Oleh: Abrar

Foto: Kanal Aceh
Syedara Lamuri, Penulis kali ini akan sedikit berbagi mengenai rumah adat istiadat Aceh. Penulis coba sedikit menilik sisi filosofi mengenai rumah Aceh berdasarkan sejarah yang ada. Rumah dengan motif unik ini jika dinilai secara historis selain sebagai tempat tinggal juga punya fungsi-fungsi menarik dan unik. Dari hal ini kita bisa bisa berbagi pengetahuan. 

Bahwa, para pendahulu kita tidak hanya membangun, tetapi juga mengukur sejauh mana kegunaan suatu benda bahkan tempat tinggal bagi anak cucu. Berbeda dengan rumah beton atau semi permanen yang kebanyakan kita bangun sekarang ini. Rumah Aceh menurut sebagian orang lebih kuat dan kokoh bahkan tahan akan gempa bumi.Karena ilmu pengetahuan juga mencatat Aceh, termasuk Indonesia umumnya punya garis lempengan gempa yang bisa terjadi setiap tahun. 

Dari sebab itulah struktur pembangunan rumah Aceh sudah dipikirkan sedemikian rupa agar tetap kuat, kokoh dan tetap tahan lama. Penulis menyadari bahwa kebanyakan masyarakat Aceh sekarang lebih suka membangun rumah beton karena hal itu sejalan dengan perkembangan zaman saat ini. Sangat jarang kita lihat yang masih membangun rumah Aceh. Mungkin, kebutuhan “kayee seumantok dan meurantee” yang sudah sangat jarang dan mahal yang merupakan kayu alami yang memang dibutuhkan dalam pembuatan sebuah rumah adat Aceh ini. 

Menilik lebih jauh, Rumoh Aceh memiliki 16-24 batang kayu yang berfungsi sebgai pancang atau penyanggah bangunan rumah. bagian bawahrumah biasa dipergunakan untuk memelihara ternak, dan juga tempat untuk membuat songket. Uniknya lagi rumah aceh ini dibangun tanpa mengunakan paku satupun, hanya menggunakan pancang/pasak dan tali pengikat dari rotan sebagai pondasi rumah. bertapkan rumbia dan dinding yang terbuat dari papan, rumah ini pun diprediksikan dapat bertahan hingga 200 tahun. Keberadaan rumoh aceh juga untuk menunjukkan status social penghuninya, semakin banyak hiasan nya maka semakin kaya orang tersebut, begitu juga sebaliknya.

Budayawan Majelis Adat Aceh (MAA), Tarmizi Abdul Hamid mengatakan umah Aceh bersahabat dengan alam lantaran kontruktruksi bangunannya yang saling kait mengait, sehingga mampu meredam getaran gempa. "Bersahabat dengan bencana, sehingga dapat mengurangi korban jiwa. Rumah adat Aceh lebih aman dari beton, rangka atap juga pakai rotan," ucap dia. Sementara, lantai dan tiang-tiang rumah Aceh terbuat dari kayu-kayu yang kokoh dan tidak menggunakan paku untuk saling menghubungkan, melainkan dengan kait kayu. Karena itu, saat gempa datang rumah adat Aceh tersebut hanya akan mengikuti irama guncangan tersebut dan tidak roboh. Meski guncangan di rumah tradisional Aceh lebih kuat, Tarmizi mengatakan hal itu efek dari kait kayu yang sengaja dipasang longgar. 

Bahkan, menurut Tarmizi rumah Aceh bisa terangkat jika ada gempa dahsyat. Jika bangunan bergeser, itu pun hanya beberapa sentimeter dan dalam keadaan utuh. Rumoh Aceh sendiri mempunyai tiga bagian, “seuramoe keu, seuramoe teungoh atau rambat dan seuramoe likot” 

Secara kolektif struktur rumah panggung memberikan nilai positif terhadap sosial dan kenyaman tersendiri bagi penghuninya, selain itu juga menjamin keamanan dari banjir, binatang dan ketertiban juga keselamatan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. 

Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka (pantang dan tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.  
Penulis merupakan Pemimpin Redaksi Buletin Lamuri
SHARE :
 
Top