Oleh: Supiati, S. Ag., M. Sos
Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh
Pernyataan Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi, dalam Rakernas II IPARI 2025 bukan sekadar seruan administratif, melainkan panggilan ideologis yang menegaskan peran strategis penyuluh agama sebagai agen perubahan sosial. Dalam konteks Indonesia yang majemuk dan menghadapi tantangan multidimensi—baik identitas, ekonomi, hingga ekologi—penyuluh agama dituntut tidak hanya hadir, tetapi juga berdampak.Tiga Pilar Strategis: Akses, Mutu, Tata Kelola
Zayadi menekankan tiga pilar utama yang seyogianya menjadi pondasi penyuluhan keagamaan: akses, mutu, dan tata kelola. Ketiganya bukan elemen yang bisa dipilih sebagian, melainkan harus berjalan bersamaan. Terlalu sering kita terjebak pada paradigma kuantitas—sebatas menjangkau lebih banyak titik—tanpa memastikan kualitas pesan yang disampaikan atau sistem pendukung yang menjamin keberlanjutan layanan.
Jika penyuluh gagal menjangkau kelompok rentan, atau justru mengabaikan kebutuhan masyarakat 3T, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan ruang kosong yang bisa diisi oleh narasi ekstrem dan disinformasi keagamaan.
Inklusi dan Kolaborasi Lintas Iman: Jalan Menuju Kohesi Sosial
Salah satu pesan paling kuat dari Zayadi adalah urgensi kolaborasi lintas iman. Ini bukan basa-basi pluralisme, melainkan strategi taktis dan moral untuk merawat keindonesiaan. Ketika penyuluh agama dari latar berbeda bisa bekerja sama di lapangan, masyarakat tidak hanya melihat simbol toleransi, tapi merasakan langsung dampaknya dalam kehidupan mereka.
Kolaborasi lintas iman bukan ancaman bagi iman, tapi justru penguat bagi peradaban. Ia menjadi benteng pertama mencegah polarisasi yang belakangan mudah tersulut oleh isu-isu identitas.
Narasi Tunggal Moderasi: Menandingi Ekstremisme
Salah satu tantangan utama penyuluhan keagamaan di era digital adalah arus deras informasi tak terverifikasi. Di media sosial, narasi ekstrem seringkali tampil lebih memikat karena sederhana dan emosional. Di sinilah pentingnya konsolidasi narasi moderasi yang disampaikan dengan cara yang relevan, kontekstual, dan menyentuh realitas masyarakat.
Modul Kemenag tidak cukup hanya dibaca dan disimpan. Harus dihidupkan dalam ceramah, diskusi komunitas, media sosial, bahkan dalam interaksi sehari-hari. Penyuluh bukan hanya penyampai pesan, melainkan pembentuk wacana publik.
Dari Mimbar ke Ladang: Responsif terhadap Isu Ekonomi dan Ekologi
Zayadi juga dengan cerdas membuka cakrawala peran penyuluh dalam ranah ekonomi dan ekologi. Di sinilah letak transformatifnya. Penyuluh agama yang hanya bicara di mimbar tanpa memahami jeritan petani, nelayan, atau warga yang terancam banjir dan longsor, akan kehilangan relevansi sosial.
Maka, pendekatan humanis yang menyatu dengan problem nyata menjadi keniscayaan. Pendampingan UMKM berbasis masjid, edukasi zakat produktif, dan kampanye lingkungan berbasis pesan agama bisa menjadi pintu masuk pemberdayaan yang bermakna.
Digitalisasi dan Sinergi Aparat: Masa Depan Penyuluhan
Inisiatif IPARI untuk memetakan data penyuluh dan mengembangkan platform pelaporan terintegrasi adalah langkah maju. Di era birokrasi digital, kerja penyuluh harus terdokumentasi dan bernilai secara administratif—tanpa kehilangan ruh sosialnya. Sinergi dengan Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan perangkat desa akan memperkuat legitimasi dan efektivitas kerja penyuluh di lapangan.
Penyuluh Adalah Pelayan dan Pelita
Penyuluh agama bukan sekadar profesi. Ia adalah panggilan nurani. Seorang penyuluh adalah pelayan umat, pelita nilai, dan penggerak perubahan. Di tengah masyarakat yang letih oleh polarisasi, penyuluh hadir untuk merajut, bukan merobek. Untuk menyembuhkan, bukan menghakimi. Untuk menginspirasi, bukan memprovokasi.
Mari kita dukung penyuluh-panyuluh kita agar mereka tetap tegar, kreatif, dan adaptif. Karena masa depan Indonesia yang rukun, berdaya, dan lestari ada di pundak mereka juga.*
0 facebook:
Post a Comment