Lamurionline.com Banda
Aceh–
Relasi antara Aceh dan pemerintah pusat saat ini berbeda dengan sebelum
penandatangan MoU Helsinki dan lahirnya UUPA, di mana kala itu Aceh dan
pemerintah pusat berada pada posisihead to head,
berhadap-hadapan dan antagonis satu sama lain. Aceh
saat ini, secarade juredande factoserta pengakuan internasional,
merupakan bagian yang tegas dari NKRI. Dengan demikian Aceh berada pada posisi
di bawah “kendali” dan bersentuhan dengan kebijakan pemerintah pusat, dan
gubernur adalah perpenjangan tangan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan
pelaksanaan pemerintahan di Aceh. Demikian disampaikan oleh Ghazali Abbas Adan, anggota DPD-RI
asal Aceh, melalui siaran persnya, Senin (17/11/2014).Menurutnya,
paradigmahead to headdan
pendekatan antagonistik tidak tepat lagi untuk dipraktikkan ketika melakukan
interaksi dan komunikasi antara keduanya. “Ketika melakukan komunikasi dan
interaksi timbal balik tidaklah dalam wujudhead to headdan antagonistik itu, tetapi penuh
kekeluargaan, kedewasaan, dialogis, santun, cerdas dan argamentatif. Tidak
perlu emosional, arogan, penampilan wajah sangar, tutur bahasa vulgar dan
kasar, serta mengeluarkan ancaman ini dan itu,” tutur Ghazali. Terkait
dengan wacana Mendagri mengevaluasi kembali beberapa qanun Aceh, ia
berpendapat, sejatinya tidak pula direspon dengan carahead to headdan
antagonistik, marah-marah, serta mengeluarkan kata-kata kasar. “Apalagi,
sebagaimana berita terbaru, bahwa Mendagri belum memutuskan qanun yang
dievaluasi itu,” ungkap dia. Seandainya kelak Mendagri benar-benar mengevaluasi qanun-qanun
Aceh, lanjut Ghazali, sementara qanun-qanun itu dikehendaki dan disetujui oleh
segenap lapisan, tidak ada yang kontroversi di tengah-tengah masyarakat Aceh,
maka secara bersama-sama, Pemerintah Aceh, DPRA, DPD, DPR -RI, dan representasi
berbagai elemen masyarakat Aceh yang ada di Aceh di luar Aceh bertemu, serta
dengan santun, cerdas, dewasa dan argumentatif berdialog dengan Mendagri.“Sangat tepat keinginan berbagai pihak, bahwa Pemerintah Aceh
harus menjalin relasi, komunikasi, kolektif kolegial bersama wakil-wakil Aceh
di parlemen Indonesia (DPR dan DPD RI). Demikian pula sebaliknya, sekaitan
dengan kebutuhan dan kepentingan Aceh di tingkat pusat, karena memang fungsi
mereka di Senayan adalah penyambung lidah rakyat Aceh di tingkat pusat itu,”
sebutnya lagi.Dengan
demikian pula, sambungnya, tidak ada alasan bagi DPR dan DPD RI wakil Aceh itu
meninggalkan Pemerintah Aceh sendirian dalam upaya memperjuangkan hak-hak
konstitusional dan aktual rakyat Aceh pada pemerintah pusat. “Untuk hal ini,
tentu harus ditempuh dengan cara-cara dewasa, santun, cerdas dan argumentatif,
sebagai wujud nyata karakter pemimpin-pemimpin modern, beradab dan
bermartabat,” pungkasnya.(al3/sp)