Oleh: Supiati, S. Ag., M. Sos
Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh
Di era digital yang serba cepat dan bebas, ruang-ruang publik dibanjiri oleh beragam suara keagamaan. Dari kanal YouTube, TikTok, hingga grup WhatsApp keluarga, pesan-pesan tentang agama berseliweran setiap hari. Namun, di balik ledakan informasi ini, tersembunyi persoalan yang kian mendesak: banyaknya dakwah yang tidak berbasis ilmu, melainkan opini pribadi yang lepas dari kaidah keislaman yang valid.Inilah tantangan sekaligus panggilan mulia bagi penyuluh agama Islam: untuk berdakwah secara akuntabel—bertanggung jawab secara moral, keilmuan, dan sosial. Akuntabilitas bukan sekadar jargon administratif, tetapi nilai fundamental dalam membimbing umat menuju pemahaman agama yang sahih, sejuk, dan membangun.
Akuntabilitas Bukan Opsi, Tapi Kewajiban
Dalam kerangka ASKAPROTAS Kementerian Agama, akuntabilitas menempati posisi teratas. Bukan tanpa alasan. Seorang penyuluh agama, berbeda dengan orator biasa, memikul amanah untuk menyampaikan wahyu, sunnah, dan nilai-nilai luhur Islam kepada masyarakat. Maka, setiap kalimat yang keluar dari lisannya harus ditimbang dengan ilmu, diuji dengan dalil, dan dijaga dari bias pribadi.
Sayangnya, tidak sedikit konten dakwah hari ini justru terjebak pada sentimen emosional, isu viral, atau bahkan narasi politik sektarian. Dalam situasi ini, penyuluh agama berperan sebagai penjernih dan penyeimbang, bukan justru ikut menjadi bagian dari keruhnya suasana.
Penyuluh yang akuntabel akan memastikan bahwa setiap materi dakwah yang ia sampaikan:
1. Merujuk pada Al-Qur’an dan hadits yang sahih,
2. Berlandaskan pemahaman ulama yang mu’tabar (terpercaya),
3. Relevan dengan kondisi sosial masyarakat,
4. Serta bebas dari muatan hoaks, ujaran kebencian, dan penggiringan opini yang destruktif.
Melawan Disinformasi Agama
Salah satu wujud nyata akuntabilitas dalam dakwah adalah menjadi benteng dari disinformasi keagamaan. Dalam banyak kasus, ajaran-ajaran yang menyimpang menyebar karena disampaikan secara masif oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas keilmuan. Mereka berbicara dengan lantang, menyentuh emosi, tapi miskin dalil dan tidak punya pijakan metodologi.
Contohnya, klaim-klaim keagamaan seperti "menolak vaksin haram," "perayaan Hari Kemerdekaan bid’ah," atau narasi “Islam vs negara” disampaikan oleh tokoh-tokoh tanpa latar belakang ilmu yang kuat. Akibatnya, masyarakat kebingungan, terjadi polarisasi, dan nilai-nilai moderasi yang diajarkan Islam pun terkikis.
Di sinilah pentingnya peran penyuluh agama yang akuntabel. Mereka harus menjadi penyaring informasi, bukan pengganda kebisingan. Dengan bekal kompetensi, penyuluh mampu menjelaskan konteks, membedakan antara ijtihad dan opini, serta memberikan pemahaman yang utuh tentang ajaran Islam.
Dakwah yang Meneduhkan, Bukan Memecah
Dakwah yang akuntabel bukan hanya benar secara isi, tapi juga bijak dalam penyampaian. Islam tidak hanya mengajarkan apa yang disampaikan, tetapi juga bagaimana menyampaikannya. Rasulullah SAW sendiri dikenal sebagai da’i yang lembut, penuh kasih, dan mengutamakan pendekatan yang sesuai dengan kondisi mad’u (objek dakwah).
Penyuluh agama dituntut untuk mampu bersikap empatik. Masyarakat hari ini tidak hanya butuh ceramah, tetapi juga ruang dialog dan pendampingan spiritual yang solutif. Dakwah yang akuntabel akan melahirkan pemahaman yang menyejukkan, bukan fanatisme yang membutakan. Ia membangun kesadaran, bukan ketakutan.
Ketika dakwah dibawakan dengan akuntabilitas tinggi, umat akan lebih mudah percaya dan menerima. Karena mereka tahu, yang mereka dengar bukan suara pribadi, melainkan suara ilmu yang bersumber dari wahyu dan hikmah.
Jalan Panjang Profesionalisme Penyuluh
Menjadi penyuluh agama yang akuntabel bukan perkara mudah. Ia menuntut:
1. Literasi keagamaan yang terus diperbarui,
2. Komitmen moral untuk tidak menyampaikan yang belum diketahui,
3. Kepekaan sosial terhadap isu-isu masyarakat,
4. Dan tentu saja, kedewasaan spiritual dan emosional.
Penyuluh hari ini tidak cukup hanya menguasai kitab kuning, tapi juga harus mampu berbicara dalam bahasa masyarakat modern. Ia harus bisa menjelaskan Islam dengan logika yang rasional, relevan dengan tantangan kontemporer, dan terbuka terhadap dialog lintas pandangan.
Dengan pendekatan seperti inilah penyuluh agama bisa menjalankan perannya sebagai pilar utama moderasi beragama di tengah masyarakat.
Penutup: Amanah di Ujung Lisan
Dalam satu hadits yang masyhur, Rasulullah bersabda:
"Barang siapa yang berkata tentang Al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka hendaklah ia bersiap menempati tempat duduknya di neraka." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menjadi pengingat bahwa menyampaikan agama bukan sembarang bicara. Butuh ilmu, adab, dan akuntabilitas. Penyuluh agama adalah duta ilmu dan hikmah. Amanah itu berat, tapi juga mulia.
Di tengah derasnya arus informasi dan opini pribadi, penyuluh yang akuntabel adalah pelita yang menunjukkan arah. Mereka menyampaikan kebenaran—bukan sekadar pendapat. Dan dalam keheningan dakwah yang penuh tanggung jawab, umat akan menemukan cahaya Islam yang sesungguhnya.
0 facebook:
Post a Comment