Oleh: Durratul Baidha.

Sebulan yang lalu, kami menguak kisah tentang pendidikan yang sesungguhnya. Saya Durratul Baidha dan rekan-rekan saya, Ade Reza Luqfi, Muhammad Vicky dan Nadiatun Firda adalah beberapa mahasiswa Universitas Syiah Kuala yang mendapatkan dua beasiswa sekaligus di universitas jantong hate rakyat Aceh yaitu bidikmisi dan beastudi etos.

Mungkin jika kita menyinggung bidikmisi sudah sangat jarang orang-orang tidak mengetahui beasiswa jenis ini, berbeda dengan beastudi etos meskipun sudah berjalan lama di unsyiah tapi masih banyak yang tidak tahu dengan beasiswa ini.

Beastudi etos adalah beasiswa yang fokus pada pendampingan dan pembinaan mahasiswa berprestasi namun terkendala dalam ekonomi untuk melanjutkan pendidikan tinggi.

Beasiswa ini bekerjasama dengan bidikmisi dimana penerima bidikmisi yang juga penerima manfaat beastudi etos akan di bina selama 4 tahun dan diasramakan selama 2 tahun.

Beastudi etos ini sendiri dibawah naungan dompet duafa Indonesia yang sudah berkembang di 17 PTN di seluruh indonesia.

Salah satu program dari beastudi etos ini adalah “kuliah tak gentar” yaitu proses advokasi , sosialisasi dan motivasi kepada adik-adik SMA untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Dari program inilah Kami memanfaatkan libur semester ganjil dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang ada di Aceh besar dan Banda Aceh dengan jiwa keralawanan menerbar inspirasi keseluruh pelosok negri, karena program ini serentak dilakukan di 1000 sekolah di indonesia. Jika kita perhatikan di pelosok Indonesia ada sekolah yang minim fasilitas tapi siswanya antusias menuntut ilmu, di luar sana banyak siswa yang sekolah dengan kaki telanjang, menyebrang sungai, meja dan bangku tidak layak pakai, atap bocor, dan banyak keadaan memprihatinkan lainnya. 
Berbeda dengan salah satu sekolah yang ada di Aceh besar ini, SMAN 3 Indrapuri.  Terletak di pemukiman Jruk Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. 

Sekolah dengan fasilitas lengkap, guru yang mencukupi, akan tetapi jumlah siswa nya berkisar 24 orang, terdata hanya 10 siswa kelas XII.

Hal ini membuat kami cukup tercengang mendengar ulasan (Drs. Mandi B) selaku kepala sekolah tersebut. 

Seluruh siswa tercatat sebagai siswa pindahan dari sekolah lain yang bermasalah dengan minat belajar maupun lingkup sosial.

Pendidikan yang menjadi long life education malah menjadi sebuah permasalahan dalam diri siswa dengan alasan sekolah hanya sebagai penggugur kewajiban saja. 

Saat itu sebelum memulai erts kami terlebih dahulu berbincang dengan kepala sekolah, serta dewan guru, sekolah tersebut dulu adalah sekolah swasta yang banyak peminat namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi Negeri dan sedikit demi sedikit siswanya berkurang karena banyaknya sekolah kejuruan yang lebih megah.


Sekolah yang telah berakreditasi B ini berduka karena sedikit siswa nya yang berpeluang besar untuk sukses malah siswanya tidak berminat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, padahal jika ditimbang kesempatan belajar mereka lebih besar dengan jumlah yg minim dan guru yang mencukupi. 
Saat itu terbuka mata kami, tangan mengepal semangat, langkah menuju kelas 9 sudah mantap, kesuksesan kami dalam memotivasi bisa di ukur setelah usai sosialisasi, saat menginjakkan kaki di kelas itu, tampak 4 siswa dan 3 siswi sedang menunggu kami, padahal biasanya mereka sudah hilang satu persatu setelah jam istirahat. 
Dengan semangat agar bisa mengubah pola pikir mereka, kami mengajak mereka merenungkan kehidupan yang sudah mereka jalani, akankah mereka bisa bertahan hidup dengan biasa biasa saja?  dari 7 siswa itu, kami mengenali salah satunya dia adalah kawan seleting yang sudah pindah sekolah, tersenyum melihat kami dengan almamater hijau itu dan berkata "aku gak tamat lagi" hati ini perih melihat kawan kami sendiri mungkin tidak pernah ada orang yang bisa memotivasi dirinya sendiri, selain motivasi agar hidup biasa biasa saja.

Untuk hal yang membuat kami sangat antusias, melihat mereka mampu mendengar penjelasan kami dengan baik, merespon baik kalimat motivasi yang kami lontarkan, ada setitik telaga bening dari mata mereka, ya kami melihat.

Mereka sudah mulai sadar dengan keterbatasan ekonomi dan kenakalan yang sudah mereka kolaborasi kan dengan pendidikan sudah menjadi ukuran sesal mengapa mereka terlambat menyadari hal ini? 
Alhamdulillah, usai sosialisasi mereka mau bertanya tentang cara mendapat beasiswa dan masuk kuliah, artinya ada niat untuk merubah hidup yang dahulu biasa biasa saja.

Pendidikan memang tidak akan berjalan tanpa guru, siswa, waktu, fasilitas dan ketekunan siswa dalam menjalani proses pendidikan. Jika salah satu hilang itulah yang akan menyebabkan pendidikan menjadi pincang, sekolah yang bagus tanpa siswa yang bermutu tetap akan jadi simbol saja, akan tetapi sekolah yang biasa saja dengan siswa bermutu akan tampak luar biasa.

Kita perlu terjun menebar inspirasi agar semua benih negri juga merasakan nikmatnya berpendidikan yang sempurna.

Penulis merupakan Mahasiswi FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, pernah meraih juara 1 dan 2 menulis cerpen WAMI FOSMA Unsyiah 2016 & 2017.
SHARE :
 
Top