Oleh Dr. Hafas Furqani, M.Ec

Berita dimurtadkannya sebuah keluarga di Aceh Timur oleh rentenir menghentakkan masyarakat Aceh. Betapa tidak, ketika Aceh sangat berambisi untuk melakukan islamisasi seluruh lembaga keuangan konvensional, ternyata praktik rentenir masih sangat marak, khususnya di gampong-gampong seantero Provinsi Aceh dan luput dari perhatian pengambil kebijakan.

Dari observasi yang dilakukan oleh lembaga CENTRIEFP FEBI UIN Ar-Raniry, setidaknya ada tiga bentuk rentenir yang marak di Aceh, yaitu ‘rentenir individu’ yang dijalankan oleh seseorang yang memiliki modal dan memberikan pinjaman kepada warga dengan bunga yang berlipat kali ganda. Kedua, ‘rentenir impor’, yaitu rentenir yang umumnya datang secara berkelompok dari wilayah Sumatera Utara, dan terakhir, ‘rentenir berkedok koperasi simpan pinjam’.

Berbeda dengan rentenir individu yang relatif kecil dan tidak merata keberadaanya di setiap kampung, rentenir impor saat ini sudah bertebaran hampir di setiap wilayah Aceh mulai dari Kuala Simpang sampai ke Banda Aceh, bahkan di wilayah barat dan selatan. Wilayah operasinya di pasar-pasar yang umumnya menyasar pedagang kecil. Rentenir impor ini umumnya dijalankan oleh mereka yang berasal dari Sumatera Utara, sehingga masyarakat Aceh juga memanggil mereka sebagai ‘rentenir Medan’.

Untuk menjerat korban, cara yang dilakukan sangat halus dengan menawarkan pinjaman murah dan pengembalian cicilan yang rendah. Ketika masyarakat terbiasa, sedikit demi sedikit, pinjaman ditambah dan bunga dinaikkan sampai korban terjerat. Bagi yang tidak mampu mengembalikan uang diselesaikan dengan cara mengambil aset atau ancaman kekerasan yang saat ini sudah sangat meresahkan warga.

Kelompok terakhir adalah ‘rentenir berkedok koperasi simpan pinjam’, atau sering dipanggil masyarakat sebagai ‘Bank 47’ di mana gerakannya lebih sistematis dan terstruktur dalam bentuk lembaga.

Qanun Lembaga Keuangan Syariah
Keadaan ini sangat mengusik hati kita, karena dunia mengetahui bahwa Aceh berambisi untuk menjadi satu-satunya daerah yang menerapkan single financial system berdasarkan prinsip syariah. Melalui Qanun Aceh Nomor 11 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang disahkan pada tahun 2018, Aceh mewajibkan dalam waktu tiga tahun bagi seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh untuk patuh kepada prinsip syariah dalam transaksinya. Lembaga keuangan yang masih tetap menjalankan prinsip konvensional, terpaksa harus meninggalkan Aceh.

Qanun LKS mengatur dimensi yang luas untuk seluruh praktik lembaga keuangan mulai dari perbankan, asuransi, pasar modal, pegadaian, anjak piutang, koperasi, sampai kepada teknologi finansial.  Usaha ini bertujuan untuk melakukan islamisasi kepada seluruh lembaga keuangan konvensional yang beroperasi di Aceh.

Inisiatif ini sudah bagus, tetapi belum menyelesaikan permasalahan dengan komprehensif. Qanun hanya menyentuh ‘riba formal’ yang dijalankan oleh lembaga keuangan konvensional. Sementara ‘riba nonformal’ yang dijalankan oleh rentenir tanpa lembaga tidak tersentuh.

Peran Pemerintah
Sejauh ini belum terlihat kebijakan terstruktur dan gerakan pemberantasan yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah untuk memberantas praktik rentenir di Aceh.

Praktik rente dalam bentuk nonformal yang dijalankan secara terselubung, personal, non-lembaga seakan luput dari perhatian. Tidak begitu jelas, praktik ini di bawah tanggungjawab atau pengawasan siapa. Apakah di bawah OJK, Bank Indonesia, MPU, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, polisi, wilayatul hisbah, kepala desa, imum gampong, tuha peut, atau lainnya?

Yang jelas, pemerintah cenderung abai dalam hal ini dan hanya bertindak reaktif ketika ada laporan dari masyarakat. Bisa jadi mungkin karena tidak ada peraturan yang jelas untuk penanganan ini, tidak ada anggaran untuk berindak, atau bisa juga karena pemerintah sendiri sudah memiliki terlalu banyak masalah yang juga harus diselesaikan sehingga praktik rente ini tidak dianggap urgen.

Apa pun alasannya, praktik rentenir sudah sangat meresahkan warga. Akibatnya, kita lihat masyarakat bergerak sendiri menjaga wilayah masing-masing dari jeratan rentenir. Beberapa waktu yang lalu, masyarakat di gampong-gampong di Aceh memasang spanduk melarang rentenir masuk ke wilayah mereka. Spanduk bertuliskan “Bagi rentenir yang nekat masuk, kendaraannya akan dibakar dan orangnya akan dipukul” beredar di sejumlah daerah.

Ada juga inisiatif dari sebagian masyarakat membentuk semacam organisasi yang diberi nama GARDA (Gerakan Anti Rentenir dan Debt Collector Aceh) untuk mencegah rentenir mewabah dan menjerat masyarakat. Bahkan di sebagian daerah, tindakan sudah dilakukan warga mulai dari mengusir rentenir dan bahkan menghukum dengan pemukulan, disiram air got, dan dibotak. 

Tindakan sporadis seperti ini tentu tidak akan memberi jalan penyelesaian. Perlu ada kebijakan terstruktur dan sistematis dari pengambil kebijakan demi penyelesaian yang komprehensif.

Kebijakan tersebut perlu diarahkan kepada dua dimensi. Dimensi pertama mencegah dan mengatasi maraknya praktik rentenir di Aceh dengan memberi peringatan dan hukuman. Pemerintah dalam hal ini perlu membuat aturan yang tegas dan melakukan pemberantasan rentenir yang bertebaran di gampong dan pasar di seluruh Aceh serta memberikan hukuman yang setimpal.

Tetapi, sekadar mencegah tidak cukup untuk mengatasi masalah rentenir ini. Karena diakui atau tidak, maraknya rentenir juga karena ada permintaan (demand). Ramai masyarakat yang memerlukan pinjaman, tetapi tidak memiliki akses kepada lembaga keuangan untuk mendapatkannya.

Untuk itu, pemerintah juga harus memberikan alternatif penyelesaian kepada persoalan akses pinjaman/pembiayaan yang diperlukan masyarakat.  Lembaga keuangan cenderung tutup mata kepada sektor ini karena keuntungan pengembalian yang akan diperoleh relatif lebih rendah dan risiko juga lebih tinggi dibandingkan dengan pembiayaan yang disalurkan kepada kelompok masyarakat kelas menengah ke atas atau kepada mereka yang berpenghasilan tetap seperti PNS.

Karena itu, solusi komprehensif harus disusun pemerintah dengan melibatkan berbagai pihak seperti lembaga keuangan syariah, Baitul Mal, SKPA terkait, termasuk juga lembaga sosial filantropi yang digerakkan oleh inisiatif swasta agar masyarkat kecil juga memiliki akses kepada pinjaman/pembiayaan yang tidak memberatkan. Dana CSR (corporate social responsibility) perusahaan yang beroperasi di Aceh juga bisa disalurkan untuk mengatasi masalah ini.

Terakhir, solusi konkret juga diperlukan untuk mengatasi masalah lembaga keuangan yang memberikan jasa simpan pinjam dengan berkedok koperasi. Tidak begitu jelas koperasi simpan pinjam yang bertebaran di tengah masyarakat legal atau ilegal karena jumlahnya yang banyak. Perlu pendataan dan identifikasi yang jelas dari Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Aceh. Di samping itu, jika gerakan masif dan terstruktur untuk islamisasi lembaga keuangan hanya marak terlihat pada sektor perbankan, keuangan, dan asuransi yang notabene di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Diskop UMKM Aceh juga perlu melakukan ini kepada lembaga koperasi simpan pinjam yang berada dalam wilayah pengawasannya.[]

Penulis merupakan Direktur CENTRIEFP (Centre for Training and Research in Islamic Economics, Finance and Public Policy), FEBI UIN Ar-Raniry. Email: hafas.furqani@ar-raniry.ac.id
SHARE :
 
Top