Lamurionline.com--Jakarta - Permasalahan Qanun No 3/2013 tentang Bendera Aceh sedang dibahas oleh DPR Aceh (DPRA). Pemerintah pusat sebaiknya berhati-hati dalam menempuh langkah selanjutnya.

"Saya menekankan ini diselesaikan melalui komunikasi, bukan prosedural. Karena kalau secara prosedural sudah problematik," kata Direktur Eksekutif dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat.

Ronald berbicara usai diskusi terkait revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hadir juga pembicara Reslian Pardede dari Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah dan Hendrik Rosdinar dari Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi.

Menurut Ronald, pemerintah pusat dibenarkan untuk membatalkan qanun jika dirasa bertentangan dengan kewenangan yang lebih tinggi. Kewenangan pemerintah pusat ini berdasar UU 32/2004.

Namun demikian, cara prosedural selugas itu berisiko memicu gejolak sosial politik. Ini bisa mengancam kesatuan NKRI. Terlebih lagi, ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Lambang Daerah yang kurang dikomunikasikan dengan otoritas Aceh.

"Ada PP No 77/2007 tentang Lambang Daerah yang berlaku pula untuk lambang daerah Aceh. Seharusnya qanun ini merujuk pada UU ini. Menurut orang Aceh, PP ini tidak dikonsultasikan kepada mereka," tutur Ronald.

(dnu/nrl)

SHARE :
 
Top