Lamurionline.com--JAKARTA, — Ekonom Faisal Basri menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lambat memutuskan rencana pengendalian soal bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sampai saat ini, pemerintah masih ragu untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Menurut Faisal, impor minyak dan gas (migas) ini telah menyebabkan neraca perdagangan Indonesia terus defisit. Alhasil, kondisi nilai tukar rupiah juga semakin terpengaruh dan terus melemah hingga saat ini.
Di sisi lain, anggaran subsidi energi baik untuk subsidi listrik dan BBM semakin membesar. Padahal, subsidi energi khususnya BBM bersubsidi ini sekitar 80 persen justru dinikmati oleh orang kaya.
"Saya sudah capek ngomong BBM bersubsidi. Dari dulu (Presiden) kajian melulu. Belum ada keputusan yang tepat soal BBM bersubsidi ini," kata Faisal saat kunjungan ke kantor Kompas di Jakarta, Jumat (5/4/2013).
Dengan neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang sudah defisit ini, kata Faisal, sebenarnya pemerintah sudah diperingatkan bahwa ada kondisi waspada terhadap neraca keuangan negara.
"Kalau impornya sudah meninggi seperti ini, bahkan melebihi ekspornya, kita sudah mulai warning," ujarnya.
Kendati demikian, Faisal mencoba berpikir positif terhadap kondisi neraca perdagangan di dalam negeri selama ini. Meski impor lebih tinggi, kebanyakan memang didominasi oleh bahan mentah (raw material) sebesar 76,9 persen diikuti oleh barang modal (capital goods) sebesar 16,8 persen seperti impor pesawat yang melonjak akhir-akhir ini serta didukung oleh barang konsumsi yang mengontribusikan 6,3 persen.
Dengan neraca perdagangan seperti itu, Faisal optimistis bahwa kondisi ekspor di dalam negeri akan segera pulih dalam waktu dekat. Sebab, impor barang mentah dan barang modal ini memang dilakukan oleh mayoritas perusahaan eksportir yang nantinya juga akan berdampak positif pada perusahaannya.
"Setidaknya ekspor akan meningkat tidak lama lagi. Untuk bahan mentah, ekspor akan membaik setidaknya dalam enam bulan ke depan. Namun, untuk barang modal, itu akan lebih lama lagi," katanya.
Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia memang selalu defisit karena impor migas yang tinggi, meski sudah relatif terkendali akhir-akhir ini. "Biang keroknya memang impor migas. Padahal, minyak ini selalu dikonsumsi oleh orang-orang kaya. Duit subsidinya jadi habis untuk subsidi orang kaya," jelasnya.
Dengan demikian, Faisal meminta kepada pemerintah untuk segera menjelaskan keputusan soal pengendalian BBM bersubsidi ini secara cepat dan tepat. Jangan sampai pengambilan keputusan yang lambat ini justru menyebabkan masalah lain yang akan menimbulkan citra buruk pada kabinet era pemerintahannya. Sumber  KOMPAS.com
Editor :
Ana Shofiana Syatiri

SHARE :
 
Top