Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Menapaki Jejak Rasulullah dan Sahabat


Kisah ketaatan Abdullah bin Az-Zubair bagaikan dongeng legenda. Sungguh kehebatan beribadah yang tiada tandingannya. Ia menghabiskan sebagian besar waktu disepanjang hidupnya dengan shalat malam, berpuasa dan berjihad karena ketaatan kepada Allah Swt. Kerinduannya terhadap akhirat yang abadi mengalahkan kecintaan kepada indahnya kehidupan dunia yang penuh fatamorgana. 

Lelaki perkasa ini hampir tak pernah meninggalkan tempat ibadahnya. Setiap saat ia rukuk dan sujud dalam waktu yang lama karena kekusyukannya. Sehingga burung-burung pipit bertengger di atas bahu dan punggungnya yang dikiranya tembok. Peluru-peluru melesat diantara jenggot dan dadanya saat ia shalat. Namun ahli ibadah ini tak peduli dan tidak pula menghentikan bacaannya ataupun mempercepat gerakannya. Demikian tutur Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya Biografi 60 Sahabat Nabi Saw.

Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq dan keponakan Aisyah istri Rasulullah ini diakui ketangguhan ibadahnya, kebaikan akhlak dan konsinten dalam bersikap. Berterus terang dalam perselisihan dan tidak pernah mencari muka untuk mendapatkan keinginannya. Sehingga setelah Yazid bin Muawiyah meninggal, ia didatangi seorang panglimanya bernama Hushain bin Numair. Abdullah ditawarkan menjadi khalifah di Syiria, namun ia menolak kesempatan baik  ini. Menurutnya pasukan Syiria patut menerima qishahs sebagai balasan kekejian terhadap Madinah demi memenuhi kehendak Bani Umayyah, dengan membaiat Yazid sebagai khalifah secara tidak adil. Ia telah melakukan penolakan secara keras terhadap Yazid ketika Muawiyah akan membaiatkannya. 

Bahkan saat diserang Al-Al-Hajjaj dengan sengitnya, ia tidak sudi menerima bantuan kepada anak buahnya ahli pemanah yang sebagian besar mereka orang-orang Habasyah. Ia mendengar mereka membicarakan khalifah yang telah wafat dengan sikap tidak sopan dan tidak adil. Ia mencela, "Demi Allah, aku tidak sudi meminta bantuan kepada orang-orang yang membenci Utsman."  Sementara ia sangat membutuhkan bantuan,  tetapi ia menolak uluran tangan mereka mentah-mentah. Meskipun ia yakin, bahwa  pemanah-pemanah itu mampu menguasai peperangan. Sehingga akan berubah arah kemenangan kepadanya.

Selanjutnya Khalid menuturkan, namun Abdullah bin Az-Zubair tetap saja menjadi Amirul Mukminin di wilayah Mekkah Al-Mukarramah sebagai ibu kota pemerintahan. Kekuasaannya meliputi kota Hijaz, Yaman, Bashrah, Kuffah, Khurasan dan Syam. Ia dibaiat di semua wilayah tersebut. Kekuasaannya ternyata tidak membuat Bani Umayyah tenang sebelum menjatuhkannya. Mereka menyerang dan menghancurkan kekuasaan Abdullah hingga tiba masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik  mengirim seorang yang sangat keji bernama Al-Al-Hajjaj Ats-Tsaqafi untuk melumpuhkan Abdullah.

Manusia bejat ini mengerahkan pesonilnya menyerang kota Mekkah selama enam bulan lamanya. Secara licik ia memutuskan sumber makanan ke penduduk Mekkah dengan maksud agar penduduk  meninggalkan Ibnuz Zubair seorang diri. Ternyata taktik mereka berhasil, karena kelaparan membuat sebagian penduduk Mekah  menyerah dan meninggalkan Ibnuz Zubair. Akan tetapi hal itu tidak mematahkan semangat juang Ibnuz Zubair. Ia tetap menghadapi serangan Al-Al-Hajjaj dengan sisa kekuatannya sampai titik darah penghabisan. Meskipun usianya ketika itu sudah mencapai 70 tahun, namun semangat berjuang tetap membara. 

Khalid Muhammad Khalid menyebutkan, untuk mengetahui kisah  selanjutnya, mari kita simak percakapan antara Abdullah bin Az-Zubair dengan ibunda tercinta Salma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Asma berkata, "Wahai anakku, engkau tentu lebih tahu tentang kayakinanmu mencapai kebenaran. Bersabar dan bertawakkal dalam mengerjakan tugas hingga engkau mati. Tak ada kata menyerah untuk melawan kebuasan budak-budak Umaiyah. Tetapi ingat, jika kamu mengharapkan dunia, engkau seburuk-buruk hamba. Engkau telah mencelakai diri sendiri dan orang-orang yang berperang bersamamu."

Mendengar kata-kata ibunya Abdullah menjawab, "Demi Allah, aku tidak mengharapkan dunia. Aku tidak akan berbuat aniaya, melanggar batas dan berbuat curang."

Asma berkata, "Aku mohon kepada Allah semoga ketabahanku menjadi kebaikan bagimu, baik engkau yang mendahuluiku menghadap Allah atau aku  yang mendahuluimu. Semoga ibadahmu, puasamu, baktimu kepada kedua orang tua diterima dengan rahmat-Nya. Ya Allah, aku rela menerima keputusanmu, berikan pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Az-Zubair dengan sabar dan syukur."

Setelah berdoa, mereka berpelukan seakan saling mengucapkan kata perpisahan. Setelah itu Abdullah menghadapi pertempuran sengit yang tidak seimbang. Sehingga ia menemui kesyahidannya dengan pukulan yang mematikan. Kematian Abdullah memuaskan Al-Hajjaj. Bahkan dengan kebuasannya, si durjana ini secara biadab dan tidak manusiawi menyalib tubuh orang mulia ini yang sebelumnya telah dipenggal kepalanya. Sungguh manusia tidak punya hati. 

Asma sang ibunda yang sudah renta dengan usia 97 tahun ketika itu, harus menyaksikan peristiwa menyakitkan, perih tiada terkira. Ia berdiri kaku bagikan gunung batu,  menyaksikan si buah hati mati mengenaskan. Ibu mana yang tak remuk dan hancur jiwanya menyaksikan kepedihan ini? Sementara Al-Hajjaj dengan merendah seakan tak berdosa, datang  menghampiri Asma sambil berkata, "Wahai ibu, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan mewasiatkan agar memperlakukanmu dengan baik. Apakah engkau membutuhkan sesuatu?" 

Dengan lantang Asma berteriak di mukanya, "Aku bukan ibumu, aku ibu orang yang kau salib di kayu itu. Aku tak butuh apapun dari kalian. Aku hanya ingin menyampaikan sebuah hadits Rasulullah saw, "Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang pembunuh keji. Tentang pembohong kita semua telah mengetahuinya, sedangkan si pembunuh keji aku tidak melihatnya selain engkau." 

Dalam kondisi yang menyedihkan, maka datang Abdullah bin Umar. Ia menghibur dan membujuk agar Asma tetap bersabar. Asma menyerahkan semua urusan kepada Allah dengan mengingat peristiwa kepala nabi Yahya yang dihadiahkan kepada Salome, seorang wanita penindas yang hina dari Bani Israil. Maka ia bersabar jika kepala anaknya tercinta dihadiahkan kepada Al-Hajjaj dan Abdul Malik. Sungguh agung Asma putri Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan ketabahannya. Allah Swt merahmati dengan surga-Nya. 

Begitulah kisah perjalanan hidup Abdullah bin Az-Zubair cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mulia. Surga menantimu wahai sang pahlawan Islam.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top