga panggung politik kebangsaan dan keagamaan.
Awalnya, Buya Hamka lebih dikenal sebagai novelis dan sastrawan. Dengan nama pena HAMKA, beliau menghasilkan karya-karya hebat yang menggugah dan melampaui zaman, di antaranya, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Merantau ke Deli.
Dari tahun 1936 hingga 1943, beliau memimpin Majalah Panji Masyarakat, sebuah majalah terkemuka, tempat sebagian besar novel, cerita roman, dan tulisannya diterbitkan.
Tasawuf Modern
Kejeniusan Buya Hamka tidak hanya terbatas pada sastra. Beliau menulis karya besar dalam bidang tasawuf yang dikenal dengan buku Tasauf Modern. Buku ini menawarkan penamaan baru yang membuat kajian tasawuf yang mendalam dan berat menjadi lebih mudah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat.
Karya paling monumental Buya Hamka, dan yang paling besar di antara lebih dari seratus judul karyanya, adalah Tafsir Al-Azhar. Karya agung ini diselesaikan Buya Hamka saat beliau menjalani masa tahanan pada masa Orde Lama, suatu periode sulit yang justru melahirkan warisan keilmuan luar biasa.
Berkat kiprah dan kontribusi besarnya untuk Islam dan Indonesia, pada tahun 1959 (usia 51 tahun), Buya Hamka dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Beliau juga memiliki gelar adat Datuk Indomo dan panggilan akrab dari masyarakat Minangkabau sebagai Tuanku Syekh Nan Mudo.
Pejuang dan Pemersatu Umat
Selain dunia keilmuan, Buya Hamka pejuang kemerdekaan yang aktif mempropagandakan semangat perjuangan di seluruh Minangkabau pada masa Agresi Belanda dan Jepang. Atas jasa-jasanya, beliau kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Puncak dari peran keagamaan Buya Hamka sebagai pemersatu umat adalah ketika beliau menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada tahun 1975. Dalam MUI, Buya Hamka berhasil merangkul dan mempersatukan para ulama dan ilmuwan lintas organisasi dalam satu wadah yang strategis.
Keteladanan Pribadi
Di balik keagungan gelar dan karya, Buya Hamka dikenal sebagai seorang ulama yang sederhana dan rendah hati. Beliau memilih jalan tasawuf dalam hidupnya, bahkan putranya, Haji Afif Hamka, menyebut Buya Hamka sebagai seorang Sufi.
Setelah wafatnya sang istri tercinta, Hajjah Siti Raham, yang mendampinginya dalam suka dan duka selama puluhan tahun, hari-hari Buya Hamka dipenuhi dengan Al-Qur'an. Anak-anaknya menyaksikan bahwa beliau bisa membaca hingga lima juz setiap kali duduk.
Ketika ditanyakan alasannya, Buya Hamka memberikan jawaban yang mengharukan sekaligus menunjukkan kedalaman imannya: "Apabila terkenang berbagai macam kebaikan ibumu, maka ayah segera berwudu' dan membaca Al-Qur'an. Ayah takut kecintaan ayah kepada ibumu melebihi kecintaan kepada Allah SWT."
Jawaban ini menyimpulkan esensi Buya Hamka seorang ulama besar yang menghabiskan segenap usianya untuk kejayaan Islam dan Indonesia, namun tetap menjaga hati dan imannya dengan kesungguhan luar biasa.

0 facebook:
Post a Comment