Oleh: Juariah Anzib, S.Ag
Penulis Buku Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi, dan Keberkahan
Maraknya wakaf di Aceh telah menjadi motivasi kuat dalam beribadah sosial. Tradisi berwakaf kini tumbuh sebagai gaya hidup sebagian masyarakat, termasuk di kalangan santri dan pelajar. Kesadaran berwakaf semakin nyata terlihat di berbagai lembaga pendidikan dan instansi lainnya.
Saya merasakan haru yang mendalam ketika menghadiri acara wisuda santriwan dan santriwati Pesantren Modern Al-Manar beberapa waktu lalu. Momen tersebut semakin berkesan saat para santri menyerahkan wakaf akhir tahun berupa satu unit mobil pikap. Sebuah pemandangan yang sungguh indah dan membanggakan.
Menurut Ustaz Safrizal, salah seorang pengurus pesantren, yang saya hubungi melalui WhatsApp, program wakaf santri Al-Manar telah dimulai sejak tahun 2007, bertepatan dengan wisuda perdana angkatan pertama. Sejak saat itu, tradisi mulia ini terus dilestarikan oleh setiap angkatan yang lulus. Mereka mewariskan kenangan dalam bentuk wakaf yang bermanfaat bagi pesantren sekaligus menjadi amal jariah dan investasi akhirat.
Wakaf yang diberikan para santri beragam bentuknya, sesuai kesepakatan dan kebutuhan pesantren. Di antara wakaf yang pernah disumbangkan adalah papan nama pesantren, monumen tulisan, gapura gerbang, etalase mading, lampu hias masjid, mimbar masjid, dua unit becak Viar, hingga satu unit mobil Toyota Hilux.
Dana wakaf dikumpulkan secara kolektif. Setiap santri menyisihkan Rp50.000 per bulan sejak duduk di kelas satu Aliyah. Dalam waktu tiga tahun, terkumpul dana sebesar Rp1 juta per orang. Dari jumlah tersebut, Rp500.000 dialokasikan untuk wakaf dan sisanya digunakan untuk keperluan operasional wisuda.
Pada periode awal program (2007–2011), pihak pesantren memberikan keleluasaan kepada santri yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk membuka usaha kecil. Selain menjadi sarana pembelajaran, kegiatan ini juga membantu mereka menambah dana wakaf. Ada yang bertani sayuran seperti bayam dan menjual hasilnya ke dapur pesantren.
Santri kelas enam sempat diberi izin membuka kantin, namun program tersebut kemudian dihentikan karena pesantren telah memiliki kantin resmi dan keterbatasan lahan kosong.
Kegiatan lain seperti bazar makanan juga pernah menjadi sarana menambah kas, meskipun kini tidak lagi berjalan. Semua itu tidak menjadi penghalang bagi keberlanjutan program wakaf yang telah menjadi tradisi ini.
Jumlah santri akhir tahun tahun 2025 mencapai 125 orang. Dari kebersamaan dan komitmen mereka, berhasil dikumpulkan dana untuk mewakafkan satu unit mobil pikap seharga Rp70 juta. Meski bukan kendaraan baru, namun masih sangat layak pakai dan amat berguna untuk operasional pesantren, seperti mengangkut barang, berbelanja kebutuhan dapur, dan keperluan logistik lainnya.
Ustaz Safrizal menyampaikan harapannya agar semangat berwakaf terus tumbuh di kalangan santri. Program ini dapat ditingkatkan pada masa mendatang. Yang patut diapresiasi, pelaksanaan program ini mempertimbangkan kondisi ekonomi masing-masing santri. Tidak ada paksaan, mengingat mereka juga memiliki tanggungan biaya pendidikan bulanan.
Menariknya, tahun ini bukan hanya santri Aliyah yang berpartisipasi dalam wakaf, tetapi juga para santri Tsanawiyah. Mereka ikut menyumbang dana untuk peremajaan Tugu Bungong Jeumpa, ikon pesantren, dalam bentuk pembelian keramik senilai Rp25 juta. Meski dana tersebut belum mencukupi, inisiatif mereka sangat membantu. Pembangunan kemudian dilanjutkan dengan dukungan dana dari unit usaha pesantren.
Semoga tradisi wakaf di "negeri satu menara" ini terus berlanjut tanpa batas waktu. Semoga pahala jariyah terus mengalir kepada para wakif, dan Pesantren Modern Al-Manar senantiasa menjadi pusat pembinaan umat yang melahirkan generasi beriman, berilmu, berakhlak mulia, dan bertakwa.
Editor: Sayed M. Husen
0 facebook:
Post a Comment