Mendengar atau membaca ‘pulau pinang’, secara umum orang akan tersentuh memorinya dan membayangkan sebuah tempat yang banyak dikunjungi oleh warga Aceh dan medan, bahkan masyarakat Indonesia lainnya untuk berobat. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri memang, pulau pinang dengan rumah sakit (hospital) berkelas internasional, yang setidaknya terdapat 6 hospital pemerintah yaitu 1. Hospital Balik Pulau, 2. Hospital Bukit Mertajam, 3. Hospital Kepala Batas, 4. Hospital Pulau Pinang, 5. Hospital Seberang Jaya, dan 6. Hospital Sungia Bakap. Selain itu juga terdapat setidak-tidaknya 7 buah Rumah sakit yang menawarkan jasa perawatan untuk pasien asing (masyarakat antar bangsa); pertama Gleneagles Medical Centre, kedua Island Hospital, ketiga Lam Wah Ee Hospital, keempat Loh Guan Lye Specialists Centre, kelima Mount Miriam Cancer Hospital, keenam Pantai Hospital Penang, dan ketujuh Penang Adventist Hospital. 

Secara geografis antara Aceh dan Pineng cukup dekat, yaitu dapat ditempuh lebih kurang 90 menit menggunakan pesawat udara ‘firefly’ dari Banda Aceh ke Pulau Pinang dan sebaliknya, tentu lebih dekat jika dibandingkan dari Aceh-Jakarta. Untuk sebutan Pulau Pinang (sesuai dengan tulisan yang sebenarnya), masyarakat Aceh lebih sering menyebutnya dengan ‘Pineng’. Sesuai dengan namanya, Pulau Pinang merupakan sebuah kepulauan yang dihubungkan oleh dua jembatan penyeberangan yang menjadi salah satu simbol (ikon) kemajuan Negeri bekas jajahan Inggris tersebut, yang diberikan kemerdekaan pada tanggal 30Agustus 1957 (59 tahun lalu). Betapa tidak, panjang dua jembatan dua jalur yang membelah lautan Malaysia itu masing-masing mencapai 13,5 km dan 24 km, suatu prestasi luar biasa yang semakin memperindah kawasan pantai dan membuat transportasi dari dan ke luar pulau pinang menjadi cukup dekat. 

Pulau Pinang juga dikenal sebagai salah satu kota destinasi wisata penting yang dimiliki oleh Malaysia dengan arsitektur kota tuanya yang masih sangat terjaga dengan baik sampai saat ini, Georgetown merupakan warisan sejarah dunia yang eksistensinya di bawah perlindungan salah satu badan PBB yaitu UNESCO, yang merupakan suatu badan dunia untuk menjaga warisan budaya dan tradisi dunia. Suatu kota yang mencerminkan tingginya peradaban dunia di masa lampau, yang terdapat berbagai etnis di dalamnya dengan kehidupan penuh tasamuh (toleransi) yang sampai hari ini masih menjadi tradisi yang baik di sana. Selain etnis Hindia, Cina, Ingris, dan Melayu (penduduk lokal Malaysia), ternyata Aceh juga menjadi bagian penting dalam menorehkan tinta emasnya di sana. Hal ini terlihat dengan beberapa situs sejarah yang masih terjaga dengan baik sebagai harta wakaf masyarakat Aceh untuk masyarakat Malaysia, yaitu Masjid Aceh dan komplek perumahan komunitas Aceh di Kota Tua, Lebuh Aceh-Pulau Pinang. Tidak hanya itu, P. Ramli yang menjadi Icon Dunia Perfileman semenanjung Malaysia adalah keturunan Aceh yang sudah lama menetap di Malaysia, yang sampai hari ini masih dikenang dan dilestarikan sebagai warisan sejarah dan budaya, hal ini terlihat dengan pemugaran rumah P. Ramli yang juga menjadi salah satu tujuan wisata Pulau Pinang. 

Pintu Gerbang Dalam Menatap Dunia 

Sebagai negara persemakmuran, Malaysia yang secara khusus Pulau Pinang didiami oleh berbagai komunitas dunia, terutama para pelajar/mahasiswa dari berbagai bangsa yang ada di dunia. Kampus Universiti Sains Malaysia (USM) menjadi salah satu tujuan penting para kamunitas antar bangsa (warga asing) selain para wisatawan baik lokal maupun asing. Banyaknya warga asing dengan latar belakang budaya yang berbeda menjadikan Pulau Pinang semakin menarik untuk dikunjungi. Hal ini tampak dilihat ditempat keramaian seperti di pasar, tempat yang menjadi objek wisata dan terlebih lagi kampus USM dengan jumlah mahasiswa asing yang sangat banyak baik dari Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika dan Asia tentunya, bahkan juga ada warga Syiria (Suriah) dan Palestina yang menimba ilmunya di kampus yang bertaraf Internasional tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kemudian Pulau Pinang disebut sebagai salah satu pintu gerbang bagi warga Aceh dalam menatap dunia, ungkap Bustami Abu Bakar yang turut diiyakan oleh Ismul Huda yang sama-sama Pelajar di USM. 

Desain ‘Kota Hutan’ 

Sebagai sebuah kepulauan, pulau pinang memiliki track record yang baik dalam hal menjaga lingkungannya, terutama ekosistem hayati yang ada. Betapa tidak, desain pembangunan kota dengan gedung yang melambung tinggi dan aneka publick service yang ada sangat mencerminkan keberpihakan pemerintah dan masyarakatnya terhadap kelestarian lingkungan. Tidak ada ilegal logging, juga tidak ada perusakan hutan bahkan penebangan kayu di pemukiman warga yang dilakukan secara sembarang karena itu sudah diatur oleh pemerintah dan semua pihak mematuhinya dengan baik. Satu prestasi yang gemilang misalnya persoalan air bersih, selama penulis menempuh pendidikan di Pulau Pinang (sudah 3 tahun lamanya) tidak pernah terdengar warganya kekurangan air bersih baik akibat teknis maupun habisnya stock air. Hal ini tentunya sangat didukung oleh pengelolaan alam yang baik oleh pemerintah maupun warganya, dalam menjaga kelestarian alam sehingga alam bersahabat dengan manusia. Nah, bagaimana dengan di Aceh; tentu kita memiliki cerita yang berbeda dan itu menjadi cerita klasik yang sudah usang, namun masih menjadi sahabat karib kita di Nanggroe Iskandar Muda. 

Disela-sela kesibukan, penulis juga menyempatkan diri melihat isi kota dalam beberapa waktu terakhir secara lebih serius. Hal ini untuk menjawab kegelisahan penulis terhadap kota dalam ‘desain hutan’ ini, sebenarnya kisah ‘Pineng’ sebagai kota dalam hutan ini sudah lama ingin penulis sajikan dihadapan pembaca sekalian, namun masih belum berani untuk terlalu cepat menyimpulkannya. Perjalanan mengelilingi kota telah memberi gambaran kepada penulis, bahwa ‘Pineng’ adalah kota dalam desain hutan. Realitas ini dapat kita lihat dipusat kota dengan banyaknya pohon-pohon besar yang berusia puluhan tahun, dengan jumlah yang tidak sedikit. Belum lagi dengan taman-taman kota yang didesain sedemikian rupa yang membuat pengunjung dimanja dengan fasilitas yang cukup memadai, dari permainan anak-anak sampai pada fasilitas olah raga orang dewasa, katakan saja salah satunya adalah taman pekaka yang berada tidak jauh dari kampus USM.  

Ternyata gedung yang tinggi dan kemajuan suatu daerah tidak kemudian membuat lingkungan menjadi rusak dan terusik, Pineng salah satu yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam hal itu. Ini semua ditopang oleh kepastian hukum dengan sangsi yang tegas dari aparat penegak hukum tanpa pandang bulu, yang mendapat dukungan dari masyarakatnya. Kondisi ‘kota hutan’ ini tidak saja membuat manusia sebagai penghuninya merasa nyaman, namun makhluk Allah yang lain juga turut merasakan dampak positifnya. Penulis memperhatikan diseluruh sudut kota, burung-burung yang indah senantiasa menyapa dengan santunnya, seolah ia berucap “selamat datang di negeri yang sangat ramah dengan kaum binatang”. Betapa tidak, sangsi yang diberikan kepada orang/pihak yang menangkap burung liar misalnya akan dikenakan denda mencapai RM 300,00 (mencapai Rp 1.000.000,-) perekor, hal ini juga berlaku bagi para penebang kayu tanpa izin akan diberikan sangsi yang cukup berat. ‘Hukum dijalankan’ sehingga orang atau pihak yang ingin melanggar akan berpikir panjang untuk tidak menaatinya, sehingga istilah ‘hukum untuk dilanggar’ tidak menjadi tradisi dan ‘mantera keramat’ di Pulau Pinang ini secara khusus dan Malaysia pada umumnya. Nah, bagaimana dengan Aceh yang sudah bersyariat Islam dengan pemimpinnya yang juga muslim tentunya. Moga saja Aceh mampu kembali menjadi bangsa besar dengan syariat islamnya yang melindungi segenap komponen bangsa, dan termasuk alam di dalamnya.


Penulis merupakan Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Sedang menempuh Tugas Belajar Program Ph.D Jurusan Social Work di USM Pulau Pinang, Mahasiswa Program Beasiswa LPSDM Pemerintah Aceh
SHARE :
 
Top