Lamurionline.com-- Para ulama salaf saling mengormati meski berbeda pendapat......

Perbedaan pendapat dalam persoalan ijtihadiyah terkadang menyebabkan hubungan sesama umat Islam tidak harmonis. Padahal walau berbeda pendapat, para ulama pendiri 4 madzhab tidak mencela satu sama lain, justru mereka tidak segan-segan berguru kepada lainnya.

Abu Hanifah adalah ulama mujtahid pendiri madzhab tertua di kalangan 4 madzhab. Walau demikian, beliau tidak gengsi menelaah kitab Imam Malik pendiri madzhab Maliki, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abi Hatim dalam muqadimah Ma’rifah Al Jarh wa At Ta’dil. Padahal beliau sendiri adalah pewaris ilmu para murid Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhuma. (lihat, Al Maqalat Al Kautsari, hal. 99)

Imam As Suyuthi dalam Manakib Imam Malik (hal. 119), telah menukil bahwa dalam Musnad Abu Hanifah juga terdapat periwayatan beliau dari Imam Malik.

Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Malik,  dimana beliau menyambut dan memuliakan Imam Abu Hanifah saat berhaji. Lebih dari itu kedua Imam besar ini saling bermudzakarah, hingga Imam Malik memperoleh 60 ribu permasalahan dari Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Mas’ud bin Syaibah As Sindi dalam muqaddimah Kitab At Ta’lim. Sebab itulah beberapa ulama Milikiyah menyatakan bahwa jika mereka menemui masalah yang tidak ada periwayatan dari Imam Malik, maka mereka mengambi pendapat dari Imam Abu Hanifah. (lihat, Al Maqalat Al Kautsari, hal. 99)

Apa yang dilakukan Imam As Syafi’i tidak berbeda dengan  para mujtahid sebelumnya. Beliau berguru kepada Imam Malik untuk menyima Al Muwaththa’. Dan ketika menuju Bagdad dari Yaman pada tahun 184 H, beliau juga menjalin hubungan dan mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan serta Yusuf bin As Simti yang merupakan  sahabat Abu Hanifah. Sebab itu beliau dikenal sebagai ulama yang menyatukan dua pemikiran fiqih, Madinah dan Iraq. (lihat, Al Maqalat Al Kautsari, hal. 99)

Sedangkan Ahmad bin Hanbal sendiri mengambil ilmu dari Imam Abu Yusuf selama tiga tahun disamping mengkaji kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang keduanya merupakan sahabat Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau juga mengambil fiqih juga dari Imam As Syafi’i ketika beliau tiba di Iraq tahun 195 H. (lihat, Al Maqalat Al Kautsari, hal. 100)

Bahkan, karena amat cinta terhadap guru, Imam Ahmad selalu mendoakan Imam As Syafi’i setelah shalat dalam waktu 40 tahun. (Manaqib Imam As Syafi’i, Al Baihaqi, 2/254)

Jika demikian, sesungguhnya para ulama madzhab empat merupakan satu keluarga dalam berkhidmat terhadap syariat Allah. Dan hasilnya, mereka saling menghormati satu sama lain dan tidak saling mencela tatkala berbeda dalam pendapat.

Hal itu bisa dilihat bagaimana Imam As Syafi’i menghormati pendapat Imam Abu Hanifah. Ketika berada di Baghdad dan kebetulan melaksanakan shalat shubuh di dekat makam Abu Hanifah, beliau memilih tidak melakukan qunut shubuh. (Al Inshaf, hal. 24-25)

Demikian pula dalam beberapa Bab fiqih, Imam As Syafi’i berupaya untuk menghindari khilaf dengan para mujtahid lainnya. Ini terlihat dalam pembahasan masalah i’tikaf, dimana madzhab beliau memandang  sahnya i’tikaf walau hanya sebentar menetap di masjid. Namun beliau menyatakan,”Dan aku lebih suka satu hari. Dan aku menyatakan bahwa hal itu mustahab, untuk keluar dari khilaf, karena Abu Hanifah memandang tidak sah jika kurang dari sehari.” (Al Majmu’, 6/479)

Imam Malik Tolak Madzhabnya Dijadikan Madzhab Resmi
Pernah Khalifah Manshur menyatakan kepada Imam Malik, bahwa ia bertekad untuk memperbanyak Al Muwaththa’ untuk disebarkan di seluruh negeri, agar negeri-negeri itu mengikutinya dan tidak mengambil dari kitab lainnya. Namun Imam Malik menolak usulan itu, malah beliau menyarankan agar membiarkan para penduduk untuk memilih untuk diri mereka sendiri.

Di riwayat lain juga disebutkan bahwa Harun Ar Rasyid berencana menggantungkan Al Muwaththa’ di Ka’bah dan mewajibkan semua pihak untuk mengikutinya. Namun Imam Malik menolaknya, karena para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri berbeda dalam furu’ sedangkan mereka menyebar di seluruh wilayah. (Al Inshaf, hal. 24-25)

Ikhtilaf Tidak Menyebabkan Rusaknya Persahabatan
Yang perlu dijadikan suri tauladan dari para ulama salaf adalah cara mereka menyikapi perberbedaan pendapat, hingga tidak menyebabkan ukhuwah menjadi rusak.  Imam As Syafi’i pernah terlibat perdebatan dengan Yunus Bin Abdil A’la. Namun setelah peristiwa itu, sang pendebat yang juga merupakan sahabat dekat malah menaru rasa hormat dengan mengatakan,”Aku belum pernah melihat orang yang lebih berakal daripada As Syafi’i, suatu hari aku mendebatnya dalam suatu masalah, kamudian kami berpisah. Namun setelah itu ia menemuiku dan menggandeng tanganku kemudian mengatakan,’Wahai Abu Musa, bukankah labih baik kita tetap menjadi saudara walau kita berbeda dalam satu masalah?’ (Siyar A’lam An Nubala’, 10/16)

Demikian pula setelah Imam Ahmad dan Ali bin Al Madini berdebat masalah persaksian, kedua suara mereka pun meninggi, hingga ada yang mengira bahwa keduanya bakal tidak akur. Namun saat Ali hendak pergi Imam Ahmad mencegah kendaraan yang tinggungi Ali. (Jami’ Bayan Al Ilmi, 2/968)

Demikianlah para salaf shalih, mereka saling menghargai dalam masalah ijitihad, tidak mencela pendapat ulama lainnya, saling bekerja sama dalam ilmu, bahkan mereka enggan memaksakan madzhabnya. Mengitui salaf shalih? Ikutilah mereka! Sumber : http://www.hidayatullah.com/
Rep: 
Sholah Salim
Editor: Thoriq
SHARE :
 
Top