Oleh Khairatun Munawwarah, S.Hum

Ada banyak keluh kesah melirik aktivitas Polwan di jajaran Kepolisian. Jeritan polwan pernah sampai ke meja MUI, ulama sampai DPR-RI terkait keinginannya berhijab/berjilbab ketika berdinas. Mereka yang mendapatkan keluhan dari polwan tak dapat berbuat banyak. Kebijakan dan saran yang diberikan hanya sebatas merespon kegelisahan umat saat paceklik. Sedangkan pihak/Kapolri yang punya power dalam masalah tersebut terkesan berdiam diri melihat prblematika yang muncul. Penggunaan jilbab bagi polwan yang tengah berdinas ini sempat mencuat pada masa Kapolri sebelumnya, Timur Pradopo. Karena, belum ada aturan internal Polri terkait seragam yang mencantumkan soal penggunaan jilbab. 

Sadisnya, ditengah mencuatnya polwan berhasrat ingin mengenakan jilbab di lapangan, justru larangan yang ditawarkan oleh Kepolisian. Di tubuh instansi kepolisian pun terjadi tolak tarik terhadap keinginan polwan. Kapolri, Sutarman secara sadar mengeluarkan maklumat izin menggunakan jilbab bagi polwan, namun saat bersamaan pula kebijakan tersebut ditentang oleh rekan kerjanya, Wakapolri Oegroseno. Tak hanya berhenti disitu, beberapa hari beredarnya informasi boleh berjilbab bagi polisi muslimah, justru Kapolri menarik kembali kebijakan tersebut. Terkesan instansi kepolisian masih ragu-ragu melegalkan hijab bagi polwan. Padahal polwan sendiri sangat menyadari pentingnya berjilbab, bahkan terhadap mereka yang muslimah adalah suatu kewajiban. 

 Secercah harapan 

Dalam jejaring sosial beredar stadment Ustadz Muhammad Arifin Ilham. Semoga ayahanda selalu dalam hidayah dan berkah Allah bersama keluarga dan keluarga besar POLRI aamiin. Sejak ayahanda membolehkan muslimat polisi berjilbab, suka cita, ucapan Alhamdulillah, sujud syukur, pujian dan doa untuk ayahanda dipanjatkan. Lalu kenapa dicabut dan ditunda lagi ayahanda. Ayah, hidup kita tidak lama di dunia sebentar ini, jabatan yang Allah amanahkan untuk ayah akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, keputusan ayah membolehkan jilbab adalah keputusan sangat bijak dan tepat. Dan berita gembira untuk ayahanda, bukan hanya sebagai pelopor Jilbab yang akan dikenang sejarah walaupun ayah sudah wafat tetapi bernilai amal jariyah yang mengalir terus menerus sebanyak muslimat polisi mengenakannya. Allah berpesan, “Barangsiapa memberi keputusan atau kebiasaan yang baik, lalu banyak yang mengikutinya maka sebanyak itu ganjaran mengalir Allah berikan kepadanya, tetapi sebaliknya barangsiapa membuat keputusan atau kebiasaan buruk, lalu banyak yang mengikutinya maka sebanyak itu dosa yang ditimpakan kepadanya,” (QS. An Nisa’, 85). 

Ayah, kalau memang belum dibuat aturan hukum bakunya, jangan diperintahkan untuk menanggalkan jilbab bagi muslimat polisi yang sudah berjilbab, apalagi sampai memecat mereka, terlalu besar resikonya di akhirat kelak. Sayangilah muslimat POLRI ayah, mereka juga putri putri ayah. Buatlah sejarah yang indah mengesankan. Ayah, hidup ini sebentar ayah. Ayah, jangan ragu-ragu, kami sangat mendukung dan mendoakan ayah agar ayah lulus menjaga amanah Allah. Negeri tercinta ini membutuhkan pemimpin yang sangat takut kepada Allah dan sangat sayang pada rakyatnya. 

Mulianya Wanita Aceh 

Bersyukurlah anak bangsa yang berdomisili di Aceh, khususnya para wanita dan wanita karier layaknya Polwan yang dapat menjalakan kegiatan di luar rumah tanpa diganggu hak privasi untuk berjilbab. Saat dunia melarang wanita berhijab, ketika Indonesia tak memberi izin polwan berhijab melalui tangannya/kepolisian, justru kita baru sadar, betapa istemewanya Aceh, begitu tingginya kedudukan wanita Aceh dalam tatanan sosial. Sungguh ironis ketika rakyat Aceh gencar meneriakkan syari’at islam kaffah yang sangat memuliakan wanita malah terjadi cemoohan dan penolakan dengan dalih melanggar HAM. Penulis bersyukur dilahirkan di tanah para syuhada yang tak bisa dirongrong oleh orang lain untuk menjalankan keyakinan beragama. 

Tentu hal ini tidak terlepas dari upaya para pendahulu tanah rencong yang ingin menjunjung tinggi agama demi terbebas dari jeratan dosa dalam mengemban amanah. Mendalami telegram instansi kepolisian bukan saja melukai hati para Polwan yang terus mengabdi pada bangsa ini tanpa mengenal lelah. Namun lebih luas telah menyakiti umat islam yang mayoritas di Indonesia. Sadis memang, kita hidup di negeri sendiri, pemimpin dan masyarakat hampir semuanya Islam, namun ritual keagamaan di larang dan kerap dibatasi dijajaran pemerintahan. Dan patut disayangkan ketika dalam negeri terdapat provinsi yang dapat ditiru oleh pemerintah pusat khususnya penggunaan jilbab bagi polwan, namun malah melakukan study banding ke negara lain. 

Atas dasarnya rangkaian di atas, penuh harapan kita para wanita, khususnya polwan Republik Indonesia untuk dapat menjalankan kewajiban sesuai tuntunan agama tanpa ada paksaan, apalagi ada kelompok terntu yang mencegahnya. Spirit UUD 1945 yang mengamanatkan warga Indonesia bebas menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing sejatinya dapat indahkan oleh pemimpin negeri pertiwi, termasuk Kapolri dan Wakapolri yang masih tumpang tindih mengeluarkan kebijakan terkait hijab polwan. Semoga. 

Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Staf Fakultas Adab dan Humaniora kampus setempat
SHARE :
 
Top