Oleh: Juariah Anzib, S.Ag 

Penulis Buku "Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi, dan Keberkahan


Sifat munafik salah satu akhlak tercela yang paling buruk. Sifat ini sering kali dimiliki oleh orang-orang kafir yang hanya mencari keuntungan duniawi. Ketika dalam keadaan sulit, mereka berpura-pura beriman dan memohon pertolongan kepada Allah, tetapi saat keadaan sudah membaik, mereka akan kembali menyembah berhala.

Tidak semua orang kafir kehilangan hati nurani. Ada sebagian dari mereka yang sebenarnya memiliki benih iman. Meskipun kesombongan sering kali menghalangi mereka mengakui kebenaran, seberkas cahaya iman itu tetap ada di dalam hati. Hal ini terlihat dari tindakan mereka yang hanya memohon kepada Allah saat tertimpa musibah, walaupun setelah itu mereka kembali ke jalan kekafiran. Cahaya iman inilah yang menjadi modal penting keyakinan yang sesungguhnya.

Untuk membuktikan hal ini, mari kita simak kisah menarik tentang seberkas cahaya iman yang dimiliki oleh putra dari musuh besar Islam, Abu Jahal. Kisah ini diceritakan oleh Abi Hasbi Al-Bayuni dalam Pengajian Muslimah di Dayah Thalibul Huda Bayu Lamcot, Aceh Besar.

Suatu hari, sekelompok kafir Quraisy melakukan perjalanan laut. Di tengah perjalanan, badai besar datang mengancam keselamatan mereka. Semua orang panik dan ketakutan. Dalam keputusasaan, mereka mulai memohon keselamatan kepada Allah Swt, padahal selama ini mereka penyembah berhala. Mereka sadar, pada saat seperti itu, tidak ada penolong lain selain Allah.

Di antara rombongan itu, ada seorang pemuda bernama Ikrimah bin Abu Jahal, putra dari penentang dan musuh Islam yang sangat terkenal. Meski begitu, Rasulullah saw bukanlah seorang yang pendendam. Beliau selalu memaafkan kesalahan orang lain, termasuk putra dari musuh bebuyutannya.

Ketika kondisi di laut semakin mengkhawatirkan, Ikrimah berdoa dengan sepenuh hati agar diselamatkan dari bahaya. Di tengah badai, ia berkata, "Ya Allah, hanya kepada-Mu aku gantungkan jiwaku. Jika aku selamat, aku akan datang dan meletakkan tanganku di tangan Muhammad untuk berbaiat."

Doa Ikrimah ternyata bukan sekadar permintaan diselamatkan. Ia benar-benar meyakini kekuasaan Allah. Ketika selamat dari bencana, ia langsung menemui Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Peristiwa ini membawa keharuan yang luar biasa.

Sebelumnya, istri Ikrimah pernah menemui Rasulullah meminta petunjuk agar suaminya masuk Islam. Namun kebencian masih menyelimuti jiwa Ikrimah, terutama setelah ayahnya, Abu Jahal, terbunuh dalam Perang Badar. Kebenciannya terhadap Islam semakin memuncak. Meskipun demikian, Rasulullah saw yakin suatu saat Ikrimah akan beriman.

Ketika putra musuh Islam ini memeluk Islam, Rasulullah saw melarang para sahabat mencaci maki Ikrimah dan menyebut-nyebut keburukan ayahnya. Beliau menjelaskan, mencaci orang yang sudah meninggal dapat menyakiti hati orang yang masih hidup, terutama keluarganya. 

Sejak saat itu, para sahabat tidak lagi mencaci Abu Jahal sebagai musuh besar Islam. Ikrimah pun bisa hidup tenang dalam kedamaian Islam, tanpa harus terusik oleh masa lalu yang kelam. Hal ini membuktikan, Islam agama yang menjunjung tinggi persaudaraan dan melarang permusuhan.

Meskipun membutuhkan waktu yang lama, Ikrimah akhirnya masuk Islam. Keyakinan Rasulullah dan harapan sang istri pun menjadi kenyataan. Allah memberikan hidayah kepada Ikrimah setelah ayahnya meninggal dunia, membuktikan hidayah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja.

Hikmah dari kisah ini, Islam sangat menjunjung tinggi kedamaian dan ketenangan. Islam melarang keras umatnya saling mencaci maki, apalagi sesama muslim. Ajaran ini menekankan keharusan menciptakan keharmonisan dan saling menjaga perasaan, menunjukkan Islam adalah agama yang lembut dan indah.

SHARE :

0 facebook:

 
Top