Oleh Sri Suyanta Harsa

Sumber ilustrasi: umroh.com
Muhasabah 4 Syawal 1441
Saudaraku, seperti sudah disampaikan dalam muhasabah yang baru lalu bahwa slaturahim dan silaturahmi itu merupakan keniscayaan kehidupan, dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang hanya bisa hidup dengan bersama lainnya, tetapi untuk mati bisa sendiri-sendiri. 

Malah dalam ranah sosial kemasyarakatan, melakukan silaturahim dan silaturahmi itu sejatinya untuk menyatakan bahwa dirinya masih hidup. Tanpanya sejatinya sudah menjadi diri yang mati meski masih bisa berjalan kesana kemari. Maka kalau boleh saya katakan, inilah yang disebut dengan "kematian sosiologis" baginya; di tempat ramai tapi merasa sendiri. Sepertinya absurd memang, karena relatif mirip dengan ungkapan "ayam mati di lumbung (berisi) padi lantaran kelaparan".

Lain lagi ceritanya bila dirinya telah hilang dalam pembicaraan sejarah atau apa yang saya sebut dengan "kematian historis". Hal ini terjadi karena yang bersangkutan tidak memiliki kesadaran sejarah lagi, sehingga tidak hadir menyambungnya. Sejarah dirinya sendiri terputus atau terkubur lantaran takdir kehidupannya.

Di samping itu, sembari harus mematuhi himbauan lockdown dan social distancing atau protap protokoler kesehatan yang ada, namun untuk meraih bahagia pada hari-hari perayaan idul fitri bukan semata karena bertemu tidaknya dengan saudaranya, bukan karena dapat berkumpul atau berpencar, tetapi bagaimana mengelola hatinya. Karena ada yang secara kasat mata bertemu, berkumpul, bersama, tetapi hatinya tidak hadir karena masih terbelenggu dengan dosa-dosanya atau masih luring (luar jaringan) lantaran memikirkan dunianya sendiri. 

Tuan puan pernah atau tidak mengalami lupa padahal barusan telah bersua dengan seseorang? Atau sebaliknya pernahkah kita mengalami perjumpaan dengan seseorang yang tegur sapa atau senyumannya hambar, atau hanya untuk basa basi saja alias tidak hadir hatinya. Boleh jadi, saat menyapa, lisannya berucap atau menjawab salam, tetapi pikiran dan hatinya ke tempat yang berbeda. Nah yang ini saya sebut sebagai "kematian psikologis"; orangnya ada tapi tidak bersama hatinya.

Ya sudahlah, kita lupakan saja - bila tidak mau mengatakan kita sadari - fenomena,  kematian sosiologis, kematian historis dan kematian phikologis seseorang, agar kita dapat berusaha selalu hadir hati saat silaturahim dan silaturahmi, meski secara daring sekalipun.  Lisan bertutur, senyuman tulus tersungging, muka atau badan menghadap lawan bicara sepenuhnya dan hadir hatinya. Inilah silaturahim atau silaturahmi yang setulus hati.

Hadir hati ternyata melahirkan rasa bahagia. Tetapi mesti ingat bahwa bahagia itu sangat mempribadi, bahagia itu di hati dan bergantung bagaimana kita mengelola diri. Dalam iman Islam, hati membahagia hanya ketika hidup bersama keridhaanNya. Seberapa akrab dan intensif kebersamaan denganNya berpengaruh seberapa besar rasa bahagianya. Di saat tarakhi dengan ragam pengamalan religiusitas praksis, maka rasa bahagia datang tanpa diduga-duga sebelumnya. Di saat bersikap sesuai norma Islam, maka hati menjadi tenang. Di saat berbagi pada sesama, bukan mereka saja yang merasakan kebahagiaannya, tetapi justru kita yang lebih merasakannya. Sikap takdhim kepada orangtua, justru menambah keberkahan hidup keluarga. Sijap berbakti kepada guru menjadikan semakin berkah ilmunya. Dan seterusnya.

Sekali lagi bahagia itu di sini di hati. Dengan  hidup bersama "keridhaanNya saja" semoga Allah menurunkan kasih sayangNya pada kita semua. Aamiin
SHARE :
 
Top