Masih terekam dalam ingatan masa-masa sekolah dulu di tahun 1990an. Suasana waktu itu diwarnai dengan konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Siapa yang tidak kecut hatinya ketika mendengar rentetan suara senapan dan ledakan bom? Konflik yang terjadi mempunyai pengaruh besar terhadap pembelajaran di sekolah, khususnya di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. Terkadang terdengar kontak senjata di malam hari, dan terkadang juga di siang bolong ketika anak-anak sedang belajar. Maka dengan terpaksa sekolah pun diliburkan dan kami pulang ke rumah masing-masing. 

Konflik antara TNI dan GAM tidaklah seberapa dibandingkan dengan konflik yang terjadi antara penduduk Gaza-Palestina dengan Israel. Perang yang baru-baru ini berlangsung selama lebih kurang 50 hari, dimulai dari 8 Juli dan berakhir 26 Agustus 2014, menewaskan lebih dari 2.100 orang, diantaranya adalah 500 anak-anak, dan menghancurkan 200 rumah sekolah. Sebelumnya, konflik berkepanjangan sejak puluhan tahun yang lalu telah merenggut dan menghancurkan apa saja yang ada di Palestina. Bayangkan bagaimana trauma yang dialami anak-anak Palestina. Seharusnya m e r e k a b i s a b e r m a i n d a n m e n i k m a t i pembelajaran dengan bebas. Namun perang telah merenggut hak-hak mereka dengan paksa. Alhamdulillah kini mereka kembali bersekolah. Meskipun dalam kondisi yang carut marut, semangat warga Palestina dalam memberikan pendidikan dan sekolah untuk anak-anak mereka patut kita acungkan jempol dan contoh teladani. 

Dalam sebuah media lokal diberitakan bahwa Israel khawatir tingkat pendidikan di P a l e s t i n a j u s t r u m e n i n g k a t s e t e l a h berlangsungnya perang (Republika Online). Hal ini seperti dinyatakan oleh Dr. Mahmud Al- Ja'bari, Wakil Menteri Pendidikan Palestina, bahwa Israel bukan hanya ketakutan dengan keberanian rakyat Palestina, namun mereka juga takut dengan semangat menuntut ilmu warga Palestina. Meskipun Israel memblokade dan mempersulit berlangsungnya pendidikan di Gaza, namun pemerintahan Palestina berusaha menjalin kerjasama pendidikan dengan pihakpihak luar. Israel tidak mengizinkan para pengajar dari luar datang ke Gaza. Bahkan mereka memutuskan jalur kerjasama pendidikan antara Gaza dan Tepi Barat. Namun kesempatan kunjungan rombongan Negara-negara luar justru dimanfaatkan dengan baik untuk membina kerja sama pendidikan. Berdasarkan wawancara dengan Fariz Al-Mehdawi, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, di tahun 2010, ternyata 100% anakanak Palestina justru mengenyam pendidikan di b e r b a g a i w i l a y a h p e n d u d u k a n n y a (Okezone.com). 

Ketegangan politik tidak membuat mereka lalai dalam memperhatikan pendidikan untuk anak-anak dan generasi muda. Malahan menurut beliau pendidikan mulai dari kelas I hingga XII gratis, tidak dipungut biaya sepersen pun. Meskipun dalam keadaan sulit, pendidikan harus tetap jalan. Pendidikan adalah jalur utama dalam upaya merekonstruksi Palestina. Meskipun Israel telah menutup ribuan sekolah dan lembaga pendidikan tinggi di Palestina, namun kegiatan pembelajaran tetap berlangsung secara aktif. Hal ini disadari betul oleh penduduk Palestina bahwa pendidikan mempunyai peran kunci dalam membangun kembali masyarakat paska konflik serta sebagai upaya mencegah konflik di masa yang akan datang. Dibandingkan dengan Indonesia, pendidikan di jalur Gaza, Palestina bukanlah barang mewah. Namun sayangnya menurut laporan riset international Pearson Education terhadap 68 negara di dunia tahun 2013, justru I n d o n e s i a m e n e m p a t i p e r i n g k a t terbawah di dunia bersama Meksiko dan Brazil. 

Berdasarkan tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010, Indonesia masih kalah dengan Palestina yang negaranya senantiasa dilanda konflik bersenjata. Bagaimana sebenarnya s y s t e m p e n d i d i k a n y a n g diterapkan untuk anak-anak Palestina? Ternyata sederhana saja. Mereka diajarkan untuk menguasai Al-Qur'an sejak dini dan memahami betul ayatayatnya. Adab, akhlaq dan ilmu haruslah diutamakan karena ini adalah fondasi dasar keberhasilan seseorang. Dikarenakan kondisi yang tidak menentu, Kementrian Pendidikan Palestina di Gaza juga mempersiapkan latihan militer, teori dan praktis tentang perang, sejak SMA. Mereka dibekali p r a k t e k m e n e m b a k , m e m a n j a t , merangkak dan seni bela diri. Inilah yang menjadi senjata hebat sehingga mereka dapat bertahan dalam segala situasi sampai sekarang. Bagaimana dengan pendidikan di perguruan tinggi? Ternyata banyak juga warga Palestina yang menempuh pendidikan di luar negeri. 

Di awal tahun 2013, Nedal A. M. Jabari meraih gelar doktor dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Jurusan Teknik Elektro. Kajian thesisnya yang berjudul Adaptive Virtual Classroom Model (AVCM) Based on Student Modeling and Course Sequencing menceritakan tentang pengembangan universitas di negeri yang dilanda konflik bersenjata seperti Palestina. Menurut dia, AVCM ini akan dipakai untuk manajemen perkuliahan Universitas Terbuka (UT) di Palestina. Metode ini dimulai dengan placement test berupa pertanyaanpertanyaan yang harus dijawab oleh calon mahasiswa untuk mengetahui kecenderungan mereka, apakah menyukai teks, gambar atau eksperimen. Selanjutnya model pembelajaran online akan disesuaikan dengan pilihan mereka tersebut. Yang menyukai teks akan disuguhkan basis teks, yang menggemari gambar akan diberikan media visualisasi yang menarik, dan yang suka bereksperimen akan diterapkan pendekatan penelitian. Jadi pada dasarnya tujuan perkuliahannya sama, namun metode yang digunakan berbeda disesuaikan dengan kecenderungan masing-masing. Nah, warga Palestina saja yang m e m p u n y a i b a n y a k k e t e r b a t a s a n infrastruktur karena senantiasa dilanda perang begitu antusiasnya dalam menuntut i l m u . B a g a i m a n a d e n g a n k i t a y a n g mempunyai banyak fasilitas dan serba kecukupan? Wallaahua'lam. 

© Akhi (Gombak: 20.09.2014, 8:30 a.m.)
SHARE :
 
Top