Oleh: Tgk Rasyidi

Banjir bandang itu datang tanpa aba-aba. Dalam hitungan jam, rumah-rumah lenyap, ladang tertimbun lumpur, dan kehidupan warga berubah menjadi antrean panjang di pengungsian. Tangis anak-anak, wajah letih para ibu, dan diamnya para ayah menjadi pemandangan yang kini akrab di tanah Aceh.

Namun di tengah duka yang masih basah, pemerintah pusat melalui Presiden tidak menetapkan status bencana nasional atas musibah tersebut. Keputusan ini mengguncang perasaan masyarakat. Rasa sedih kian dalam ketika Pemerintah Aceh secara resmi menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meminta perhatian dunia internasional terhadap kondisi yang dialami rakyatnya.

Ketika Negeri Ini Menangis dalam Diam

Bagi sebagian warga, keputusan tidak diberikannya status bencana nasional terasa seperti luka kedua setelah banjir. Mereka bertanya dalam lirih:

Apakah penderitaan kami belum cukup besar?

Apakah air mata ini belum layak disebut darurat?

Aceh—tanah yang pernah menjadi saksi tsunami dan ratusan meninggal dunia, ribuan luka luka dan puluhan orang hilang tanpa jejak—kembali diuji dengan musibah, namun kali ini tanpa status nasional, tanpa gema besar, tanpa pengakuan formal yang diharapkan bisa meringankan beban.

Tasawuf: Ketika Dunia Diam, Allah Sedang Berbicara

Dalam pandangan tasawuf, peristiwa ini tidak dibaca dengan amarah, tetapi dengan tunduk dan perenungan. Para sufi mengajarkan bahwa terkadang Allah ﷻ membiarkan hamba merasakan sunyi pertolongan manusia, agar hati kembali merintih hanya kepada-Nya.

Jika semua pintu tertutup, ketahuilah Allah sedang mengajarimu mengetuk pintu langit.

Tidak ditetapkannya status bencana nasional, dan langkah Aceh menyurati PBB, adalah gambaran betapa manusia telah sampai pada batas ketidakberdayaan. Dan dalam tasawuf, di situlah awal pertolongan sejati.

Bukan Murka, Tapi Teguran yang Sangat Dalam

Tasawuf tidak tergesa menyebut ini azab. Ia adalah teguran penuh cinta, namun terasa pedih. Teguran kepada manusia yang terlalu lama merasa aman, terlalu yakin pada sistem, dan terlalu jarang menundukkan hati di hadapan Allah.

Air yang meluap seakan berkata:

“Kalian sibuk menghitung status, sementara Aku sedang menghitung shalat yang ditinggalkan.”

Allah Menguji: Siapa yang Masih Peduli Tanpa Pengakuan

Ketika Presiden tidak menetapkan status nasional, dan Aceh harus mencari perhatian dunia, tasawuf melihat satu ujian besar:

apakah kepedulian masih hidup tanpa legitimasi negara?

Amal yang paling tinggi menurut para sufi adalah amal yang tidak disorot, tidak dipuji, dan tidak dicatat manusia—namun dicatat Allah.

Bisa jadi Allah sengaja mengecilkan pengakuan dunia, agar membesarkan keikhlasan hamba-hamba-Nya.

Aceh Menyurati PBB, Tapi Langit Tidak Pernah Jauh. Surat kepada PBB adalah ikhtiar terakhir manusia. Namun tasawuf mengingatkan: langit tidak pernah meminta surat.

Cukup air mata yang jatuh dengan ikhlas, doa yang naik dengan sabar, dan hati yang kembali tunduk. Jika dunia belum mengulurkan tangan sepenuhnya, Allah tidak pernah menarik rahmat-Nya.

Jangan Biarkan Musibah Ini Berlalu Tanpa Taubat

Boleh jadi status bencana nasional tidak diberikan.

Boleh jadi dunia belum sepenuhnya menoleh.

Namun musibah ini jangan sampai berlalu tanpa taubat, tanpa perubahan, tanpa kembalinya hati kepada Allah ﷻ.

Karena menurut tasawuf,

musibah terbesar bukanlah banjir bandang,

tetapi hati yang tetap keras setelah semua ini terjadi.

“Ya Allah, jika dunia belum mengakui luka kami, maka jangan Engkau biarkan Engkau sendiri yang kami lupakan.”

SHARE :

0 facebook:

 
Top