Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku “Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi, dan Keberkahan”


Menempatkan kemiskinan sebagai sebuah keutamaan adalah kekeliruan besar, sebab kemiskinan bukanlah tanda kemuliaan, melainkan penyakit sosial yang berbahaya. Ia dapat mendatangkan kemudaratan, melemahkan daya juang, bahkan membebani orang lain. Dalam pandangan Islam, harta penopang kehidupan manusia di dunia. Tanpa harta, banyak ibadah tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Keyakinan sebagian kalangan bahwa Rasulullah saw hidup dalam kefakiran mutlak telah melahirkan pandangan keliru di tengah umat. Mereka beranggapan penderitaan dunia jaminan kebahagiaan akhirat. Pandangan seperti ini menjerumuskan sebagian umat Islam untuk berpikir hidup di dunia tidak lebih dari sekadar persiapan mati, sehingga mengabaikan tanggung jawab memakmurkan bumi dan membangun kesejahteraan.

Dalam bukunya Harta Nabi, Dr. Abdul Fattah As-Samman mengutip pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali, sebagian besar umat Islam meyakini Rasulullah saw lebih mengutamakan kefakiran daripada kekayaan. Karena itu, mereka menilai harta harus diminimalkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar agar kuat beribadah.

Patut kita pertanyakan, adakah dalam ajaran Rasulullah saw larangan memiliki kekayaan? Adakah beliau pernah menghinakan harta atau mencela orang yang berusaha mencari rezeki halal. Tentu saja tidak. Tidak ada satu pun hadis yang mengajarkan untuk menolak kekayaan atau menganggapnya tercela.

Islam melarang seseorang meninggalkan usaha dan bekerja dengan alasan ingin beribadah semata. Menganggur dengan dalih fokus beribadah justru merupakan perbuatan tercela. Dalam Islam, setiap aktivitas yang diniatkan karena Allah bernilai ibadah, termasuk bekerja dan mencari nafkah. Usaha membantu orang lain jauh lebih utama karena membawa manfaat sosial.

Ibadah seperti salat dan puasa sunah hanya berdampak pada diri pelakunya, namun bekerja mencari rezeki halal, lalu membelanjakannya di jalan Allah, menafkahi keluarga, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, atau berwakaf, akan melahirkan pahala yang berlipat dan keberkahan yang luas.

Islam sangat menekankan keseimbangan antara ibadah individual (ubudiyah) dan ibadah sosial. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Sa‘ad: “Sungguh, apabila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, itu lebih baik bagimu daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian pula Allah Swt berfirman dalam Surah Al-Qashash ayat 77: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia; berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.”

Ayat dan hadis tersebut menegaskan, Rasulullah saw tidak pernah melarang umatnya menjadi kaya. Islam justru memotivasi umatnya agar berusaha, bekerja keras, dan mencari rezeki yang halal tanpa mengabaikan kewajiban beribadah. Kekayaan yang diperoleh dengan jalan yang benar merupakan amanah yang harus dimanfaatkan demi kebaikan.

Karena itu, mari kita jadikan kekayaan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt. Gunakanlah harta dengan sebaik-baiknya untuk berinfak, bersedekah, dan berwakaf dengan niat tulus karena Allah semata. Dengan demikian, harta yang kita miliki bukan hanya memberi manfaat di dunia, tetapi juga menjadi tabungan pahala abadi di akhirat.

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

 
Top