Ramah, akrab dan mudah diajak bicara, begitulah kesan pertama jika kita berbincang dengannya Pria ini juga banyak memberikan arahan dan motivasi bagi redaksi Lamuri. Inspirasi dan ide-idenya selalu memberikan arti dan semangat bagi buletin yang sedang syedara baca ini.

Adalah Sayed Muhammad Husen, pria berkacamata minus kelahiran Trienggadeng, 28 Desember 1965 ini memang dikenal berotak padat. Sebagai Pembina Buletin Lamuri dan redaktur pelaksana di Tabloid Gema Baiturrahman, ragam ide segar dengan bebas meluncur dari tuturnya. Di kalangan jurnalis ia juga dikenal sebagai sosok yang mudah dimintai bimbingan.

Sayed, begitu akrab ia disapa, lahir dari keluarga berekonomi rendah. Tgk. Husen bin Puteh (alm), sang ayah, seorang pekerja serabutan. Sedangkan bunda, Syaribanun, hanyalah ibu rumah tangga yang membantu pekerjaan suami ala kadarnya. Tetapi, apapun warna latar keluarga, tidaklah meredupkan semangat Sayed. Bahkan, hingga kini, ia enggan menyebut-nyebut soal kemiskinan. Menurutnya, itu tidak pantas jadi kendala. ”Jangan sampai rasa percaya diri yang telah diperoleh melalui prestasi, kita korbankan demi perasaan berasal dari keluarga miskin,” sebutnya.

Berbicara soal prestasi, Sayed tergolong gemilang. Sejak duduk di bangku SD Negeri Balohan Sabang, namanya selalu masuk daftar sepuluh besar. Bahkan, di jenjang SMP hingga SMA, ia langganan peringkat satu. Tidak hanya itu, tahun kedua SMA ia terpilih sebagai Ketua OSIS. Hal ini tak sulit baginya, sebab jiwa kepemimpinan telah ia tempa sedari SMP. Tepatnya sejak bergabung dengan organisasi PII (Pelajar Islam I n d o n e s i a ) . Prestasi akademik dan pengalaman organisasi yang dipunyai menjadi modal awal untuk membangkitkan rasa percaya diri. Walau secara ekonomi keluarga tampak mustahil, Sayed sampai jua di bangku kuliah dan tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling FKIP Unsyiah tahun 1985. Ia masuk lewat jalur PMDK. Ketika itu, guru ekonomi SMA-nya sempat menyesalkan. Sebab di mata sang guru, Sayed muda lebih kuat di pelajaran ekonomi.

Tetapi, tak hendak mengingkari nikmat, Sayed tetap menjalani kuliahnya. Bahkan debut karier perdananya dimulai saat masih di bangku kuliah. Antara lain pernah menjadi Guru Bimbingan Konseling di SMP Tgk Chik Di Tiro Persit Banda Aceh, Sekretaris Eksekutif Forum LSM Aceh, serta Guru Bimbingan Karier di Madrasah Aliyah Ibnu Araby, Banda Aceh. ”Honor ketika itu Rp 25 ribu perbulan. Kadang hanya cukup untuk transportasi saja,” kenangnya.

Selama berstatus mahasiswa, pria yang mengidolakan tokoh HM Daud Beureu-Eh ini bukan semata-mata tukang kuliah. Dia tergolong aktivis yang sibuk dengan ragam kegiatan organisasi dan menghadiri berbagai pelatihan, antara lain Kursus Ahadan Kader Dakwah Iskada (Ikatan Siswa Kader Dakwah) 1986, Couching Instruktur PII 1987, Latihan Dasar Jurnalistik HMI 1988, dan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa se- Sumatera dan Kalbar di Palembang pada 1988. Bahkan, tak jarang ia juga datang sebagai pemateri dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan PII.

Oleh karena giatnya di kegiatan organisasi, pada zaman Orde Baru, 11-15 Agustus 1992, ia dan dua sahabatnya (Ilyas dan Saiful) sempat menjadi tahanan politik Laksus Korem 012/TU. Sampai dua bulan lamanya dia dan belasan pengurus PII Aceh lainnya “dibina” oleh Korem 012/TU. Mereka terjerat tuduhan menggerakkan “organisasi bawah tanah” PII dan anti asas tunggal Pancasila. Tetapi, gugatan itu gagal terbukti dan Sayed bebas kembali. Satu perjalanan rohani berharga yang ia kecap selama di bui, ternyata, di saat-saat demikian jiwanya lebih dekat dengan Sang Khalik. Bahkan kedekatan senada hampir tidak dapat dirasakan setelah itu.

Ia mengikuti pelatihan dan magang Baitul Maal Wattamwil (BMT), Pinbuk, Jakarta pada 1995. Selepas mendapat pengetahuan praktis tentang manajemen lembaga keungan mikro syariah BMT, Sayed merintis lahirnya Baitul Qiradh Baiturrahman (nama lain BMT di Aceh). Ia sekaligus dipercaya sebagai General Manajer di tempat itu, periode 1995-2001. Saat ini, ia masih menjabat sebagai Dewan Pengawas pada lembaga yang memiliki asset Rp 7 milyar itu. Selain sebagai Pembina Buletin Lamuri dan menjabat Redaktur Pelaksana Tabloid Gema Baiturrahman, suami Dra. Bunaizah Sulaiman (43 thn) ini bekerja sebagai Kabid Pengumpulan Zakat Baitul Mal Aceh. Ini bukan perkara rumit. Pengalaman selama di baitul qiradh tidak jauh berbeda dengan baitul mal. Keduanya merujuk pada pemberdayaan ekonomi ummat pola syariah. “Kalau di baitul qiradh lebih berorientasi profit, sementara di baitul mal yang menonjol sisi sosialnya, karena yang dikelola adalah zakat, waqaf dan harta agama lainnya,” terangnya. Jika dirunut, lahan yang digelutinya saat ini lebih sesuai dengan insting guru ekonomi di SMA-nya dulu.

Selama bersinggungan dengan urusan zakat, banyak ilmu baru diperolehnya. Ayah dari Rafidah Assa'adah (6 thn) ini mengaku, sangat banyak seluk beluk zakat yang ternyata belum sepenuhnya dipahami khalayak jamak. Semakin digali dan ditekuni, persoalan zakat semakin menarik. ”Saya baru serius mempelajari ilmu zakat sejak bergabung di baitul mal, Januari 2004,” tuturnya.

Dari sekian banyak hal yang “dipelajari” di baitul mal, Sayed melihat permasalahan krusial yang mesti segera ditindaklanjuti adalah menyangkut manajemen Baitul Mal Gampong. Selama ini, kinerja dan kemampuan SDM amil/pengelola di Baitul Mal Gampong --yang seharusnya menjadi mitra Baitul Mal Aceh-- tergolong masih sangat lemah.

Bersama amil zakat lainnya di Baitul Mal Aceh, produser dan host talk show ” Pe r b i n c a n g a n J u m a t Pa g i ” R a d i o Baiturrahman ini, sedang menggagas sebuah terobosan menyangkut pemberdayaan ekonomi fakir miskin. Untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan, Sayed berharap dapat mengkolaborasikan antara konsep baitul qiradh (lembaga keuangan mikro syariah) dengan baitul mal sebagai lembaga pengelola zakat, sehingga hasil yang dicapai lebih maksimal.

Menurutnya, saatnya kini amil zakat di Aceh menunjukkan prestasi dan karya nyata, sebab 30 tahun (1973-2003) gerakan sadar zakat sebelum baitul mal dibentuk, tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sulit mendapati cerita sukses pengelolaan zakat di Aceh. Untuk itu, zakat harus dikelola secara profesional oleh lembaga yang kredibel dan transparan.

Ketertarikannya pada tokoh sekelas HM Daud Beureu-Eh secara tidak langsung telah menyemai semangat perjuangan dalam dirinya. Sayed yang notabene aktivis ini, juga bercita-cita untuk turut membela kepentingan rakyat dengan menjadi anggota parlemen. Satu cita-cita yang telah ditanam sejak SMA dulu. Demi itu, pengalaman di dunia politik pun ia susuri. Untuk rentang 2005-2010, Sayed menjabat sebagai Wakil Sekretaris DPW Partai Bulan Bintang NAD. Ini bukan pengalaman tunggal di bidang politik. Sebelumnya, ia dipercayakan sebagai Wakil Ketua DPW Partai Ummat Islam Aceh 2000- 2004.

Ada apa dengan Daud Beureueh hingga Sayed mengidolakannya? Lancar Sayed menjawab, ”Abu Beureueh membela kepentingan rakyat dan dia sosok yang sangat kharismatik.” Sayed remaja sering mendengar riwayat perjuangan Abu Beureu- Eh sebagai tokoh utama Darul Islam (DI) dari ayahnya. Ayahnya intelijen DI aktif bersamasama Abu Beureu-Eh. “Dasar perjuangan Abu Beureu-Eh adalah ideologi Islam,” katanya.
Sayed bertekad menjaga idealisme dan integritas diri dengan banyak berguru dan akrab dengan tokoh-tokoh bersih dan idealis. Dari banyak gurunya yang bersifat informal, ia sering menggali spirit Islam dalam mewujudkan keadilan sosial. “Saya mimpi akan terwujud sebuah negeri yang adil dalam ridha Allah swt,” harap Sayed, yang sering dipanggil Abu Sayed. Mengenang petuah bijak, pengidola cenderung mengekor tokoh yang diidolakan. Berbekal semangat serta azzam yang kuat, mungkin saja suatu ketika nama Sayed Muhammad Husen juga termaktub dalam sejarah. Semoga! (Riza R/Red)
SHARE :
 
Top