Oleh: Afrizal Sofyan, SPd.I, MAg

Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Besar


Setiap orang pasti mengalami kesulitan hidup dalam berbagai bentuk. Ada kesulitan dalam bentuk masalah ekonomi, kesehatan, keluarga, pendidikan anak, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan, selalu ada kesulitan dan kemudahan. Jika kita mampu melewati kemudahan hidup dengan baik, mengapa kita tak bisa melewati kesulitan hidup dengan baik pula?

Islam mengajarkan jalan keluar terhadap kesulitan hidup yang dialami manusia, terutama umat Islam. Dalam setiap kesulitan, pasti ada jalan keluarnya, karena orang beriman meyakini hidup sejatinya merupakan panggung ujian  dan kesulitan hidup adalah bagian dari ujian tersebut, sebagaimana Allah Swt  berfirman, “Setiap jiwa pasti akan mati. Dan, Kami uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan; kepada Kamilah kalian kembali.” (QS al-Anbiya’: 35).

Bahkan, Allah Swt dalam surat al Balad ayat 4 menjelaskan, ”Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”  Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah memberikan makna kata kabad secara bahasa: segala macam penyakit hati. Kata kabad yang berarti hati, maka sesuatu yang membuat hati gelisah dan susah yang akan mengakibatkan kesusahan dan kesulitan dalam hidup.

Selanjutnya dia menjelaskan, manusia sejak dalam rahim ibunya sampai dengan kematian, bahkan sesudah kematiannya, tidak pernah luput dari kesulitan demi kesulitan.  

Makna kata kabad dengan kesulitan hidup juga senada dengan mayoritas para penafsir seperti Tafsir Ibnu Kasir yang mengartikan dengan kesulitan yang panjang. Tafsir Jalalain Imam Sayuthi menafsirkan dengan kesulitan dan kesusahan di dunia dan akhirat. Tafsir al Jami’ lil Akhkamil Qur’an Imam Qurtubi juga mengartikan dengan  kesulitan dan kesusahan.  Maka dapat  disimpulkan, hidup dan kehidupan akan selalu dalam kesulitan dan kesusahan. 

Solusi hidup sulit dan sengsara

Setelah Allah Swt  menjelaskan, manusia diciptakan selalu dalam kondisi kesulitan dan kesengsaraan, selanjutnya Allah Swt memberikan solusi atau jalan keluar dalam menghadapi kesulitan tersebut, sehingga manusia terbebas dari kesulitan dan bisa menjalani hidup dengan penuh kebahagian, yang merupakan tujuan hidup semua orang. 

Dalam surat al Balad, Allah Swt menjelaskan beberapa solusi atau cara keluar dari kesulitan hidup,  yaitu: 

Pertama, menghadapi kesulitan dengan optimis dan tidak mengeluh

Solusi pertama yang Allah Swt tawarkan adalah menghadapi kesulitan hidup dengan menempuh jalan yang sulit itu, sehingga sudah terbiasa dalam kesulitan. Allah Swt berfirman, ”Maka tidaklah, sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki dan sukar?”(QS al Balad: 11). 

Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah menjelaskan, makna kata iqtahamah terambil dari kata quhmah yang berarti keras dan sulit. Kata al-‘aqabah bermakna jalan yang sulit, yang mengambarkan sesuatu yang tinggi dan sukar. Pengabungan dua kata itu bermakna menempuh jalan yang keras lagi sulit, seterusnya jika dikaitkan dengan kehidupan, maka akan bermakna menumpuh kehidupan yang keras dan sulit.

Dalam ayat ini, Allah Swt mengajarkan umatnya selalu menempuh dan menghadapi kesulitan hidup dan tidak mengeluh. Ketika orang terbiasa dalam menghadapi kesulitan, maka kesulitan itu akan menjadi ringan, mudah dan menjadi kebiasaan. 

Contohnya, ketika seseorang merasa sulit dan susah untuk bangun waktu fajar dan selalu telat menunaikan shalat subuh, dia mencoba berusaha melawan sulitnya bangun waktu fajar, sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya. Maka, tanpa disadari pada hari-hari berikutnya dia akan terbangun sendiri waktu fajar, bahkan dia terbiasa bangun waktu fajar, akhirnya bangun waktu fajar menjadi kebiasaannya. 

Begitupun dalam menajalani hidup yang sulit dan susah. Ada orang yang tidak terbiasa pergi ke sawah sebagai mata pencahariannya. Diawal-awal, terasa pergi ke sawah sangat sulit dan berat, kena hujan, panasnya terik matahari, kotornya lumpur dan melelahkan. Namun, dia paksakan diri untuk terus bekerja di sawah, sehingga pada akhirnya, pergi ke sawah menjadi hal yang mudah, bahkan dinikmati dan selalu rindu untuk melihat hijaunya daun-daun padi.

Kedua, melepaskan diri dari belenggu nafsu tercela

Semua manusia dalam proses penciptaannya diikuti dengan hawa nasfu. Terkadang kesulitan hidup muncul karena ketidakmampuan seseorang mengontrol keinginan hawa nafsunya untuk memiliki dan menguasai sesuatu. Ketika keinginannya tidak terpenuhi akan menempatkan dirinya dalam kesulitan.  Allah Swt menawarkan cara keluar dari kesulitan ini dengan melepaskan diri dari belenggu nafsu. Firman Allah Swt, ”(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya).”  (QS al Balad: 13) 

Kata raqabah dalam ayat di atas, banyak diartikan dengan budak atau hamba sahaya, sehingga ditafsirkan untuk keluar dari kesulitan seseorang harus mencari seorang budak dan memerdekannya. Kalaulah hari ini untuk keluar dari kesulitan mesti memerdekan seorang budak, maka hal ini nyaris mustahil, karena sangat susah menemukan budak zaman ini, karena perbudakan di belahan dunia manapun sudah dihapuskan. 

Imam Qurtubi menafsirkan ayat fakku raqabah dalam Tafsir al Jami’ lil Ahkamil Qur’an dengan beberapa makna, diantaranya memerdekakan seorang budak, menyedakahkan sebagian harta yang telah memperbudak pemiliknya dan melepaskan diri dari belenggu nafsu yang memperbudak manusia. Imam Thabrani dalam at Tafsir al Kabir menjelaskan, makna fakku raqabah dengan  makna kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu ketika seseorang mampu melepaskan dirinya dari belenggu nafsu tercela yang membebani dirinya dengan berbagai ibadah yang mengantarkannya kepada surga Allah Swt.  

Dari dua tafsir itu dipahami fakku raqabah dengan melepaskan diri dari belenggu nafsu yang tercela. Hawa nafsu yang tercela adalah musuh manusia yang akan membelengu manusia dan memberikan kesulitan dalam hidup. Imam al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberikan  penjelasan, bahwa nafsu penting diinternalisasi. Nafsu tidak mungkin dihilangkan dari diri manusia. Bahkan, nafsu itu sendiri adalah motor penggerak kehidupan. Maka hal yang paling mungkin bisa dilakukan adalah mengendalikan nafsu dan menahan diri agar tidak dikuasainya.

Selanjutnya, Imam al Ghazali memberikan analogi nafsu seperti kuda binal yang liar, maka ada tiga cara mengendalikannya, pertama, mengekang atau mencegah keinginan (man’us syahwat). Kuda yang binal akan tak berdaya jika dikurangi makannya. Ini tentu saja hanyalah sebuah perumpamaan. Poinnya ada pada pengendalian diri yang bersifat internal. Manusia kerap memprioritaskan keinginan meski sesungguhnya itu bukanlah kebutuhannya. Inilah sesungguhnya cikal bakal melahirkan kesulitan pada diri manusia. Nafsu, karenanya, harus terlebih dahulu dikendalikan dengan cara mengekang keinginan.

Kedua, dibebani dengan ibadah, karena kuda liar yang dibebani dengan banyak barang dan dikurangi makannya, akan tunduk dan menurut. Sekali lagi, ini juga tamsil atau perumpamaan. Makna kontekstualnya adalah manusia perlu menarget diri dengan sesuatu yang berguna. Pembebanan seperti inilah yang dimaksud Imam Al-Ghazali. Mengendalikan nafsu salah satunya bisa dengan cara membebani diri dengan menargetkan dengan puasa sunat dan membaca al Qur’an. Sehingga, tidak ada lagi waktu yang terbuang sia-sia. Tidak lagi tersisa ruang bagi nafsu untuk menyelinap dan melambungkan keinginan-keinginan yang tidak perlu.

Ketiga, meminta petunjuk kepada Allah Swt, karena Allah yang menguasai  nafsu.  Memaknai hal ini sebagai bentuk kerendahan hati manusia. Setelah berikhtiar, kemudian tawakkal. Tuhan punya kuasa kepada manusia, sebagaimana Rasulullah saw yang mengajarkan manusia untuk selalu berdoa. Dari Zaid bin Arqam r.a, Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah Swt  ya Tuhanku, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkaulah yang menguasai dan menjaganya…”  (HR Muslim).

Ketiga, mengangkat kesulitan orang lain 

Selanjutnya, Allah Swt memberikan arahan untuk keluar dari kesulitan hidup dengan memberikan makan kepada orang yang kelaparan atau yang sangat membutuhkannya. Sebagaimana firman Allah Swt, ”Atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan.”  (QS al Balad:14).

Kata fii yawmin zii masghabah ditafsirkan oleh para mufassirin secara umum dengan waktu dan kondisi kelaparan. Seperti Tafsir Ibnu Katsir, at Tafsir al Kabir dan al Jami’ lil Ahkamil Qur’an mengartikan dengan waktu itu makanan sangat dibutuhkan, karena kondisi yang membatasinya seseorang untuk mendapatkan makanan. Dalam Tafsir al Misbah diartikan kata ini dengan lebih luas yaitu kondisi yang sulit. Artinya, memberikan makanan kepada orang lain yang kondisinya sangat memprihatinkan dan dalam kesulitan.   

Dari beberapa tafsir di atas dapat disimpulkan, bahwa salah satu cara keluar dari kesulitan hidup adalah dengan memberikan bantuan kepada orang lain yang sangat membutuhkan bantuan. Hal ini didukung oleh banyak hadits dari Rasulullah saw, salah satunya hadits dari sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda, ”Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allah Swt akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah Swt akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat…” (HR Muslim). 

Di hadist lain, dari Ibnu ‘Umar r.a, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah Swt  akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.” (HR  Bukhari dan Muslim).

Ketika seorang muslim mampu mengangkat kesulitan saudaranya, maka Allah Swt  akan mengangkat kesulitannya. Dengan diangkatnya kesulitan yang dia hadapi karena membantu yang lain, maka orang itu akan menjadi orang yang bahagia. Rasulullah saw menjelaskan keutamaan amalan ini, bukan hanya mampu mengangkat kesulitan dan melahirkan kebahagian dalam hidup, namun sekaligus dianggap sudah beribadah, bahkan ibadah ini lebih utama daripada iktikaf dalam masjid. 

Hadist dari Ibnu ‘Umar r.a, Rasulullah saw bersabda, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia lainnya. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beriktikaf di masjid ini --masjid Nabawi -- selama sebulan penuh.” (HR  Thabrani).

Hadits ini menjelaskan, ketika semua orang berusaha mencari dan berharap mendapatkan kebahagian dalam hidup, pada hakikatnya kebahagian akan didapatkan dan rasakan ketika mampu membahagiakan orang lain. Seorang ayah akan bahagia, ketika dia mampu membahagiakan keluarganya. Seorang istri bahagia ketika mampu membahagiakan suami dan anaknya. Seorang anak bahagia, ketika dia mampu membahagiakan kedua orang tuanya. Akhirnya, seorang muslim akan merasakan kebahagian hidup tatkala dia mampu membahagikan orang lain.      

Semoga kita semua mendapatkan kebahagian dan keluar dari kesulitan hidup dengan menjalankan arahan Allah Swt  dalam surat al Balad ini, yaitu menghadapi kesulitan hidup dengan tidak mengeluh, melepaskan diri dari nafsu tercela dan dengan membantu orang lain. (editor: smh) 

Tesks khutbah ini disampaikan di Masjid Nurul Jadid, Lampeuneun, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, 9 September 2022/12 Safar 1444 H

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top