Ada iklan susu di televisi menampilkan sepasang anak kecil berciuman. Ada film yang menampilkan lukisan bergambar alat kelamin pria. Ada juga sinetron yang menampilkan adegan debus: orang menebaskan golok pada tangan dan lehernya.

 Itu semua contoh siaran TV yang melanggar. Saya sering mempertunjukkan rekaman pelanggaran-pelanggaran itu dalam diskusi dengan masyarakat. Setelah itu, biasanya, saya sering mendapat pertanyaan: “Acara TV disensor nggak sih?” atau “KPI mengapa tidak melakukan sensor?”
Pertanyaan semacam ini memang umumnya datang dari anggota masyarakat yang gemas atau kesal dengan tayangan TV sekaligus kritis terhadap acara TV. Layar kaca kita dinilai belum “bersih”, banyak tayangan TV yang bermuatan tidak sehat (misalnya bermuatan seks, kekerasan, mistik, bahasa kasar, dan lain-lain).
 SENSOR, PENTING
 Untuk pertanyaan pertama: “Acara TV disensor nggak sih?” Jawabannya, ”Untuk tayangan tertentu, harus disensor!”
Peraturan yang dibuat oleh KPI (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran atau P3 dan SPS) menetapkan bahwa stasiun TV sebelum menyiarkan program siaran film dan/atau iklan wajib terlebih dahulu memperoleh surat tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang (yakni LSF, Lembaga Sensor Film). Jadi, semua tayangan yang tidak masuk siaran jurnalistik (pemberitaan) atau bukan merupakan siaran langsung, wajib disensor LSF. Dalam hal ini, siaran iklan, sinetron atau film misalnya, wajib disensor LSF terlebih dahulu.
Sensor dalam tayangan TV merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan demi menjaga agar siaran TV aman untuk ditonton oleh beragam pemirsa. Televisi adalah media yang harus disensor jauh lebih ketat daripada film.
Televisi, media dengan sejumlah karakteristik khusus. Pertama, TV dapat dikatakan media paling populer dan lazim ada pada setiap rumah. Kedua, menonton TV menjadi kegiatan baku di banyak rumah. Banyak keluarga yang menonton TV sepanjang hari; TV di rumahnya menyala terus. Ketiga, media ini menjangkau khalayak yang luas dan heterogen (baik dari segi usia, pendidikan, pekerjaan, agama, dan lain-lain). Keempat, penonton TV tidak membutuhkan keahlian baca-tulis. Dan kelima, menontonnya juga tidak diperlukan upaya khusus dan tidak membayar. Untuk menonton TV cukup duduk di depan pesawat TV dan menekan tombol remotecontrol. TV berbeda dengan film bioskop, yang untuk menontonnya orang harus melakukan upaya khusus (datang ke bioskop, mengantre, dan membeli karcis).
Demikian pentingnya sensor dalam TV, sehingga aturan tentang ini bukan hanya dinyatakan dalam peraturan yang dibuat KPI (P3 dan SPS), tetapi juga disebutkan dalam UU Penyiaran (UU No. 32/2002) Pasal 47, yakni “Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang.”
Karena pentingnya sensor ini, maka P3 dan SPS juga mewajibkan televisi untuk melakukan sensor internal atas seluruh materi siaran. Dengan kewajiban ini, siaran TV seharusnya dapat lebih terjaga dari materi-materi yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan KPI. Sensor internal dilakukan oleh bagian quality control di televisi.
        
WEWENANG SENSOR BUKAN DI KPI
Pertanyaan kedua yang sering diajukan kepada KPI: “KPI mengapa tidak melakukan sensor?” Jawabnya, “KPI tidak berwenang melakukan sensor.”
Saya mengerti, pertanyaan ini sering diajukan karena banyak yang berpikiran kritis: daripada tayangan TV berisi muatan yang tidak sehat, lebih baik disensor dulu oleh KPI agar tayangan menjadi “bersih”. Jadi, menurut istilah sejumlah orang yang kerap saya dengar, KPI tidak menjadi “pemadam kebakaran”.
Wah, sayangnya, KPI tidak bisa melakukan hal tersebut karena bukan menjadi kewenangannya! Yang harus melakukan sensor sesuai aturan adalah LSF. Dalam peraturan KPI, setiap tayangan yang wajib sensor di awal siaran harus menayangkan bukti nomor surat atau register yang dikeluarkan oleh LSF.
Jika sudah disensor, apakah tayangan pasti bersih dari pelanggaran sesuai peraturan yang dibuat KPI? Belum tentu. Pada beberapa kasus, ternyata, pada tayangan yang sudah disensor pun masih terdapat pelanggaran-pelanggaran P3 dan SPS. Apa boleh buat, KPI pun memberikan sanksi untuk stasiun TV yang menyiarkan acara yang melanggar tersebut.
Sebagai komisioner KPI, saya selalu bahagia jika bertemu anggota masyarakat yang kritis terhadap tayangan TV. Kita memang harus mengupayakan agar isi siaran TV terjaga dari muatan yang tidak sehat.
Frekuensi yang dipakai televisi sesungguhnya milik masyarakat, milik kita. Jadi, masyarakat berhak mendapatkan isi siaran yang baik. 
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan masyarakat untuk menjaga agar siaran TV membaik adalah dengan mengirimkan pengaduan jika dirasakan acaranya mengandung muatan yang tidak tepat. Masyarakat dapat mengadu ke KPI, karena KPI adalah lembaga independen yang mewakili aspirasi publik di bidang penyiaran.
KPI akan merespons pengaduan publik dan menjadikan pengaduan—tidak hanya untuk televisi tetapi juga radio—tersebut sebagai bagian dari pengawasan KPI. Selama ini banyak pengaduan publik yang akhirnya berbuah sanksi bagi stasiun TV dan radio.
Pengaduan dapat dikirimkan melalui e-mail, telepon, SMS, atau surat. E-mail dapat dikirimkan ke pojok pengaduan di situs KPI, www.kpi.go.id. Telepon ke call center KPI, 021-6340626. Sedangkan SMS ditujukan ke nomor pengaduan 081213070000. Surat dapat dialamatkan ke kantor KPI, Gedung Bapeten Lt. 6, Jl Gajah Mada No. 8, Jakarta Pusat 10120.
Ayo, jadilah publik penyiaran yang kritis! (Nina Armando)
SHARE :
 
Top