Oleh: Afrizal Sofyan, SPdI, MAg

Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Besar

Setiap tahun, ketika memasuki bulan Agustus, selalu diiringi dengan penyambutan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang bertepatan 17 Agustus. Semarak penyambutannya telah nampak sejak jauh hari. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-jalan raya. Semuanya menjadi semarak menyambut hari bersejarah itu.

Namun, dalam kesemarakannya, terdepat beberapa pertanyaan yang terbesit dalam benak kita; apa itu kemerdekaan? Bagaimana Islam memahami kemerdekaan? bagaimana seharusnya kita merdeka dan keluar dari berbagai macam bentuk penjajahan? Begaimana cara mensyukuri kemerdekaan?

Makna kemerdekaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara etimologi merdeka berarti bebas. Kemerdekaan artinya kebebasan. Sedangkan secara terminologi, merdeka dapat diartikan dengan bebas dari segala penjajah dan penjajahan.

Kemerdekaan juga dapat dimaknai sebagai keadaan rohani yang tidak terpaut oleh segala sesuatu yang berkenaan dengan rasa tertindas, yang menindih, sehingga dapat mempengaruhi jiwa, pikiran dan perilaku seseorang. Di lain sisi, kemerdekaan diartikan dengan keadaan hati yang tenteram.

Menurut Islam, sebagaimana yang dikutip dalam Kitab Fathul Majid karya Imam Muhammad bin Abdul Wahhab,  manusia adalah mahluk yang bebas atau merdeka sejak ia dilahirkan. Dalam lain paradigma, manusia adalah mahluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya. Karena manusia diciptakan oleh Allah Swt, maka manusia akan menjadi hamba ketika ia berhadapan dengan Tuhannya. Dengan begitu dapat dipahami bahwa, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak orang lain. Perbudakan antar manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. 

Lebih lanjut Imam Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan, bahwa seorang manusia, menurut pandangan tauhid, barulah akan disebut merdeka bilamana ia sadar dan berusaha keras memposisikan dirinya selaku hamba Allah Swt saja dalam segenap dimensi dirinya, baik penciptaan, penghambaan, kecintaan, perasaan maupun perilaku. Manusia divonis belum merdeka bilamana masih menghambakan dirinya kepada selain Allah Swt. Dengan kata lain, kemerdekaan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan pada seberapa besar upaya individu atau bangsa tersebut menjadikan kalimat tauhid laa ilaaha illallah sebagai motivator dan inspirator utama pembebasan diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun selain Allah Swt.

Kemerdekaan dalam pemahaman Islam

Islam juga memandang kemerdekaan dengan tunduk atas kuasa Tuhan dan melepaskan diri dari jeratan nafsu. Seorang hamba dapat menemukan arti kemerdekaan yang sebenarnya, jika ia mampu terbebas dari semua belenggu yang berasal dari godaan setan dan hawa nafsu  dan mengembalikan segala sesuatu kembali kepada aturan Allah.

Dalam sebuah riwayat yang dikutip dari Al-Jihad Sabiluna disebutkan, ketika Rib’i Bin Amir r.a, salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qadishiyah ditanya perihal kedatanganya oleh Rustum (panglima pasukan Persia), ia menjawab:

“Allah mengutus kami untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia dengan manusia menuju penghambaan manusia kepada Rabb manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada  kepada keadilan Islam.”

Dari kutipan di atas dapat dipahami, Islam memandang kemerdekaan tidak dari satu sisi saja, melainkan dari beberapa sisi yang mencangkup lahiriyah maupun batiniyah. Sehingga, makna kemerdekaan yang sesungguhnya ialah ketika seseorang mampu berada dalam fitrahnya (Islam dan tauhid).

Karena itu, setiap individu muslim kiranya dapat memaknai arti kemerdekaan  sebagai bentuk melepaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kesyirikan. Lalu, perlu dipahami juga adalah kemerdekaan seorang muslim ketika terbebasnya hamba dari segala dinamika kehidupan yang tidak berlandaskan atas aturan yang sudah ditentukan oleh Islam.

Menyikapi kemerdekaan yang seharusnya

Pemahaman kemerdekaan yang sempit adalah ketika seorang hanya memandang kemerdekaan ketika berhasil mengalahkan dan memukul mundur pasukan musuh dari wilayah perbatasan bangsanya. Namun itu bukan makna esensi (pokok). Mengapa demikian? Hal ini karena penjajahan terhadap suatu negeri, bukan hanya berupa penghancuran wilayah negeri oleh pasukan musuh, dirampasnya berbagai kekayaan alam dan sumberdaya oleh para penjajah, dan semacamnya, melainkan penjajahan yang dapat menghancurkan  karakter bangsa dengan corak dan ragamnya yang banyak  dan bahkan akibatnya lebih buruk dari bentuk penjajahan daerah dan fisik tersebut. Sehingga, kemerdekaan dari penjajahan bermakna merdeka dalam sistem kehidupan dari penjajah yang bertentangan dengan Islam dan jatidiri bangsa.

Penjajahan dalam konteks hari ini sebenarnya adalah, upaya atau usaha untuk menjauhkan  dan menghalangi seorang hamba untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Dari sisi ini, kemerdekan itu sejatinya bersifat bertingkat-tingkat, antara satu individu atau komunitas dengan individu atau komunitas lainnya. Semuanya tergantung dari sejauh mana ia mampu menerapkan nilai-nilai Islam yang agung dan mulia dalam hidup dan kehidupannya dan keluar dari segala macam corak penjajahan. 

Merdeka dari berbagai bentuk penjajahan

Syekh Muhammad Sholeh Al Munajjad dalam kitabnya Mufsidatul Qulub menjelaskan, seorang muslim harus keluar dari berbagai macam bentuk penjajahan (kerusakan) di dunia ini. Adapun coraknya adalah: 

Pertama, iblis adalah penjajah yang paling berbahaya bagi manusia. Ia senantiasa berupaya untuk menyesatkan manusia dari jalan hidayah dan Islam hingga hari kiamat. Iblis berkata sebagaimana disebutkan oleh Allah Swt, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka  dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS  Al-A’raf: 17). Dan sudah selayaknya kita menjadikan iblis sebagai musuh abadi. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya syetan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (QS  Al-Faathir: 6).

Kedua, penjajah manusia yang tidak kalah bahayanya adalah nafsu dan syahwatnya, yang selalu mengajak kepada kejelekan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS Yusuf: 53). Nafsu di sini adalah nafsu lawwamah yaitu jiwa yang selalu goncang, yang jika tidak diarahkan, akan mengantarkan manusia kepada keburukan. Nafsu dan syahwat seperti ini akan bisa diatasi di antaranya dengan ilmu (agama) untuk memperkuat ruhiyah.

Ketiga, penjajah dalam rupa kenikmatan dunia, juga kerap menjajah jiwa manusia. Penjajah model ini sudah berhasil menumpahkan banyak darah di permukaan bumi atas namanya. Ya, cinta dunia adalah racun dalam kehidupan umat manusia. Karena seorang yang cinta dunia menurut Syekh Muhammad Sholeh Al Munajjad dikhawatirkan akan membuang cintanya kepada Allah Swt, demikian pula sebaliknya, seseorang yang cinta kepada Allah Swt, tidak akan memberikan ruang bagi dunia itu menempel di hatinya. 

Menurut Syekh Muhammad Sholeh Al Munajjad, di antara racun dunia yang paling berbahaya bagi umat manusia adalah fitnah wanita, harta dan cinta kedudukan atau tahta. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diminta oleh seseorang untuk menunjukkan suatu amal dimana pelakunya akan dicintai oleh Allah Swt dan manusia, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai Allah dan bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau akan dicintai manusia.” (HR Ibnu Majah).

Keempat, penjajahan dalam bentuk ghazwul fikri (perang pemikiran), yaitu invasi nilai-nilai menyimpang yang bisa mengganggu dan merusak keyakinan, moralitas dan pola pikir kaum muslimin agar jauh dari nilai-nilai agamanya. Model penjajahan dan invasi ini juga tak kalah bahayanya, karena ia datang dengan begitu halus dan tersembunyi melalui media-media propaganda yang hadir di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin hari ini, seperti televisi, internet, media cetak dan lainnya.

Mensyukuri kemerdekaan

Mensyukuri kemerdekaan adalah mensyukurinya dengan lisan dalam bentuk kalimat tahmid, berterima kasih dan menyebut jasa serta mendoakan para pahlawan. Semoga amalnya diterima Allah Swt. Menyebut jasa baik tersebut juga menjadi bagian dari syukur kita kepada Allah Swt. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah”. (HR Abu Daud).

Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi masa kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah Swt  dalam berbangsa dan bernegara, bukan mengisinya dengan kemaksiatan kepadaNya. Dengan tegas Allah Swt memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 41, ”(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Kalimat ”kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” dapat berarti suatu bentuk kemerdekaan dari penjajahan.

Penutup

Akhirnya, mari kita mensyukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa dengan amalan dan nilai-nilai Islam yang tinggi, cinta kepada negeri ini, menjauhkan diri dari segala  bentuk penjajahan. Dengan itu, insya Allah umat Islam Indonesia akan mampu meraih kejayaan di masa yang akan datang dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi “baldatun thayyibatun warabbun ghafuur“, yaitu negara dan bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian dari Allah Swt selama-lamanya. Wallahu a’lam. (Editor: smh) 

Teks khutbah ini disampaikan di Masjid Baitul Maqdis, Seuot, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, 19 Agustus 2022 bertepatan 21 Muharram 1444 H

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top