Oleh Sayed Muhammad Husen

Aceh mendapat legitimasi yuridis empat keistimewaan sejak disahkannya UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Keistimewaan ini sebenarnya telah “diberikan” pemerintah Jakarta tahun 1959, hanya saja tak memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga tak dapat dilaksanakan. Empat keistimewaan Aceh mencakup bidang agama (syariat Islam), pendidikan, adat istiadat dan peran ulama. Status keistimewaan ditambah dengan kekhususan Aceh, dengan disahkannya UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Lengkaplah Aceh menyandang predikat “Daerah Istimewa dan Khusus”.

Langkah pertama mengisi keistimewaan Aceh melalui revitaliasi lembaga keistimewaan yang telah ada (MPD, MAA dan MUI) dan membentuk lembaga baru yang mendukung pelaksanaan syariat Islam. Untuk meningkatkan peran ulama MUI diubah menjadi MPU yang menempatkan posisi ulama sejajar dengan Pemerintah Aceh dan DPRA. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah dan “mengubah” Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah.

Lembaga baru dibentuk dalam rangka pelaksanaan keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Baitu Mal, Dinas pendidikan Dayah dan Lembaga Wali Nanggroe. Yang terakhir pembentukan UPTD Masjid Raya Baiturrahman. Seluruh lembaga dan dinas daerah ini difasilitasi dengan penempatan pejabat struktural dan penyediaan anggaran dari APBA/APBK. Akhirnya organisasi pemerintah di Aceh berbeda jauh dengan daerah lain di seluruh Indonesia. Aceh memang khusus dan istimewa.

Masalahnya, apakah keistimewaan dan kekhususan Aceh dapat dilaksanakan optimal oleh beberapa lembaga daerah tersebut? Bagaimana mengkoordinasikannya, sehingga peran masing-masing dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Aceh? Karena itu, kita melihat perannya memang belum seluruhnya optimal, namun telah menunjukkan kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Lembaga-lembaga tersebut perlu terus menurus melakukan inovani dan pembaruan, sehingga memberi warna terhadap perubahan Aceh ke arah yang lebih adil dan bermartabat. 

Kita juga mengharapkan fungsi koordinasi dan sinkronisasi program/kegiatan lembaga keistimewaan dan kekhususan Aceh yang dilakukan oleh Bappeda dapat lebih efektif, sehingga publik tak berkesimpulan bahwa ada lembaga tertentu yang dianggap kurang penting dan fungsinya dapat dilakukan oleh SKPD lain. Semoga tak ada yang mubazir. 

Sumber: Gema Baiturrahman, 5 Juli 2019/2 Dzulkaidah 1440
SHARE :
 
Top